Sabtu, 24 Desember 2011

Psikologi dalam Olahraga

Psikologi olahraga harus dipisahkan dari belajar gerak, motor kontrol, atau perkembangan motorik atau dapat diistilahkan sebagai payung dari semua bidang penelitian. Psikologi olahraga dipandang sebagai ilmu olahraga dalam pendidikan jasmani dan kinesiologi.
Psikologi olahraga dan aktifitas fisik merupakan aplikasi dari psikologi menghubungkan tingkah laku dalam kontek olahraga. Dalam kompetis olahraga yang berhubungan dengan psikologi adalah kecemasan.
Psikologi olahraga diperlukan dalam olahraga untuk dapat membantu atlet dalam menggunakan latihan mental untuk beberapa tujuan antara lain : untuk mempercepat proses belajar, untuk meningkatkan motivasi diri, strategi rencana dan untuk memperkuat mental, prilaku yang tepat adalah dengan relaksasi. Atlet mungkin mengalami stress selama kompetisi selama satu jam, seminggu atau bahkan berbulan-bulan sebelum peristiwa kompetisi dilaksanakan.
Penetapan tujuan dapat digunakan untuk memperjelas kinerja dan mengembangkan program pelatihan yang tepat untuk sejumlah ketrampilan, apakah kinerja fisik, teknik relaksasi, teknik latihan mental, atau program komitmen dan self control. Melalui ini peran psikolog sebagai fasilitstor, diterapkan untuk membantu atlet mengidentifikasi perbaikan –perbaikan yang diperlukan dan memberikan pendidikan dan konseling untuk meningkatkan pembelajaran dan kinerja.


Situasi kompetisi mempengaruhi tingkat kecemasan seorang atlet saat bertanding.

Aspek-aspek Psikologis yang berperan dalam Olahraga
Pengaruh faktor psikologis pada atlet akan terlihat dengan jelas pada saat atlet tersebut bertanding. Berikut ini akan diuraikan beberapa masalah psikologis yang paling sering timbul di kalangan olahraga, khususnya dalam kaitannya dengan pertandingan dan masa latihan.

1. Berpikir Positif
Berpikir positif dimaksudkan sebagai cara berpikir yang mengarahkan sesuatu ke arah positif, melihat segi baiknya. Hal ini perlu dibiasakan bukan saja oleh atlet, tetapi terlebih-lebih bagi pelatih yang melatihnya. Dengan membiasakan diri berpikir positif, maka akan berpengaruh sangat baik untuk menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi, dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Berpikir positif merupakan modal utama untuk dapat memiliki ketrampilan psikologis atau mental yang tangguh.
Sebagai pelatih, tunjukkan Anda percaya bahwa atlet Anda memiliki peluang untuk dapat berprestasi baik. Cemooh, celaan, dan kritik yang pedas yang tidak pada tempatnya, justru akan membuat atlet bereaksi negatif dan berakibat akan menurunkan motivasi yang diikuti dengan penurunan prestasi.
2. Penetapan Sasaran
Penetapan sasaran (goal setting) merupakan dasar dan latihan mental. Pelatih perlu membantu setiap atletnya untuk menetapkan sasaran, baik sasaran dalam latihan maupun dalam pertandingan. Sasaran tersebut mulai dan sasaran jangka panjang, menengah, sampai sasaran jangka pendek yang lebih spesifik.
Untuk menetapkan sasaran, ada tiga syarat yang perlu diingat agar sasaran itu bermanfaat, yaitu:
• Sasaran harus menantang.
• Sasaran harus dapat dicapai.
• Sasaran harus meningkat.

3. Motivasi
Motivasi dapat dilihat sebagai suatu proses dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu sebagai usaha dalam mencapai tujuan tertentu. Motivasi yang kuat menunjukkan bahwa dalam diri orang tersebut tertanam dorongan kuat untuk dapat melakukan sesuatu.
Ditinjau dari fungsi diri seseorang, motivasi dapat dibedakan antara motivasi yang berasal dan luar (ekstrinsik) dan motivasi yang berasal dari dalam diri sendiri (intrinsik). Dengan pendekatan psikologis diharapkan atlet dalam setiap penampilannya dapat memperlihatkan motivasi yang kuat untuk bermain sebaik-baiknya, sehingga dapat memenangkan pertandingan.
Motivasi yang baik tidak mendasarkan dorongannya pada faktor ekstrinsik seperti hadiah atau penghargaan dalam bentuk materi. Akan tetapi motivasi yang baik, kuat, dan lebih lama menetap adalah faktor intrinsik yang mendasarkan pada keinginan pribadi yang lebih mengutamakan prestasi untuk mencapai kepuasan diri daripada hal-hal yang material.
Untuk mengembangkan motivasi intrinsik ini, peran pelatih dan orangtua sangat besar. Pelatih perlu melakukan pendekatan dan menumbuhkan kepercayaan diri pada atlet secara positif. Ajarkan atlet untuk dapat menghargai diri sendiri, oleh karena itu, pelatih harus memperlihatkan bahwa ia menghargai hasil kerja atlet secara konsekuen.
4. Emosi
Faktor-faktor emosi dalam diri atlet menyangkut sikap dan perasaan atlet secara pribadi terhadap diri sendiri, pelatih maupun hal-hal lain di sekelilingnya. Bentuk-bentuk emosi dikenal sebagai perasaan seperti senang, sedih, marah, cemas, takut, dan sebagainya. Bentuk-bentuk emosi tersebut terdapat pada setiap orang. Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana kita mengendalikan emosi tersebut agar tidak merugikan diri sendiri.
Pengendalian emosi dalam pertandingan olahraga seringkali menjadi faktor penentu kemenangan. Para pelatih harus mengetahui dengan jelas bagaimana gejolak emosi atlet asuhannya, bukan saja dalam pertandingan tetapi juga dalam latihan dan kehidupan sehari-hari. Pelatih perlu tahu kapan dan hal apa saja yang dapat membuat atletnya marah, senang, sedih, takut, dan sebagainya. Dengan demikian pelatih perlu juga mencari data-data untuk mengendalikan emosi para atlet asuhannya. yang tentu saja akan berbeda antara atlet yang satu dengan atlet lainnya.
Gejolak emosi dapat mengganggu keseimbangan psikofisiologis seperti gemetar, sakit perut, kejang otot, dan sebagainya. Dengan terganggunya keseimbangan fisiologis maka konsentrasi pun akan terganggu, sehingga atlet tidak dapat tampil maksimal. Seringkali seorang atlet mengalami ketegangan yang memuncak hanya beberapa saat sebelum pertandingan dimulai. Demikian hebatnya ketegangan tersebut sampai ia tidak dapat melakukan awalan dengan baik. Apalagi jika lawannya dapat menekan dan penonton pun tidak berpihak padanya, maka dapat dibayangkan atlet tersebut tidak akan dapat bermain baik. Konsentrasinya akan buyar, strategi yang sudah disiapkan tidak dapat dijalankan, bahkan ia tidak tahu harus berbuat apa.
Disinilah perlunya dipelajari cara-cara mengatasi ketegangan (stress mana- gement). Sebelum pelatih mencoba mengatasi ketegangan atletnya. terlebih dulu harus diketahui sumber-sumber ketegangan tersebut. Untuk mengetahuinya, diperlukan adanya komunikasi yang baik antara pelatih dengan atlet. Berikut ini dijelaskan secara terpisah mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan emosi.
5. Kecemasan dan Ketegangan
Kecemasan biasanya berhubungan dengan perasaan takut akan kehilangan sesuatu, kegagalan, rasa salah, takut mengecewakan orang lain, dan perasaan tidak enak lainnya. Kecemasan-kecemasan tersebut membuat atlet menjadi tegang, sehingga bila ia terjun ke dalam pertandingan maka dapat dipastikan penampilannya tidak akan optimal. Untuk itu, telah banyak diketahui berbagai teknik untuk mengatasi kecemasan dan ketegangan yang penggunaannya tergantung dari macam kecemasannya.
Sebagai usaha untuk dapat mengatasi ketegangan dan kecemasan, khususnya dalam menghadapi pertandingan, lakukanlah beberapa teknik berikut ini :
• Identifikasikan dan temukan sumber utama dan permasalahan yang menimbulkan kecemasan.
• Lakukan latihan simulasi, yaitu latihan di bawah kondisi seperti dalam pertandingan sesungguhnya.
• Usahakan untuk mengingat, memikirkan dan merasakan kembali saat-saat ketika mencapai penampilan paling baik atau paling mengesankan.
• Lakukan latihan relaksasi progresif, yaitu melakukan peregangan alau pengendoran otot-otot tertentu secara sistematis dalam waktu tertentu.
• Lakukan latihan otogenik, yaitu bentuk latihan relaksasi yang secara sistematis memikirkan dan merasakan bagian-bagian tubuh sebagai hangat dan berat.
• Lakukan latihan pernapasan dengan bernapas melalui mulut dan hidung serta secara sadar bernapas dengan menggunakan diafragma.
• Dengarkan musik (untuk mengalihkan perhatian).
• Berbincang-bincang, berada dalam situasi sosial (untuk mengalihkan perhatian).
• Membuat pernyataan-pernyataan positif terhadap diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang diperlukan saat itu.
• Lain-lain yang dapat mengurangi ketegangan.
6. Kepercayaan Diri
Dalam olahraga, kepercayaan diri sudah pasti menjadi salah satu faktor penentu suksesnya seorang atlet. Masalah kurang atau hilangnya rasa percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri akan mengakibatkan atlet tampil di bawah kemampuannya. Karena itu sesungguhnya atlet tidak perlu merasa ragu akan kemampuannya, sepanjang ia telah berlatih secara sungguh-sungguh dan memiliki pengalaman bertanding yang memadai.
Peran pelatih dalam menumbuhkan rasa percaya diri atletnya sangat besar. Syarat untuk untuk membangun kepercayaan diri adalah sikap positif. Beritahu pemain di mana letak kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Buatkan program latihan untuk setiap atlet dan bantu mereka untuk memasang target sesuai dengan kemampuannya agar target dapat tercapai jika latihan dilakukan dengan usaha keras. Berikan kritik membangun dalam melakukan penilaian terhadap atlet. Ingat, kritik negatif bahkan akan mengurangi rasa percaya diri.
Jika pemain telah bekerja keras dan bermain bagus (walaupun kalah), tunjukkan penghargaan Anda sebagai pelatih. Jika pemain mengalami kekalahan (apalagi tidak dengan bermain baik), hadapkan ia pada kenyataan objektif. Artinya, beritahukan mana yang telah dilakukannya secara benar dan mana yang salah, serta tunjukkan bagaimana seharusnya. Menemui pemain yang baru saja mengalami kekalahan harus dilakukan sesegera mungkin dibandingkan dengan menemui pemain yang baru saja mencetak kemenangan.

7. Komunikasi
Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi dua arah, khususnya antara atlet dengan pelatih. Masalah yang sering timbul dalam hal kurang terjalinnya komunikasi yang baik antara pelatih dengan atletnya adalah timbulnya salah pengertian yang menyebabkan atlet merasa diperlakukan tidak adil, sehingga tidak mau bersikap terbuka terhadap pelatih. Akibat lebih jauh adalah berkurangnya kepercayaan atlet terhadap pelatih.
Untuk menghindari terjadinya hambatan komunikasi, pelatih perlu menyesuaikan teknik-teknik komunikasi dengan para atlet seraya memperhatikan asas individual. Keterbukaan pelatih dalam hal pogram latihan akan membantu terjalinnya komunikasi yang baik, asalkan dilakukan secara objektif dan konsekuen. Atlet perlu diberi pengertian tentang tujuan program latihan dan fungsinya bagi tiap-tiap individu.
Sebelum program latihan dijalankan, perlu dijelaskan dan dibuat peraturan mengenai tata tertib latihan dan aturan main lainnya termasuk sanksi yang clikenakan jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang telah dibuat tersebut. Jadi, hindarilah untuk memberlakukan suatu sanksi yang belum pernah diberitahukan sebelumnya. Misalnya, seorang atlet minum Coca Cola dalam latihan, lalu dihukum oleh pelatih. Atlet tersebut bingung dan bertanya-tanya mengapa ia dihukum karena ia tidak pernah dijelaskan sebelumnya oleh pelatih bahwa dalam latihan dilarang minum minuman bersoda.
Demikian pula dalam hal pelaksanaanya. Peraturan yang sudah dibuat, haruslah dijalankan secara konsekuen. Artinya, jika seorang atlet dihukum karena melanggar peraturan tertentu, maka jika ada atlet lain yang melanggar peraturan yang sama ia pun harus mendapat hukuman yang sama. Demikian pula jika atlet yang sama melakukannya lagi di kemudian hari.
Pelatih pun perlu bersikap objektif dan berpikir positif. Bersikap objektif maksudnya adalah bersikap sesuai dengan kenyataan atau fakta apa adanya tanpa menyangkutpautkan dengan hal lain. Jika pelatih marah terhadap atlet karena misalnya si atlet datang terlambat dalam latihan, maka hukumlah atlet itu hanya atas keterlambatannya, jangan dihubungkan dengan hal-hal lain (ingat, hukuman tersebut harus sudah tertera dalam tata tertib latihan).
8. Konsentrasi
Konsentrasi adalah kemampuan olahragawan dalam memelihara focus perhatiannya pada lingkungan pertandingan yang relevan ( Weinberg dan Gould, 2003 : 353-354 ).
Dalam olahraga, seringkali terdengar ucapan pelatih yang menghimbau kepada olahragawannya untuk berkonsentrasi , tetapi kalau olahragawan tidak pernah dilatih konsentrasi maka dia tidak akan mengerti harus bagaimana konsentrasi dilakukan. Selain itu kurangnya konsentrasi juga sering menjadi alasan kegagalan olahragawan dalam satu pertandingan. Pada prinsipnya latihan konsentrasi dapat ditingkatkan sama dengan aspek fisik dan teknik, yaitu melalui berbagai latihan.
Untuk meningkatkan konsentrasi olahragawan antara lain melalui pandangan dan pikiran pada satu objek tertentu, tarik nafas dalam dalam, bahasa tubuh yang baik , dan lakukan ritual . ( Sukadiyanto 2006 : 175)



9. Evaluasi Diri
Evaluasi diri dimaksudkan sebagai usaha atlet untuk mengenali keadaan yang terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar atlet dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan dirinya pada saat yang lalu maupun saat ini. Dengan bekal pengetahuan akan keadaan dirinya ini maka pemain dapat memasang target latihan maupun target pertandingan dan cara mengukurnya. Kegunaan lainnya adalah untuk mengevaluasi hal-hal yang telah dilakukannya, sehingga memungkinkan untuk mengulangi penampilan terbaik dan mencegah terulangnya penampilan buruk.
Oleh karena itu, pelatih perlu menginstruksikan atletnya untuk memiliki buku catatan harian mengenai latihan dan pertandingan. Minta pemain untuk menuliskan kelemahan dan kelebihan diri sendiri, baik dalam segi fisik, teknik, maupun mental. Kemudian koreksilah jika menurut Anda sebagai pelatih ada hal-hal yang tidak sesuai atau ada yang kurang.
Tahap penelitian :
Deskriptif : menggambarkan fenomena dalam kasus kecemasan. Penelitian deskriptip diperbolehkan menetapkan norma, menentukan apakah perubahan kecemasan dalam kompetisi olahraga dipengaruhi oleh perubahan menurut usia dan jenis kelamin ( Marten,1977). Sama dengan kohesi, penelitian deskriptif disediakan norma-norma yang memungkinkan untuk menentukan apakah sifat dan jumlah kohesivitas adalah relative kecil untuk atlet laki-laki dan perempuan dalam tim ( bola basket), dan Individual ( Athletik), dalam situasi olahraga (Widmeyer, Brawley, & Carron, 1985).
Penjelasan : menggembangkan dan menguji model atau penjelasan yang menghubungkan data deskriptif yang tersedia dalam penelitian, Paser (1983).
Contah menentukan apakah perbedaan kecemasan dapat dijelaskan atas dasar takut gagal, takut evaluasi, dan harga diri. Menunjukkan bahwa kompetisi yang dirasakan tidak terkait dengan kecemasan, harga diri yang rendah terkait dengan takut gagal, takut evaluasi yang sangat terkait dengan kecemasan, Carron, Widmeyer, dan Brawley (1988).
Prediksi : Ilmuwan menggunakan model atau teori untuk memprediksi hasil. Satu prediksi bahwa kecemasan dalam olahraga adalah bahwa atlet sangat cemas dan mengalami stress yang lebih besar sebelum kompetisi, Gould, Horn dan Speeman (1983). Prediksi dalam kohesi kelompok bahwa individu pada tim gagal tapi sangat kohesiv akan menerima responbiliti lebih besar bagi keberhasillan dari anggota tim, Brawley,Carron, dan widmeyer (1987).
Kontrol : Proses pelatihan berkaitan dengan pengembangan metode dan teknik untuk mempengaruhi fenomena yang bersangkutan. Jika hasil dari pengujian diulang pada penjelasan dan tahap prediksi yang handal dan valid, informasi ini dapat digunakan untuk mengembangkan program intervensi untuk memperbaiki prilaku dan kinerja dalam olahraga dan aktifitas fisik. Contoh : kecemasan dan kohesi pelatih atau psikolog olahraga memperkenalkan program dalam olahraga dan aktifitas fisik atau meningkatkan tingkat kohesi kelompok dalam tim.

Kegiatan Profesional : Penerapan Pengetahuan
Tujuan dasar dari setiap profesi adalah menerapkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk kebaikan masyarakat. Demikian profesi medis menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari fisiologi, anatomi, biokimia dan ilmu kesehatan lainnya yang berhubungan untuk mengjaga kualitas hidup manusia. Pendidikan menerapkan pengetahuan yangdidapat dari penelitian di bidang psikologi, sosiologi, dan system teori yang menghasilkan guru yang efisien. Penelitian ilmu olahraga untuk meningkatkan prilaku individu, kelompok dan kinerja dalam olahraga dan pengaturan aktifitas fisik.



Penerapan pengetahuan dalam psikologi olahraga melibatkan berbagai metode, teknik, dan pendekatan :
• Konseling klinis.
• Intervensi krisis.
• Penilaian psikologi.
• Peningkatan kerja.
• Konsultasi dan pengembangan program.
• Pencegahan dan pengobatan cidera. (Nideffer, 1981).

Meskipun ini semua penting, kegiatan yang paling terlihat kepada masyarakat peningkatan kinerja, konsultasi dan pengembangan program. Seorang atlet dapat menggunakan latihan mental untuk beberapa tujuan untuk mempercepat proses belajar, untuk meningkatkan motivasi diri, strategi rencana dan untuk memperkuat mental, prilaku yang tepat adlah dengan relaksasi. Atlet mungkin mengalami stress selama kompetisi selama satu jam, seminggu atau bahkan berbulan-bulan sebelum peristiwa kompetisi dilaksanakan. Setelah masalah diidentifikasi, seorang psikolog olahraga dapat membantu atlet mengembangkan teknik relaksasi dengan meditasi, relaksasi progresif, biofeedback, hypnosis diri, atau pelatihan perhatian kontrol.
Penetapann tujuan dapat digunakan untuk memperjelas kinerja dan mengembangkan program pelatihan yang tepat untuk sejumlah ketrampilan, apakah kinerja fisik, teknik relaksasi, teknik latihan mental, atau program komitmen dan self control. Melalui inin peran psikolog sebagai fasilitstor, diterapkan untuk membantu atlet mengidentifikasi perbaikan –perbaikan yang diperlukan dan memberikan pendidikan dan konseling untuk meningkatkan pembelajaran dan kinerja.

Belajar Masyarakat
Di Amerika utara, ada asosiasi professional yang berfokus pada khusunya psikologi olahraga atau secara umum pada ilmu olahraga, Di amerika Utara Psikologi olahraga dan aktifitas fisik nama perkumpulan North American Society for the Psychology of sport and Physical Activity ( NASPSPA) didirikan pada tahun 1967. Masyarakat Canada untuk belajar psikomotor dan psikologi olahraga nama perkumpulannya Canadian Society for Psychomotor Learning and Sport Psychology ( CSPLSP) didirikan pada tahun 1969, dan asosiasi untuk kemajuan psikologi olahraga terapan perkumpulannya advancement of Applied sport Psychology (AAASP) didirikan pada tahun 1986.

Journal
Jurnal penelitian psikologi olahraga ada yang spesifik dan umum. Yang spesifik adalah :
• The sport Psychologist,
• Journal of Motor Behavior,
• Journal sport and Exercise Psychology,
• Journal of Sport Behavior.
Publik umum adalah :
• Canadian Journal of sport science,
• Research Quarterly,
• Medicene and science in Sport and Exercise,
• Perceptual and motor Skills,
• Journal of Experimental Psychology,
• Journal of Personality and Social Psychology, and
• Psychological Review.

Pendidikan Sarjana , Pascasarjana dan Peluang karir
Mengingat berbagai topik dan kegiatan dilapangan sulit untuk mengidentifikasi pelatihan yang tepat hingga untuk seorang psikologi olahraga. Pendekatan yang mungkin adalah melihat apa yang telah terjadi bukan apa yang harus terjadi, persiapan pendidikan individu saat berlatih psikologi olahraga dalam sebuah artikel ( Salmela, 1981).


Pasar pekerjaan sarjana Psikologi Olahraga dapat mengajar ke sekolah professional. Sedangkan gelar Master dan Doktor dapat bekerja di Universitas.
Psikologi Olahraga yang bekerja di swasta sebagai konsultan tim dan individu.
Salmela’s (1981) berdasarkan survainya di Amerika Utara psikologi Olahraga menunjukkan individu di tingkat universitas menghabiskan waktunya :
• Sarjana 33,4 %,
• Lulusan Sarjana mengajar 24,8 %,
• Perencana atau melakukan penelitian 24,8 %,
• Menulis dan penerbitan 17,8%,
• Pelatihan atlet 27,1 %,
• Konsultasi 13,8 %,
• Administrasi 19,8 %,
• Kegiatan lainnya 2,2 %.

C. Kesimpulan

Psikologi olahraga merupakan ilmu baru, sedangkan aktifitas fisik yang berkaitan dengan keadaan psikolagis dalam menghadapi kompetisi adalah kondisi mental . Psikologi olahraga dan aktifitas fisik merupakan aplikasi dari psikologi menghubungkan tingkah laku dalam kontek olahraga.
Aktifitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik dan mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang hari.
Pengaruh faktor psikologis pada atlet akan terlihat dengan jelas pada saat atlet tersebut bertanding. Masalah psikologis yang paling sering timbul di kalangan olahraga, khususnya dalam kaitannya dengan pertandingan dan masa latihan, adalah : Berpikir positif, penetapan sasaran (goal setting), motivasi, emosi, kecemasan dan ketegangan, kepercayaan diri, komunikasi, konsentrasi dan evaluasi diri
Bisa disimpulkan peranan psikologi olahraga terhadap aktifitas fisik ( Olahraga ) sangat penting karena akan menentukan keberhasilan seorang atlet dalam menghadapi kompetisi baik sebelum, saat dan setelah kompetisi.
Selalu ada hubungan erat antara spesialisasi dalam bidang psikologi olahraga dan kinerja ditingkat Universitas. Keadaan olahraga sekarang merupakan atau memungkinkan menjadi prediksi untuk masa depan.
• Penekanan yang lebih besar akan ditempatkan pada penelitian praktis dan penerapan pengetahuan yang diperoleh dari penelitian.
• Psikologi olahraga akan diaplikasikan dalam meningkatkan permintaan di tingkat olahraga elit : Amatir dan Profesional.
• Akan ada penekanan pada penelitian apa dan aplikasi psikologi kesehatan dan psikologi pada latihan.
• Psikologi olahraga akan berada dalam pemerintahan yang lebih besar sebagai konsultan untuk pelatih, orang tua dan atlet.

















DAFTAR PUSTAKA
Brawley,L.R., Carron, A.V., & Widmeyer, W.N. (1987). Assessing the cohesion of teams : Validity of the Group Environment Questionnaire. Journal of Sport Psychology, 9,275-294.

Carron,A.V., Widmeyer, W.N, & Brawley, L.R. (1985). The development of an instrument to assess cohesion in sport teams : The Group Environment Questionnaire. Journal of sport psychology, 7, 244-266.

Carron,A.V., Widmeyer, W.N, & Brawley, L.R. (1988) .( In Press). Group Cohesion and Individual adherence to physical activity. Journal of sport psychology.
http//www.bulu tangkis .com/mod.php? mod = user page & mem = 403 7 page id =7 . dikunjungi tanggal 11 oktober 2010.

Marten, R.(1977). Sport competition anxiety test. Champaign, IL : Human Kinetics.

Morgan, W.P. (1972). Sport Psychology. In R.N. Singer (Ed), The Psychomotor domain (pp.193-228). Philadelphia: lea & Febinger.

Nideffer, R.M. (1981). The ethics and pratice of applied sport psychology. Ithaca, NY : movement

Paser, M.W. (1983) Fear of failure, fear of evaluation, perceived competence, and self- estem in competitive-trait-anxios children. Journal of Sport Psychology, 5, 172-188.
PBSI, ( 2005 -2010 ) Pedoman Praktis bermain Bulutangkis . http:/ bulu tangkis Indonesia.com/ 2007/03/ Psikologi olahraga dan psikologi-html. Dikunjungi tanggal 11 oktober 2010. 2
Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006) Gaya Hidup Sehat. http:/balaiolahragamks, Wordpress.com/2009/02/01/lakukan aktifitas fisik-30- menit- sehari 2/ dikunjungi pada tanggal 2 november 2010.
Salmela, J.H. (1981). The world sport psychology sourcebook. Ithaca, NY : movement.
Sukadiyanto (2006). Konsentrasi Dalam Olahraga.Majalah Ilmiah Olahraga , Yogyakarta : FIK –UNY,

Singer, R.N. (1978). In W.F. straub (Ed), Sport psychology : An analysis of atlete behavior (pp. 3-15). Ithaca, NY : movement.

Widmeyer, W.N., Brawley, L.R, & Carron, A.V.(1985). The measurement of cohesion in sport team. London, ON : Sport Dynamics.

William, J.A .,& Straub, W.F. (1986). Sport psychology : Past, Presesn, and future. In J.M. William (Ed), Applied sport psychology : personal growth to peak performance (pp. 1-14). Palo Alto, CA: Mayfield.
Weinberg, Robert S and Gould, Daniel (2003). Foundation of Sport and Exercise Psychology, 3 rd edition. Champaign, II : Human Kinetics publishers, Inc

it's me

nama saya Wilian dalton. nama yang aneh untuk ukuran orang jawa. Perilaku saya pun mungkin juga kerap di anggap aneh oleh orang lain. saya sih cuek aja. nama yg spesial. perilaku yg spesial. mungkin itulah yg akan membuat saya jadi orang yang spesial suatu hari kelak, hahahaha

saya seorang guru pendidikan jasmani. menjadi PNS dengan golongan IIIa pada umur 22 tahun. termuda saa itu. spesial bukan?hahahaha PD.

Olahraga kesenangan saya sepakbola dan hockey.

sekarang saya sedang menyelesaikan studi magister olahraga di kampus UNY.

Aktivitas Fisik dan Relasi Sosial

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Partisipasi dalam aktivitas fisik merupakan sumber kenikmatan dan memiliki manfaat positif bagi kesehatan manusia fisik dan mental. Hal ini juga dapat berkontribusi untuk pertumbuhan pribadi dan pengembangan dan merupakan cara yang baik untuk bertemu orang baru. Banyak yang berpendapat olahraga merupakan hal yang sepele dari kehidupan. Sisi lain dari olahraga di luar aturan, teknik, strategi, manfaat fisik, nilai permainan, dan kepribadian. Daerah ini kembali sering tersembunyi dari pengamat kasual atau peserta dan oleh karena itu merupakan bagian dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang hanya mendapatkan sedikit akses dan pengetahuan. Permasalahan lain yang tidak terlihat mencakup area seperti ruang ganti, kantor politik para pemimpin nasional, ruang rapat, hotel, dan asrama. Banyak pandangan yang negetif dalam hal ini, sperti perjudian, narkoba, diskriminasi, dan masih banyak lagi.
Salah satu cara untuk memahami makna olahraga dalam hidup kita kembali dengan disiplin sosiologi, yang berusaha untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menafsirkan struktur sosial, interaksi sosial, dan perilaku sosial dari kelompok. Kajian olahraga terhadap ilmu olahraga diawali dengan keterlibatan sosiologi sebagai salah satu ilmu yang digunakan untuk mengkaji fenomena keolahragaan. Dari sisi pelaku dan proses sosial yang terbentuk, semakin memantapkan keyakinan bahwa olahraga merupakan kegiatan yang kecil dan dilakukan dalam perikehidupan masyarakat, artinya fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat telah tercermin dalam aktivitas olahraga dengan terdapatnya nilai, norma, pranata, kelompok, lembaga, peranan, status, dan komunitas.
Sosiologi berupaya mempelajari masyarakat dipandang dari aspek hubungan antar individu atau kelompok secara dinamis, sehingga terjadi perubahan-perubahan sebagai wujud terbentuknya dan terwarisinya tata nilai dan budaya bagi kesejahteraan pelakunya untuk peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan secara utuh menyeluruh. Manusia memiliki hasrat bermain dan bergerak sebagai wujud nyata aktualisasi dirinya untuk mengembangkan dan membina potensi yang dimilikinya yang berguna bagi keperluan hidup sehari-hari. Olahraga yang kita lihat pada era sekarang pada hakekatnya merupakan aktivitas gerak fisik yang sudah mengalami pelembagaan formal. Disana terdapat nilai dan norma baku yang bersifat mengikat para pelaku, penyelenggara, dan penikmatnya agar olahraga bisa berlangsung dengan adil, tertib, dan aman.

1.2 Pengertian Sosiologi

Secara umum, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat dan proses-proses sosial yang terjadi di dalamnya antar hubungan manusia dengan manusia, secara individu maupun kelompok, baik dalam suasana formal maupun material, baik statis maupun dinamis.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, sosiologi diartikan sebagai ilmu masyarakat yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial,termasuk perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah sosial (norma), lembaga sosial, kelompok serta lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh timbal balik antara kemampuan ekonomi yang tinggi dengan stabilitas politik dan hukum, stabilitas politik dengan budaya, dan sebagainya.
Secara khusus, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat dipandang dari aspek hubungan antara individu atau kelompok. Hubungan yang terjadi karena adanya proses sosial dilakukan oleh pelaku dengan berbagai karakter, dilakukan melalui lembaga sosial dengan berbagai fungsi dan struktur sosial. Keadaan seperti ini ternyata juga terdapat dalam dunia olahraga sehingga sosiologi dilibatkan untuk mengkaji masalah olahraga.

1.3 Pengertian Sosiologi Olahraga
Sosiologi olahraga merupakan ilmu terapan, yaitu kajian sosiologis pada masalah keolahragaan. Proses sosial dalam olahraga menghasilkan karakteristik perilaku dalam bersaing dan kerjasama membangun suatu permainan yang dinaungi oleh nilai, norma, dan pranata yang sudah melembaga. Kelompok sosial dalam olahraga mempelajari adanya tipe-tipe perilaku anggotannya dalam mencapai tujuan bersama, kelompok sosial biasanya terwadahi dalam lembaga sosial, yaitu organisasi sosial dan pranata. Beragam pranata yang ada ternyata terkait dengan fenomena olahraga.


























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sosiologi dan Aktifitas fisik
Meskipun pandangan yang dimiliki oleh para sarjana dan wartawan bahwa olahraga tidak layak studi atau analisis, olahraga merupakan komponen integral dari kehidupan sosial politik, ekonomi, dan budaya. Di Amerika utara hubungan sosiologi dan aktifitas fisik dapat dipertimbangkan aspek sebagai berikut:
• Dampak Ekonomi. Orang sebagai kelompok menghabiskan sejumlah besar uang untuk pakaian olahraga dan peralatan, aktivitas, instruksi, keanggotaan di klub atletik, dan perjudian di acara penyortiran. Merupakan industri terbesar dan meningkatkan pengahasilan hingga $63.1 billion di Amerika Serikat. Rata-rata gaji $200,000 sampai $800,000 per tahun untuk atlet professional dan lebih dari $1 million pertahun untuk superstar di Amerika Serikat.
• Dampak media. Jaringan televisi besar setiap tahunnya menghasilkan lebih dari 2.000 jam liputan olahraga; kabel jaringan (ESPN di Amerika Serikat dan TSN di cannada) menyediakan perputran jam.
• Dampak politik. Olahraga telah digunakan untuk tujuan propaganda (Egthe 1936 Olimpiade game di Berlin) dan sebagai alat kebijakan luar negeri (misalnya pelarangan america selatan dari kompetisi Internasional sebagai sanksi terhadap kebijakan apartheid atau boikot AS dari 1980 moskow Olimpiade game di protes terhadap kehadiran militer Soviet di Afganistan).
• Dampak dari waktu senggang. Data dari survey 1988 Campbell tentang kesejahteraan di canada menunjukkan bahwa 80% dari penduduk Kanada menghabiskan 3-lebih jam/minggu untuk 9-lebih bulan/tahun dalam beberapa jenis olahraga saat waktu luang atau melakukan aktivitas fisik.
• Dampak pendidikan. Olahraga dan kegiatan fisik termasuk dalam kurikulum. Acara olahraga merupakan bagian integral dari interaksi sosial di Universitas dan tim olahraga untuk meraih sukses dan untuk menggalang dana.
• Dampak budaya. Olahraga adalah tema umum dalam seni, novel, dan film, dan dalam iklan. Lebih penting, olahraga tertentu merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari warisan budaya dari beberapa negara.
Dari beberapa aspek di atas membuktikan bahwa, olahraga bukan merupakan hal yang sepele dalam aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, atau budaya melainkan sudah menjadi institusi sosial yang penting yang sosiolog harus memberikan perhatian ilmiah yang serius.

2.2 Konsep Utama
Sosiolog mempelajari struktur organisasi sosial dan sistem hubungan manusia dan interaksi. Sosiolog mengasumsikan bahwa ada pesanan yang mendasari dan pola perilaku manusia, bahwa perilaku kita adalah sebagian besar ditentukan secara sosial. Dengan demikian, tidak seperti Psycologist, yang berfokus pada individu melalui konsep seperti motivasi dan kepribadian, Sosiolog tertarik dalam karakteristik sosial (misalnya, gender atau tingkat sosial), isu-isu sosial, dan faktor eksternal individu, terutama karena mereka membentuk perilaku dan mempengaruhi gaya hidup.
Karena olahraga dan aktivitas fisik telah menjadi unsur meluas dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi, sosiologi olahraga sebagai mengajukan penelitian dan studi telah berkembang dengan pesat sejak pertengahan 1960-an. tujuan utama dari sub disiplin ini adalah:
1. Menemukan dan menggambarkan proses pola sosial, dan masalah yang terkait dengan perilaku individu dan kelompok dalam pengaturan olahraga.
2. Untuk mengembangkan penjelasan proses pola sosial, dan masalah dengan menggunakan perspektif teoritis dan alat-alat penelitian sosiologi.
3. Untuk mencari bukti-bukti penelitian yang akan menyangkal Mitos yang berlaku, Stereotypes (pandangan negative) dan asumsi tentang olahrga dan aktivitas fisik.
4. Untuk mengungkapkan, kritik, dan memperbaiki masalah dalam olahraga yang disebut banyak menyapu dan membongkar motif studi sosiologis.
5. Untuk menggunakan pengaturan olahraga dan kelompok untuk lebih memahami aspek yang lebih umum dari realitas sosial dan interaksi sosial, misalnya dengan menggunakan tim olahraga untuk mempelajari fenomena seperti keefektifan kelompok berinteraksi, kelompok atau keberhasilan dan proses-proses sosial yang terlibat dalam organisasi yang kompleks.
6. Untuk memberikan bukti kebijakan olahraga dan kebugaran dan program yang dapat dikembangkan dan direvisi dan,
7. Untuk mengidentifikasi dan menawarkan solusi untuk masalah-masalah sosial yang luas dalam kegiatan pengaturan olahraga dan aktivitas fisik (misalnya obat-obatan, kekerasan, diskriminasi, chating).
Sosiologi olahraga dan aktivitas fisik menyelidiki struktur oraganization sosial dan sistem interaksi manusia yang terjadi dan berhubungan dengan domain olahraga, rekreasi, dan kegiatan fisik.

2.3 Fungsi Sosiologi Olahraga
Untuk menelaah fenomena sosial olahraga yang dikembangkan Nixon dan Stevenson, olahraga sebagai pranata sosial yang mengandung potensi untuk menjalankan beberapa fungsi yaitu fungsi sosio-emosional, fungsi sosialisasi, fungsi integrative, fungsi politik, dan fungsi mobilitas social. Beberapa fungsi tersebut dapat disebut sebagai fungsi instrumental olahraga.
a. Fungsi sosio-emosional, olahraga mencangkup pemenuhan kebutuhan individu untuk mempertahankan stabilitas sosio-psikologi, meliputi tiga mekanisme yaitu ; pertama, mekasnisme untuk mengelolah ketegangan dan konflik pada individu. Kedua, pemberian kesempatan untuk membangkitkan perasaan adanya komunitas mempertahankan seksistensi budaya dan status sosial. Ketiga, melampiaskan prilaku agresif yang aman setelah berhasil mengendalikan gerak, kepuasan untuk mengekspresikan diri melalui olahraga.
b. Fungsi sosialisasi olahraga, tercermin dalam nilai-nilai budaya pada dasarnya adalah proses pembelajaran keterampilan, sifat-sifat, nilai, sikap, norma, dan prilaku. Olahraga berkembang dan kaya dengan nilai, tradisi dan acara ritual, termasuk aneka tata karma yang tak bersanksi, yang menyatu sebagai budaya dan mempengaruhi prilaku olahragawan.
c. Fungsi Integrasi, melalui olahraga dapat dicapai integrasi yang harmonis antara individu yang tadinya terpisah, terbuang dari lingkungannya. Melalui kegiatan berolahraga, proses identifikasi individu ke dalam situasi kolektif akan tercapai. Integrasi terjadi karena kebulatan komitment untuk mencapai tujuan bersama.
d. Fungsi Politik, merupakan perluasan dari fungsi integratife. Olahraga digunakan untuk menghasilkan identitas nasional dan prestise.
e. Fungsi mobilitas sosial, atlet yang tadinya berstatus ekonomi redah terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama, peningkatan prestise terkait dengan prestasi, dan kedua prestasi sosial dengan peningkatan ekonomi.
f. Fungsi control sosial, yaitu dalam faktor-faktor tingkah laku bersama, operasi kontrol sosial seperti media massa, dan kritikus yang terlalu melebih-lebihkan atau terlalu ambisi dalam mengungkap suatu hal, dalam hal ini hal-hal yang terdapat dalam suatu event olahraga, karena olahraga adalah miniatur kehidupan, akan dapat menimbulkan tingkah laku bersama seperti tingkah laku kolektif. Maka dari itu salah satu fungsi sosiologi olahraga adalah sebagai media kontrol sosial, karena pemberitaan yang di keluarkan oleh media massa sebagai acuan seberapa besar masalah yang ada dalam suatu event olahraga.

2.4 Metode Penelitian Sosial
Di dalam penelitian mereka, sosiologi menggunakan konsep system sosial, budaya dan sub budaya, struktur social, perbedaan social, kelas social, gerak sosial, konflik social, perubahan social, perbedaan, kelas, status, jenis kelamin, dan etnik. Secara umum, karya sosiolog olahraga melibatkan kritis mengamati dan menganalisis perilaku sosial dan interaksi yang terjadi pada pengaturan olahraga aktivitas fisik (oleh pemain, penonton, resmi alumni, pelatih, pemilik, atau pesonil media masa) serta sebagai hubungan antara olahraga atau aktivitas fisik dan aspek budaya dan struktur masyarakat yang lebih luas dari masyarakat di mana mereka berada. Konsep ini memungkinkan sosiolog untuk mencari bukti-bukti obyektif untuk mendukung atau menolak hipotesis, hubungan dan asumsi.
Sosiolog juga menggunakan berbagai prosedur penelitian kualitas dan tehnik kuantitatif dan analitis. Pertanyaan khusus dalam penyelidikan menentukan metode tertentu yang mereka gunakan. Pendekatan kualitatif terdiri dari metode seperti observasi partisipan, wawancara formal, dan percakapan informal dengan mereka dalam pengaturan sosial. Misalnya, dalam penelitian yang dirancang untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana perilaku yang biasanya dianggap menyimpang dan sering ilegal. Pendekatan kualitatif untuk pengumpulan data sangat memakan waktu, dan penyidik harus berhati-hati untuk tidak membiarkan bias pribadi tentang hasil yang mengganggu ke dalam observasi atau interpretasi.
Pendekatan kuantitatif telah lebih sering digunakan dalam studi olahraga dan aktivitas fisik dari perspektif sosiologis. biasanya, ilmuwan terutama bergantung pada wawancara terstruktur atau kuesioner untuk mengumpulkan data yang serupa dari kelompok yang besar, namun data lainnya perpustakaan dan arsip telah digunakan sebagai sumber data. Satu teknik umum untuk menggunakan bahan-bahan arsip yang disebut analisis isi. Keuntungan utama dari pendekatan kuantitatif adalah bahwa sampel besar dapat dikumpulkan dan dianalisis secara statistik dengan biaya cukup rendah.

2.5 Pertanyaan Utama Penelitian
Sosiolog terkait dengan studi olahraga dan aktivitas fisik saat ini terlibat dalam penelitian yang diarahkan menuju berbagai masalah. berikut ini merupakan sampel yang representatif dari pertanyaan mereka :
• Mengapa beberapa kelompok sosial yang lebih terlibat dalam olahraga bahwa mereka dari kelompok lain (misalnya, putih lebih dari kulit hitam, laki-laki lebih dari perempuan dan pekerja kerah putih lebih dari pekerja kerah biru) ?
• Mengapa dianggap popularitas beberapa olahraga tertentu bervariasi dari satu masyarakat ke orang lain (Misalnya bisbol di Amerika dan Jepang, Hoky di Canada, tenis meja di Cina) atau dari satu wilayah suatu negara dan lainnya ?

2.6 Jurnal, Publikasi, dan Organisasi Profesi
Penambahan untuk konsultasi buku referensi dikutip dalam bab ini, para mahasiswa yang tertarik akan menemukan kekayaan material dalam jurnal berikut:
• Sociology of sport Journal
• International review for the Sociology of Sport
• Journal of Sport and Social Issues
• Journal of Sport Behavior
• Canadian Journal of Sport Sciences
• Women in Sport and Physical Activity
• Arena Review
Akhirnya, siswa memenuhi syarat untuk bergabung dengan dua asosiasi profesional utama dalam bidang studi: masyarakat Amerika Utara untuk sosiologi olahraga dan komite Internasional untuk sosiologi olahraga. Kedua organisasi ini menerbitkan jurnal penelitian dan newsletter tentang hal-hal profesional, dan masing-masing menyelenggarakan pertemuan tahunan di mana sosiolog mempresentasikan dan mendiskusikan penelitian terbaru mereka.

2.7 Sarjana Pendidikan dan Peluang Karier
Murid yang memulai pada ilmu olahraga dan aktivitas fisik mungkin bertanya-tanya betapa pentingnya bidang ini substudi dibandingkan dengan bidang yang tampaknya lebih praktis dari administrator olahraga, psikologi olahraga, atau fisiologi latihan. Bidang tersebut pasti mungkin tampak memiliki lebih relevansi langsung dan praktis pada tahap ini, terutama untuk seseorang tertarik menjadi pelatih atau pemimpin kebugaran. Dalam jangka panjang, bagaimanapun, siapapun calon untuk menjadi pemimpin, profesi aktivitas fisik akan menemukan bahwa isu-isu dalam sosiologi olahraga dan aktivitas fisik mungkin memiliki implikasi kebijakan yang signifikan dan program diberbagai tingkatan: personal, karir, keluarga, organisasi, masyarakat , atau negara. khusus, beberapa peluang karir lebih mungkin bagi siswa dengan bakat dan minat dalam substudi mengajukan studi meliputi:
• Konsultan atau direktur eksekutif olahraga atau fitness yang mengatur badan badan di pemerintah provinsi atau federal.
• Pelatihan,
• Pengajaran,
• Personal trainer atau konsultan olahraga
• Peneliti,
• Profesor,
• Wartawan.
Pada kenyataannya, banyak siswa dengan gelar master atau sarjana dan spesialisasi dalam bidang studi telah menemukan sukses karir managerial, administratif, atau bisnis di luar kata olah raga, aktivitas fisik, atau kebugaran.













BAB III
KESIMPULAN

Olahraga sebagai suatu aktivitas yang melibatkan banyak pihak telah disikapi secara dinamis dari pemahaman terhadap yang dianggap sebagai aktivitas primitive untuk mempertahankan hidup berubah menjadi proses sosial yang menghasilkan karakteristik perilaku dalam bersaing dan bekerja sama membangun suatu permainan yang dinaungi oleh nilai, norma, dan pranata lembaga. Olahraga merupakan hal yang penting dalam kehidupan bersosialisasi dan untuk pendidikan jasmani.
Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat dan proses-proses sosial yang terjadi di dalamnya antar hubungan manusia dengan manusia, secara individu maupun kelompok, baik dalam suasana formal maupun material, baik statis maupun dinamis. Sosiologi Olahraga, merupakan proses sosial dalam olahraga menghasilkan karakteristik perilaku dalam bersaing dan kerjasama membangun suatu permainan yang dinaungi oleh nilai, norma, dan pranata yang sudah melembaga. Melalui kegiatan olahraga seseorang memperoleh kesempatan untuk menyatakan dirinya atau melampiaskan ketegangan. Merasakan perasaan sukses dan mandiri sehingga menghasilkan penilaian diri yang positif.
Melalui proses sosial, seseorang dalam melakukan aktifitas olahraga memberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya. Dengan demikian akan terjadi kontal sosial, merupakan factor pentinga yang menjadi alasan bagi sesorang untuk berpartisipasi dalam olahraga. Olahraga merupakan wahana yang memberikan kesempatan bagi pergaulan yang luas dan sesorang saling mengenal satu sama lain.

Rabu, 21 Desember 2011

Olahraga: Manusia Makhluk yang Berperang?

Akar utama olahraga kabarnya adalah penyaluran hasrat manusia untuk bermain. Huizinga, adalah seorang filsuf kebudayaan, yang menggali manusia dari sisi bermain. Bahwa kebudayaan dibangun dari unsur bermainnya manusia. Manusia adalah sejenis manusia yang bermain atau homoludens.




Huizinga dalam bukunya yang terkenal, Homo Ludens: A Study of the Play Element in Culture menyatakan bahwa “peperangan adalah adalah versi lain dari permainan”. Perang adalah persaingan di antara dua atau lebih pihak, sama dengan olah raga. Memang, olahraga tidak mematikan orang lain dan tidak pula merusak gedung atau kota. Tetapi selain itu, adakah perbedaan lain?



Olahraga adalah bentuk sublimasi dari syahwat manusia untuk saling berperang. Ia adalah ”perang” yang sudah diperadabkan. Sumber syahwat itu adalah berasal dari konstruksi diri manusia itu sendiri yang pada dasarnya terdiri dari unsur-unsur pasangan yang berlawanan (Binary opposision). Manusia disamping memiliki naluri bekerjasama juga konflik, memiliki perilaku mempertahankan diri (defensif) tapi sekaligus juga menyerang pihak lain (agresif).



Perang adalah syahwat yang sama sekali tidak bisa dielakkan oleh manusia. Manusia hanya bisa membelokkan syahwat itu ke dalam bentuk tabiat yang lebih sublimatif. Upaya pencarian bentuk ”perang” yang sublimatif itu sudah dimulai oleh masyarakat primitif, misalnya kebiasaan perang antar mereka diganti dalam bentuk tarian perang-perangan. Di era modern, Gang-gang anak muda brandalan di kawasan Manhattan, New York telah mengganti perang antar Gang dengan tarian yang pernah terkenal yaitu ”Break Dance”.



Perang adalah bentuk ekspresi manusia yang paling fenomenal dalam melampiaskan naluri bekerjasama dan berkonflik, perilaku defensif dan agressif secara simultan. Apapun alasannya, akibat dari perang adalah kehancuran yang berkesinambungan (Collateral damage). Menyadari akibat buruk sebuah perang itulah manusia mencoba mencari alternatif bentuk ”perang” yang lain, yang lebih sublimatif, beradab, dan tidak destruktif. Bukan yang menebar penderitaan tapi menggembirakan. Sementara itu syahwat untuk saling berperang tetap terlampiaskan dengan baik. Dan, olahraga adalah bentuk su blimasi pelampiasan syahwat berperang manusia yang paling sempurna dalam banyak segi.



Seni bela diri (pencak silat, karateka, taekwondo, judo dan lain-lain) dijadikan olahraga pada zaman modern. Awalnya, dahulu kala, para pendekar pencak silat, bila mereka bertarung memperebutkan keunggulan ilmunya atau kehebatan keterampilan pencak silat berakhir dengan kematian lawannya. Kecuali, lawannya minta ampun-ampunan atau kabur menyelamatkan diri atau kebaikan hati pendekar yang menang. Seni Bela diri tradisional tertentu, kemudian, berkembang menjadi olahraga.



Masyarakat Arab badui pra islam, melakukan peperangan antarklan, seperti mereka melakukan pertandingan sepak bola pada masyarakat modern. Beberapa suku di papua, peperangan adalah ritual. Peperangan itu seperti sebuah pertandingan yang diadakan setiap tahun sekali. Suku Dani, Suku Lani, dan Suku Yali, masih sering melakukan perang antarsuku. Bagi mereka, perang juga memiliki makna yang dalam. Perang bukan sekadar ajang adu kekuatan antarsuku, namun juga merupakan lambang kesuburan dan kesejahteraan. Menurut kepercayaan mereka, jika tidak dilakukan perang, jangan harap panen dan ternak babi akan berhasil.



Ironisnya, sepak bola semula justru dimaksudkan untuk melatih kekuatan, kecepatan dan ketangkasan para prajurit sebelum dikirim ke medan pertempuran. Menurut Bill Hutchison, dalam tulisannya ”The Essential History of Soccer” mensinyalir permainan sepak bola yang paling primitif sudah dikenal oleh tentara China pada masa Dinasti Han, sekitar abad ke tiga dan kedua sebelum Masehi. Tetapi negara Enggris lah yang dianggap sebagai tempat lahirnya sepak bola modern. Proses untuk sampai pada bentuknya yang modern itu sangat berliku. Pernah pertandingan sepak bola dijadikan ajang perang sungguhan antar penduduk yang bermusuhan. Sekitar abad VIII ada pertandingan sepak bola yang bolanya menggunakan penggalan kepala manusia. Yaitu kepala panglima perang musuh, seorang pangeran dari kerajaan Denmark yang dalam sebuah pertempuran pasukannya dikalahkan oleh tentara kerajaan Enggris. Lantaran brutalitas yang terkandung dalam sepak bola itu mendorong Raja Edward III pada tahun 1331 menetapkan undang-undang larangan pertandingan sepak bola.



Keterkaitan antara perang dengan olahraga juga bisa diamati dari istilah-istilah yang digunakan dalam permainan sepakbola. Misalnya, defender, striker, wings, off side, front line, back line, captain adalah istilah yang digunakan dalam dunia pertempuran. Sebetulnya bukan hanya sebatas istilah saja bahkan doktrin permainan ini juga mirip doktrin pertempuran. Pemain sepak bola dan tentara sama-sama memiliki suasana mental yang didominasi oleh sikap pesimis dan pemikiran negatif.



Sebagai salah satu implikasi sikap pesimis adalah, baik pemain bola maupun tentara, sama-sama ”tidak berani” sendirian. Mereka harus bersama-sama. Satuan terkecil tentara adalah regu, antara 7-10 personnel, sementara satuan sepak bola adalah kesebelasan. Karena itu tidak ada sepak bola pemainnya hanya satu orang. Begitu juga tidak ada tentara maju ke medan perang sendirian, kecuali hanya dalam film ”Rambo” yang dibintangi oleh Silvester Stallone itu. Sekalipun film perang itu sangat terkenal, konon sampai digemari oleh mendiang presiden Ronald Reagan, tapi dilihat dari teori militer ia adalah karya film perang yang paling bodoh dan konyol yang pernah dibikin manusia.



Karena sikap pesimistis itu maka baik pemain bola maupun prajurit harus membuang jauh-jauh sikap egosentris. Mereka harus menyadari bahwa kalah- menang, hidup-matinya sangat tergantung kepada anggota yang lain. Karena itu baik sepak bola maupun prajurit sama-sama bersandar pada kesetiaan korps yang ditunjang oleh disiplin tinggi. Talenta dan kekuatan individual memang sangat diperlukan baik dalam kesebelasan maupun satuan tempur, tetapi kalau itu menjelma menjadi egosentrisme dan mengalahkan solidaritas dan disiplin korps akan menjadi tidak ada artinya bahkan bisa membahayakan.



Pemain bola dan tentara sama-sama berpemikiran negatif dominan. Implikasi psikologis yang paling normal dari pemikiran ini adalah selalu waspada, hati-hati, penuh kalkulasi, sedang upnormalnya adalah sikap menjadi serba curiga dan paranoia. Pemain bola maupun prajurid memang seharusnya selalu waspada bahkan sering-sering curiga, bukan hanya kepada gerak gerik lawan yang harus selalu dimaknai sebagai ancaman, bahkan teman sendiri pun harus dicurigai, jangan-jangan ia membuat kesalahan. Karena betapa kecilnya suatu kesalahan, adalah sangat berbahaya. Karena hal itu bisa berarti peluang bagi lawan untuk menghancurkannya. Bagi pemain bola, hal itu bisa berarti terciptanya gol oleh lawan, sedang bagi tentara bisa berarti kematian.



Olahraga selain berfungsi sebagai sarana belajar, rekreasi, atau bertanding sekalipun. Ia memiliki nilai-nilai tertentu, yang sampai sekarang bertahan, untuk menunjang pelakunya atau masyarakat pendukung tersebut. Lebih nyata nilai-nilai olahraga modern adalah citius, altius, aortius artinya ‘menjadi lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat’ ("Faster, Higher, Stronger").



Maka sampailah pada kesimpulan, bahwa olahraga adalah institusionalisasi yang beradab dan turunan dari perang. Olahragawan adalah gladiator modern, yang fungsi utamanya menyalurkan hasrat agresi manusia untuk saling mengalahkan dalam tataran standar dan nilai yang baku.



Sama hal nya dengan perang, olahraga adalah demi keunggulan. Keunggulan individu, keunggulan kelompok, keunggulan masyarakat, terlebih keunggulan bangsa.

( Wilian Dalton)

Selasa, 20 Desember 2011

catatan seorang pelaju....

“hati-hati di jalan”



Itulah pesan yang hampir selalu di ucapkan Ibu saya sebelum saya pergi berangkat kerja tiap paginya. Yah, kadang-kadang beliau lupa, mungkin karena banyaknya pekerjaan di dapur. Tapi lebih sering ia teriak keras-keras dari dapur “ati-ati le”, mungkin sambil nyuci baju atau menggoreng telur, tepat sesaat sebelum saya menghidupkan motor saya. Kenapa selalu tepat ya, yah mungkin itulah salah satu kelebihan ibu saya.......



Sebagai seorang pejalan jauh, yang menempuk jarak setidaknya 80 kilometer tiap harinya, tentu pesan ini bukan hanya sekedar pemanis mulut, layaknya salam yang diucapkan seorang pejabat saat ia sedang membuka sebuah pidato. Pesan ini mengandung makna pengharapan, berharap anaknya mampu bekerja dengan baik, serta pengharapan agar anaknya pulang tepat waktu. Pengharapan yg terakhir inilah yang paling penting, mengingat jarak tempuh yang cukup jauh antara rumah dan tempat saya bekerja. Terlebih kondisi jalan yang tidak rata, penuh belokan tajam, serta tebing curam di sisi kanan-kiri jalan.



Mungkin benar ungkapan ”history goes on asphalt” bahwa “sejarah itu berlangsung di jalan”. Yah ketika asap-asap knalpot mulai membumbung dan saling rasuk. Ketika uap aspal lalu menjelma menjadi fatamorgana, di situlah pengharapan akan kehidupan di mulai.



Tak berbeda dengan banyak orang, awal pengaharapan akan kehidupan saya pun dimulai di sini, di atas aspal, di jalanan (Ingat di jalanan, bukan di trotoar layaknya pedagang kaki lima, pengamen ataupun loper koran). Pagi-pagi buta ketika mungkin sebagian orang masih tertidur lelap, saya dan kuda besi kesayangan saya telah berdiri nan gagah di atas aspal. Siap menempuh perjalanan, perjalanan yang tidak main-main. Perjalanan untuk menunaikan tugas dan memenuhi pengharapan.



Sering saya barandai-andai. Andai saja jarak kerja saya tak sejauh ini. Andai saja tempat kerja saya dekat dari rumah. Tapi sayang, sejarah tak pernah memberi tempat untuk pengandaian, seperti juga jalan tak pernah melakukannya.

Tapi jangan pernah berfikir bahwa saya tersiksa dengan perjalanan jauh yang saya lakukan tiap hari ini. Sama sekali tidak. Mungkin di awalnya iya, namun seiring berjalannya waktu, saya malah menemukan keindahan dalam perjalanan.



Ada banyak hal yang bisa saya lakukan selama perjalanan, mulai dari melihat-lihat pemandangan, memperhatikan gerak-gerik orang di jalan, sampai melamun. atau lebih tepatnya berfikir. Berfikir atau melamun? Ah, entahlah, yang pasti di jalan lah Rencana Pelaksanaan Kehidupan selama sehari ke depan saya susun. Sungguh, waktu perjalanan berangkat kerja adalah situasi paling inspiratif dalam hidup saya. Kenapa saya bilang begitu?



Dalam perjalanan inilah seringkali saya memperoleh banyak inspirasi tentang apa yang akan saya lakukan hari ini, tentang tindakan yang mungkin akan saya perbuat dalam menghadapi suatu masalah. Tentang materi pembelajaran yang akan saya sampaikan. Tentang tempat jajan yang akan saya kunjungi hari ini, hmmmmm ternyata banyak sekali hal yang saya pikirkan ketika dijalan. Dan tak jarang, ide-ide brilian saya muncul ketika saya di jalan ini.



Orang lain mungkin butuh ruang nyaman untuk berfikir. Kamar belajar yang sejuk, atau ruang kerja yang ber AC. Yang lain, butuh ke pantai atau ke gunung untuk mendapatkan inspirasi. Namun entahlah pikiran saya seringkali tiba-tiba jadi kreatif ketika di jalan. Yang butuh saya lakukan adalah cukup duduk diatas motor dan melaju. Itu saja.



Maka ketika seorang filsuf mengatakan bahwa meditasi adalah situasi yang mampu mengendalikan pikiran kita yang bagai “Kuda Liar”. Maka saya mengatakan kuda saya sudah terlalu Liar untuk diajak bermeditasi.



Harapan saya sederhana saja, teruslah inspirasi keluar dalam perjalanan saya ini, tapi juga semoga saya akan tetap terus mampu memenuhi janji saya kepada Ibu untuk pulang tepat waktu......

catatan akhir semester

Apa sih kriteria kesuksesan seorang guru penjas?



Sungguh akan ada banyak variasi jawaban dari pertanyaan di atas. Ada yang bilang, guru penjas yang sukses adalah yang mampu melatih sebanyak-banyaknya siswa menjadi atlet berprestasi. Yang lain beranggapan, sukses ditentukan oleh kemampuannya dalam mengimplementasikan kurikulum, menjalankan RPP dan silabus dengan presisi. Atau tolok ukur yang paling sederhana, bahwa guru penjas sukses adalah guru yang mampu membawa semua siswanya terlibat aktiv dalam seluruh proses pembelajaran.



Namun jika kita cermati, secara umum masyarakat sepakat jika keberhasilan guru penjas tidak bisa dilepaskan dari pencapaian prestasi olahraga. Seorang guru yang mampu membawa siswanya juara OOSN tingkat Provinsi atau bahkan nasional, dialah guru penjas sukses. Memang dalam jenjang olahraga elitis, pencapaian seperti ini adalah indikator yang sangat lazim digunakan. Sehingga situasi yang banyak kita jumpai adalah seorang guru penjas seringkali diberi beban target oleh pihak sekolah untuk mencapai prestasi olahraga di dalam level tertentu.



Secara umum, penjas di Indonesia memang masih mengikuti model pembelajaran Daryl Siedentop (Sport Education) dan Europian Physical Education (Sport Pedagogy) dan model kurikulum yang ada di Indonesia cenderung fokus pada elitism (menyiapkan atlet elit). Maka tak heran jika Dinas Pendidikan getol sekali mengadakan kompetisi-kompetesi olahraga semacam Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (OOSN). OOSN dilakukan rutin setiap tahun, dan berjenjang dari tingkat Kecamatan sampai Nasional.



Di awal tugas saya sebagai guru, tak ada satu pun siswa yang lolos OOSN tingkat kabupaten. Situasi ini menjadi semacam aib bagi sekolah, saya pun kemudian mendapat tekanan untuk membawa siswa berprestasi. Saya cukup yakin bahwa banyak guru penjas mengalami situasi yang sama dengan saya. Tekanan semacam ini mau tak mau memaksa kita untuk menerapkan pendekatan sports daripada ke physicall education (PE). Kita pun terpaksa tidak dapat menghindari model elitism atau sportification model.



Beradaptasi dengan situasi di atas, saya pun kemudian tertarik untuk menerapkan Sport Education (SE) di sekolah (tentu saja cuma sejauh pemahaman saya saja, hahahaha). Karena menurut beberapa pihak model ini cukup mumpuni untuk mengenal potensi olahraga siswa, karena siswa terlibat langsung dalam situasi kompetisi olahraga yang dirancang resmi.



Ada enam kunci utama dari SE, yaitu: seasons, affiliation, formal competition, culminating events, record keeping, dan festivity. Sports education menekankan pada pengalaman siswa dalam mengikuti sebuah kompetisi olahraga formal. Dalam satu kelas, siswa dibagi dalam beberapa kelompok yang tetap. Tiap kelompok selanjutnya bertanding/berkompetisi dalam satu season. Tiap siswa memiliki peran yang berbeda didalam kelompoknya (diverse roles). Ada yang jadi pemain, pelatih, manager, pencatat statistic, wasit, dan lain sebagainya.



Setelah melaksanakan SE selama 2 semester, saya menarik beberapa kelebihan yang bisa saya dapatkan:
Siswa terlibat aktiv dalam kompetisi. Siswa sangat menikmati tiap pertandingan bahkan segala kebutuhan dari kompetisi itu, dari saran prasarana, jadwal pertandingan, table hasil/klasemen, mampu disiapkan siswa secara mandiri.
Guru sangat mudah untuk mengenali potensi olahraga siswa, guru cukup melihat statistic pertandingan dan melakukan pengamatan selama kompetisi. Dalam pemberian laporan nilai, statistic pertandingan pun bisa dipertimbangkan sebagai dasarnya. Saya pun tak perlu susah-susah memilih siswa untuk mewakili sekolah di OOSN. Anak-anak yang memiliki bakat menonjol akan sangat kelihatan, kita tinggal memilih saja.
Mengasah jiwa kepemimpinan anak. Siswa juga mulai belajar bekerjasama dalam satu kelompok. Tiap siswa memiliki peran masing-masing, dan saling melengkapi.
Mengasah ketrampilan teknik siswa secara signifikan. Siswa secara mandiri belajar, agar mampu mencapai prestasi dalam kompetisi.
Siswa sangat antusias dalam berolahraga. Di kantin, di halaman, di FB, twitter atau disela-sela mereka beraktivitas, mereka selalu membicarakan tentang kejuaraan yang mereka ikuti. Intinya mereka selau menantikan hari pertandingan. Apalagi ketika season hampir berakhir. Tak kalah, para guru pun bertanya “Yang juara kelompoknya siapa?”, atau “Siapa yang cetak gol?”, dst. (dan situ tau).







Namun dibalik gegap gempita SE yang mampu saya ciptakan di sekolah, sesungguhnya ada permasalahan pelik di balik SE ini. Yang paling kentara dalam model SE seperti ini, siswa yang tidak memiliki standar untuk menjadi elit, maka ia akan terpinggirkan. Khusus bagi mereka yang memiliki potensi (talent) mungkin SE sangat tepat untuk mengasah bakat mereka. Namun masalahnya adalah sebagian besar siswa tidak memiliki

kemampuan untuk itu.



Tokoh utama dalam SE adalah si pemain. Maka si pencatat skor, si statistician, si lines man, si Perkab, si cheerleader ya tak lebih sekedar pelengkap. Terjadi ketimpangan yang terlampau jauh antara si tokoh utama dengan peran pembantu. Si pemain selalu disanjung-sanjung, dipuji. Di sisi lain, anak yang tak punya kemampuan untuk bermain, makin lama makin dilupakan. Mungkin kita bisa beretorika bahwa, “ah, bukankah dia juga punya peran yang penting?”. Namun kenyataannya di lapangan tercipta stratifikasi social baru berdasar peran anak ini. Dan ini sungguh melanggar dasar-dasar pendidikan dimana kita seharusnya bersifat egaliter.



Nah apakah kita bisa disebut sebagai seorang guru penjas yang sukses jika ternyata pembelajaran yang kita rancang merupakan ladang subur ketidakadilan sosial?





Marilah bersama-sama mencari kebenaran, jika tak satupun dari kita memiliknya.

(Constantin F. Volney)

Hendri Mulyadi: Pahlawan Sepakbola Nasional

Pertandingan Indonesia melawan Oman pekan kemarin ditutup dengan kejadian unik yang cukup menggelitik. Di akhir laga yang dimenangkan Oman 1-2 itu, seorang supporter Indonesia melompat dari bangku penonton, menembus barikade keamanan dan masuk kedalam lapangan. Apa yang ia lakukan di dalam lapangan? Tak seperti kejadian biasanya, supporter ini masuk kedalam lapangan tidak untuk memukul wasit ataupun menyerang pemain lawan. Inilah yang unik, sesaat setelah masuk kelapangan, ia langsung merebut bola dari pemain Indonesia, menggiring bola hampir separuh lapangan dan mencoba mencetak gol ke gawang Oman yang dikawal kiper Ali Al Habsi, yang notabene juga kiper dari tim Bolton Wanderers dari liga Inggris. Kejadian konyol ini sontak menjadi perhatian media dan berpotensi menghadirkan sanksi FIFA terhadap PSSI.

Namanya Hendri Mulyadi. Seorang pemuda berusia 20 tahun. Ia adalah seorang gila bola yang tentu saja juga merupakan seorang supporter Timnas Indonesia yang militan. Ia berasal dari kalangan ekonomi lemah (yang memang mayoritas supporter bola fanatik Indonesia berasal). Dari gaya bicaranya ia terlihat memiliki nasionalisme yang begitu tinggi. Khas supporter Indonesia pokoknya.

Mengapa tiba2 ia bisa berbuat senekat itu? Setan apa yang merasukinya? Tentu motivasinya bukan lah kriminal atau ingin membuat kekacauan. Jika motivasinya adalah membuat kekacauan tentu yang dilakukannya adalah memukul wasit atau memukul pemain lawan, namun hal tersebut tidak ia lakukan. Lalu mengapa ia masuk kedalam lapangan? Dari wawancara yang dilakukan, hal itu dilakukan semata2 merupakan akumulasi dari kekesalannya yang melihat timnas Indonesia tidak jua bisa berprestasi. Ini adalah pelampiasan dari rasa frustasi yang tidak bisa dibendung lagi.

Kekecewaan atas torehan timnas senior tidak hanya dialami Hendri saja, tapi juga seluruh publik sepakbola nasional. Bahkan, dukungan terhadap Hendri pun bermunculan, salah satunya melalui jejaring sosial Facebook, 'DUKUNG HENDRI MULYADI untuk SEPAK BOLA INDONESIA yang LEBIH BAIK'.

Jika di survey, mungkin lebih dari separuh penonton yang menonton pertandingan sore itu memendam perasaan dongkol yang sama dengan Hendri. Hanya saja yang patut di puji, Hendri memiliki keberanian yang begitu tinggi untuk melampiaskan kekesalannya dengan cara yang menarik perhatian. Hal yang tidak dimiliki supporter lain, meski mungkin memiliki perasan yang sama dengan Hendri.

Untuk menganalisis kejadian ini, kita tidaklah boleh terjebak dalam perdebatan dari sisi aturan. Karena jujur saja, salah satu citra buruk Indonesia adalah berkaitan dengan inkonsistensi dalam menerapkan aturan main. Sungguh, kita harus membahas kejadian ini dengan arif dan mengedapankan aspek moral. Memang, luapan emosi seperti yang diperagakan Hendri tidaklah bisa ditolerir apalagi dibenarkan, namun motivasinya untuk menyadarkan insan sepakbola Indonesia, ini yang layak dipuji. “Hey, ada yang salah dengan sepak bola kita” kiranya ia mampu berucap kala itu.

Secara yuridis formil memang Hendri telah melakukan kesalahan yang sangat berat. Ia telah mencoreng martabat bangsa karena mengganggu keamanan pertandingan yang sungguh dijaga begitu ketat oleh pihak keamanan. Namun kenyataannya secara umum Sepakbola Indonesia memang layak malu terhadap situasi saat ini. Bukan situasi keamanan yang gagal dijaga, namun lebih dari itu, bangsa Indonesia seharusnya malu terhadap prestasi sepakbola Indonesia yang tak kunjung tiba.

Jika dirunut kebelakang sungguh tahun 2009 adalah tahun kelabu bagi sepakbola Indonesia. Mulai dari kegagalan Timnas U-19 yang telah disekolahkan di Uruguay. Kemudian kegagalan tim Sea Game yang bahkan kalah oleh Laos. Bayangkan! Laos. Kita tidaklah berbicara tentang Singapura, Malaysia, atau Thailand, tapi sungguh memalukan Timnas kita telah kalah oleh Timnas Laos. Tim yang sebelumnya selalu jadi lumbung gol kita. Kegagalan2 tahun 2009 ini ditutup dengan kegagalan Timnas lolos ke Piala Asia setelah kalah dari Oman. Sungguh kemudian kegagalan adalah kata yang sangat sulit dilepaskan dari kata “Timnas Sepakbola” itu sendiri. Hingga muncullah sedikit lelucon, jika Timnas Indonesia ingin juara, buatlah sebuah kejuaraan sendiri, undanglah tim-tim yang sekiranya bisa kita kalahkan seperti Timor Leste, Kamboja, Filiphina, atau Brunei Darussalam. Begitulah kiranya cara mudah agar kita bisa juara, hehehehehe

Ditengah harapan yang selalu membumbung tinggi namun kenyataannya kegagalanlah yang selalu mendera, tak heran jika rasa frustasi mulai menggelayuti. Maka luapan kekecewaan seperti yang dilakukan Hendri layaknya dimaklumi bahkan sepatutnya mendapatkan apresiasi. Akhirnya semoga kejadian yang kita sebut saja sebagai “Hendri’s Tragedy” ini menjadi momentum bagi kebangkitan prestasi sepakbola Indonesia dan kita bisa mengambil hikmah dari kejadian ini.

MENGENAL MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI: SPORT EDUCATION

Berikut adalah pengenalan singkat dari model Sport education, salah satu dari sekian banyak model pembelajaran pendidikan jasmani yang ada:



1. Model Sport Education



Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini bersumber pada Subject Mater, dengan berorientasi pada nilai Disciplinary Mastery, dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization.



Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education”. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum dan pembelajaran penjas.



Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah materi penjas yang banyak digunakan oleh para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan. Para guru lebih senang mengajarkan teknik-tkenik olahraga dan permainan, diikuti oleh peraturan-peraturan dan bermain dengan menggunakan permainan yang sebenarnya seperti untuk orang dewasa atau untuk orang yang sudah mahir.



Hal ini dianggapnya tidak sesuai dengan konsep “developmentally appropriate practices”. Bahkan dalam kenyataannya pun, untuk sebagian besar siswa cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai.



Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas



Enam karakteristik model sport education yang seringkali absen dari pembelajaran pendidikan jasmani pada umumnya adalah: musim, anggota team, pertandingan formal, puncak pertandingan, catatan hasil, perayaan hasil kompetisi.



a) Musim (season) merupakan salah satu karakteristik dari model sport education yang di dalamnya terdiri dari musim latihan dan kompetisi serta seringkali diakhiri dengan puncak kompetisi. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya karakteristik ini jarang diperhatikan.

b) Afiliasi Anggota team merupakan karakteristik kedua dari model sport education. Semua siswa harus menjadi salah satu anggota dari team olahraga dan akan tetap sebagai anggota sampai satu musim selesai. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya anggota tim berubah-ubah dari satu pertemuan ke pertemuan yang lainnya.

c) Kompetisi formal merupakan karakteristik ke tiga dari model sport education. Kompetisi dalam model ini mengandung tiga arti, yaitu: festival, usaha meraih kompetensi, dan mengikuti pertandingan pada level yang berurutan. pertama. Kompetisi formal dilakukan secara berselang-selang dengan latihan dan format yang berbeda-beda: misal dua lawan dua, tiga lawan tigas dan seterusnya hingga pada tingkatan yang sesuai dengan kemampuan siswa

d) Puncak pertandingan merupakan ciri khas dari even olahraga untuk mencari siapa yang terbaik pada musim itu, dan ciri khas ini dijadikan karakteristik ke empat dari model sport education. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya, pertandingan seperti ini sering dilakukan, namun setiap siswa belum tentu masuk anggota team sehingga sebagaian siswa merasa terabaikan.

e) Catatan hasil merupakan karakteristik ke lima dari model sport education. Catatan ini dilakukan dalam berbagai bentuk, dari mulai dai catatan masuk goal, tendangan ke goal, curang, kesalahan-kesalahan, dan sebagainya disesuaikan dengan kemampuan siswa. Catatan ini dilakukan siswa dan guru untuk dijadikan feedback baik bagi individu maupun tim.

f) Perayaan hasil kompetisi merupakan karakteristik ke enam dari model sport education. Perayaan hasil kompetisi seperti upacaya penyerahan medali berguna untuk meningkatkan makna dari partisipasi dan merupakan aspek sosial dari pengalaman yang dilakukan siswa.



Keenam karakteristik model sport education ini oleh Siedentop dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa pendidikan jasmani pada umumnya tidak lengkap dalam mengajar siswa melalui olahraga.



2) Perbedaan Sport Education dan Sport (Olahraga) Perbedaan yang mencolok antara sport education dengan sport (olahraga) adalah: persyaratan partisipasi (participation requirements), keterlibatan yang sesuai dengan perkembangan siswa (developmentally appropriate involvement), dan peran yang lebih beragam (more diverse roles).



a) Persyaratan partisipasi (participation requirements). Sport education menuntut adanya partisipasi penuh dari semua siswa pada semua musim. Tuntutan ini akan mempengaruhi pertimbangan dalam memilih jenis olahraga, jumlah team dan angggota pada masing-masing team, dan karakteristik kompetisi yang dilakukannya.

(1) System gugur sedapat mungkin dihindari.

(2) Jumlah anggota team yang terlalu banyak juga harus dihindari sebab permainan cenderung akan didomonasi oleh siswa yang sudah terampil.



(3) Puncak pertandingan harus merupakan even untuk semua siswa tidak hanya untuk siswa atau team yang paling baik

(4) Semua siswa (tidak hanya yang berbakat) mendapat kesempatan yang sama pada semua peran baik sebagai pemain, wasit, pemimpin, dan anggota team.



b) Keterlibatan yang sesuai dengan perkembangannya (developmentally appropriate involvement).

Bentuk olahraga yang digunakan dalam sport education harus sesuai dengan pengalaman dan kemampuan siswa. Bahkan Siedentop menganggap bahwa semua olahraga formal secara penuh tidak cocok diberikan pada siswa dalam konteks sport education.

Semua olahraga harus diberikan secara bertahap dan dimodifikasi namun menyeluruh pada ke enam karakteristik sport education tersebut di atas. Modifikasi dapat dilakukan dari jumlah anggota team misal 1 lawan satu hingga pada jumlah yang sesuai dengan kemampuan siswa, dari alat yang digunakan, demikian juga peraturannya dari mulai bisa mengatakan masuk atau ke luar hingga pada peraturan yang sesuai dengan kemampuan siswa untuk dapat diterapkannya.



c) Peran yang lebih beragam (more diverse roles). Model sport education menuntut siswa memainkan banyak peran daripada olahraga pada umumnya yang hanya berperan sebagai pemain. Dalam model sport education, selain belajar berperan sebagai pemain, siswa juga belajar sebagai pelatih, wasit, dan pencatat skor. Pada kasus model tertentu, siswa belajar sebagai manager, instruktur, penyiar, dan penulis berita olahraga. Untuk itu model ini dapat juga mengembangkan karir siswa dalam bidang profesi olahraga.



3) Strategi mengajar Fair Play

Tujuan utama dari model sport education adalah mengembangkan siswa menjadi olahragawan yang baik yang mengandung arti selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga dan selalu menerapkan prinsip fair play baik pada saat sebagai pemain, sebagai wasit, maupun sebagai penonton. Dengan model ini siswa diharapkan menyadari bahwa kemenangan tidak mengandung arti apa-apa kecuali diperoleh melalui permainan yang fair play dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga. Untuk itu pengarahan, latihan, dan feedback harus diberikan terhadap nilai-nilai ini sebagai mana diberikan terhadap keterampilan gerak dan strategi bermain. Beberapa strategi untuk mengembangkan nilai-nilai fari play antara lain adalah sebagai berikut:



a) Penjelasan perilaku fair play disampaikan dan dipahami oleh semua siswa

b) Membuat dan menggunakan system promosi dan penghargaan terhadap perilaku fair play.

c) Perilaku penonton yang baik perlu diajarkan dan dikembangkan

d) Gunakan sistem seleksi anggota team hingga setiap siswa memiliki kesempatan belajar yang sama

e) Kembangkan perkumpulan olahraga-olahraga tertentu pada tingkat kelas dan sekolah sebagai tempat diskusi memecahkan berbagai masalah bagi siswa

f) Kembangkan suatu penghargaan terhadap perilaku fair play yang sama pentingnya dengan penghargaan terhadap para pemenang pertandingan

g) Ajarkan dan beri penghargaan bagi mereka yang melakukan ritual nilai-nilai olahraga (misal bersalaman setelah bertanding).



4) Program Pembelajaran



a) Materi pembelajaran di sesuaikan dengan materi yang tersedia dalam kurikulum

b) Jumlah pertemuan disesuaikan dengan waktu yang tersedia dalam kurikulum

c) Alokasi waktu yang tersedia perminggu dapat dibagi menjadi dua atau tiga pertemuan sesuai kebutuhan dengan konsekuensi waktu per-pertemuan makin sedikit

d) Catatan rata-rata waktu per-pertemuan yang menggunakan model ini antara 35 ssampai dengan 60 menit.

e) Catatan rata-rata jumlah pertemuan per catur wulan yang menggunakan model ini antara delapan sampai dengan 20 pertemuan.



5) Program Evaluasi

Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan fair play diperoleh melalui,



a) catatan harian

b) observasi

c) refleksi siswa

d) tes pengetahuan fair play



Semoga berguna, dan layak dicoba di sekolah..........

PENDIDIKAN JASMANI SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER

Pendidikan Jasmani sebagai wadah pembentuk karakter siswa, telah disadari perannya oleh banyak kalangan. Namun, dalam pelaksanaannya pengajaran pendidikan jasmani berjalan belum efektif seperti yang diharapkan. Pembelajaran pendidikan jasmani cenderung tradisional. Pengertian pendidikan jasmani sering dikaburkan dengan konsep lain, yaitu menyamakan pendidikan jasmani dengan setiap usaha atau kegiatan yang mengarah pada pengembangan organ-organ tubuh manusia (body building), kesegaran jasmani (physical fitness), kegiatan fisik (physical activities), dan pengembangan keterampilan (skill development). Pengertian itu memberikan pandangan yang sempit dan menyesatkan arti pendidikan jasmani yang sebenarnya.

Walaupun memang benar aktivitas fisik itu mempunyai tujuan tertentu, namun karena tidak dikaitkan dengan tujuan pendidikan, maka kegiatan itu tidak mengandung unsur-unsur pedagogik. Pendidikan jasmani bukan hanya merupakan aktivitas pengembangan fisik secara terisolasi, akan tetapi harus berada dalam konteks pendidikan secara umum (general education). Sudah barang tentu proses tersebut dilakukan dengan sadar dan melibatkan interaksi sistematik antar pelakunya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai kegiatan jasmani untuk memperoleh pertumbuhan jasmani, kesehatan dan kesegaran jasmani, kemampuan dan keterampilan, kecerdasan dan perkembangan watak serta kepribadian yang harmonis dalam rangka pembentukan manusia Indonesia berkualitas berdasarkan Pancasila.

Secara eksplisit istilah pendidikan jasmani dibedakan dengan olahraga. Dalam arti sempit olahraga diidentikkan sebagai gerak badan. Olahraga ditilik dari asal katanya dari bahasa jawa olah yang berarti melatih diri dan rogo (raga) berarti badan. Secara luas olahraga dapat diartikan sebagai segala kegiatan atau usaha untuk mendorong, membangkitkan, mengembangkan dan membina kekuatan-kekuatan jasmaniah maupun rokhaniah pada setiap manusia. Definisi lain yang dilontarkan pada Lokakarya Nasional Pembangunan Olahraga (Abdul Gafur, 1983:8-9) secara eksplisit berbeda dengan pendidikan jasmani. Definisi tersebut dikembangkan penulis (Cholik Mutohir, 1992).

Menurut Baley (1974: 4), pendidikan jasmani merupakan suatu proses yang mana adaptasi dan pembelajaran tubuh (organik), syaraf dan otot, intelektual, sosial, emosional dan estetika dapat dicapai dan dilakukan melalui aktivitas fisik yang penuh semangat. Sedangkan menurut Hetherington, yang dikutip oleh Kroll (1982: 67), pendidikan jasmani adalah pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas jasmani, bukan pendidikan dari jasmani. Dikatakan pula oleh Rijsdorp (1971: 30) bahwa aktivitas jasmani bermain merupakan bagian dari pendidikan jasmani, oleh sebab itu tujuan pendidikan juga merupakan tujuan bermain. Selanjutnya di katakan bahwa pendidikan jasmani bukanlah “education of the body” dan bukan problem jasmani, akan tetapi merupakan problem kemanusiaan.

Sedangkan olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan/ pertandingan, dan kegiatan jasmani yang intensif untuk memperoleh rekreasi, kemenangan, dan prestasi puncak dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani dan direncanakan secara sistematik dengan rtujuan untuk meningkatkan individu secara organik, neuromoskuler, perseptual, kognitif, sosial dan emosional.

Tujuan pendidikan jasmani adalah mengembangkan kesegaran jasmani, keterampilan motorik, pengetahuan, sosial dan keindahan (Seaton, 1974: 1). Kesegaran jasmani menyangkut fisik, kesegaran organik dan kesegaran motorik. Fisik menyangkut proporsi tubuh, hubungan antar tulang, lemak, otot, tinggi dan berat badan. Sedangkan kesegaran organik meliputi efisinsi peralatan tubuh seperti jantung, paru, hati, ginjal dan sebagainya. Kelincahan, kekuatan, keseimbangan dan kelentukan berhubungan dengan kesegaran motorik seseorang. Drowatzky (1984: 16-17) merinci tujuan pendidikan jasmani sebagai berikut: (1) perkembangan individu, menyangkut efisiensi fisiologis dan keseimbangan fisik; (2) mengatasi lingkungan yang menekankan pada orientasi spisial dan manipulasi obyek; dan, (3) interaksi sosial yang meliputi: komunikasi, interaksi antar kelompok dan budaya.

Dalam Kurikulum Sekolah Dasar 2004 (2003: 4), disebutkan bahwa Pendidikan Jasmani mempunyai berbagai fungsi berdasarkan lima aspek berikut ini: Organik, Neuromuskuler, Perseptual, Kognitif, dan Sosial.

Aspek Organik: (1) Untuk menjadikan fungsi sistem tubuh menjadi lebih baik sehingga individu dapat memenuhi tuntutan lingkungannya secara memadai serta memiliki landasan untuk pengembangan keterampilan; (2) Meningkatkan kekuatan otot, yaitu jumlah tenaga maksimum yang dikeluarkan oleh otot atau kelompok otot; (3) Meningkatkan daya tahan otot, yaitu kemampuan otot atau kelompok otot untuk menahan kerja dalam waktu yang lama; (4) Meningkatkan daya tahan kardiofaskuler, kapasitas individu untuk melakukan aktivitas secara terus menerus dalam waktu relatif lama; dan, (5) Meningkatkan fleksibelitas, yaitu rentang gerak dalam persendian yang diperlukan untuk menghasilkan gerakan yang efisien dan mengurangi cidera.

Aspek Neuromuskuler; (1) Meningkatkan keharmonisan antara fungsi saraf dan otot,; (2) Mengembangkan keterampilan lokomotor, seperti berjalan, berlari, melompat, meloncat, meluncur, melangkah, mendorong, menderap mencongklang, bergulir, menarik; (3) Mengembangkan keterampilan non-lokomotor, seperti mengayun, melengok, meliuk, bergoyang, meregang, menekuk, menggantung, membongkok; (4) Mengembangkan keterampilan dasar manipulatif, seperti memukul, menendang, menangkap, memberhentikan, melempar, mengubah arah, memantulkan, bergulir, memvoli; (5) Mengembangkan faktor-faktor gerak, seperti ketepatan, irama, rasa gerak, power, waktu reaksi, kelincahan; (6) Mengembangkan keterampilan olahraga, seperti sepak bola, softball, bola voli, bola basket, baseball, kasti, rounders, atletik, tennis, tennis meja, beladiri dan lain sebagainya; dan, (7) Mengembangkan keterampilan rekreasi, seperti menjelajah, mendaki, berkemah, berenang dan lainnnya.

Aspek Perseptual: (1) Mengembangkan kemampuan menerima dan membedakan isyarat; (2) Mengembangkan hubungan-hubungan yang berkaitan dengan tempat atau ruang, yaitu kemampuan mengenali objek yang berada di depan, belakang, bawah, sebelah kanan, atau di sebelah kiri dari dirinya; (3) Mengembangkan koordinasi gerak visual, yaitu kemampuan mengkoordinasikan pandangan dengan keterampilan gerak yang melibatkan tangan, tubuh,. dan atau kaki; (4) Mengembangkan keseimbangan tubuh (statis dan dinamis), yaitu kemampuan mempertahankan keseimbangan statis dan dinamis; (5) Mengembangkan dominansi (dominancy), yaitu konsistensi dalam menggunakan tangan atau kaki kanan dan kiri dalam melempar atau menendang; dan, (6) Mengembangkan lateralitas (laterility), yaitu kemampuan membedakan antara sisi kanan atau sisi kiri tubuh dan di antara bagian dalam kanan atau kiri tubuhnya sendiri.

Aspek Kognitif: (1) Mengembangkan kemampuan menemukan sesuatu, memahami, memperoleh pengetahuan dan mengambil keputusan; (2) Meningkatkan pengetahuan tentang peraturan permainan, keselamatan, dan etika; (3) Mengembangkan kemampuan penggunaan taktik dan strategi dalam aktivitas yang terorganisasi; (4) Meningkatkan pengetahuan bagaimana fungsi tubuh dan hubungannya dengan aktivitas jasmani; dan, (5) Menghargai kinerja tubuh; penggunaan pertimbangan yang berhubungan dengan jarak, waktu, tempat, bentuk, kecepatan, dan arah yang digunakan dalam mengimplementasikan aktivitas dan dirinya.

Aspek Sosial: (1) Menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungan di mana seseorang berada; (2) Mengembangkan kemampuan membuat pertimbangan dan keputusan dalam kelompok; (3) Belajar berkomunikasi dengan orang lain; (4) Mengembangkan kemampuan bertukar pikiran dan mengevaluasi ide dalam kelompok; dan, (5) Mengembangkan kepribadian, sikap, dan nilai agar dapat berfungsi sebagai anggota.


PERAN PENDIDIKAN JASMANI DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter merupakan sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen pemangku (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokkan dalam: (1) Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development); (2) Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development); dan, (3) Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.

Membangun karakter peserta didik dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.

Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.

Pendidikan Jasmani merupakan bagian integrasi dari sistem pendidikan nasional, untuk itu harus mampu tampil menyiapkan manusia yang berkualitas, sehat dan bugar sebagi kader-kader pembangunan nasional. Menurut Aip Syarifuddin (1992: 8-14), pendidikan jasmani dapat berperan, antara lain: (1) pembentukan tubuh--dengan melakukan pendidikan jasmani yang teratur, maka organ tubuh pun akan bekerja sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya, hal ini akan berpengaruh terhadap kesehatan baik jasmani maupun rohani; (2) pembentukan prestasi—dengan ditanamkannya pembentukan prestasi diharapkan dapat mengembangkannya serta dapat mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kelompok dilingkungannya; (3) pembentukan sosial--melalui pendidikan jasmani anak akan mendapatkan bimbingan pergaulan hidup yang sesuai dengan norma dan ketentuan dengan unsur-unsur sosial; (4) keseimbangan mental, di mana pemupukan terhadap kestabilan emosi anak akan diperoleh secara efektif melalui pengalaman langsung dalam dunia kenyataan, karena mereka terjun langsung di lapangan dalam suasana yang penuh rangsangan; (5) meningkatkan kecepatan proses berpikir di mana dalam pendidikan jasmani anak dituntut untuk memiliki daya sensitifitas yang tinggi terhadap situasi yang dihadapinya. Mereka dituntut untuk memiliki kecepatan dalam proses berpikir dan kemampuan pengambilan keputusan dengan cepat dan tepat agar tidak tertinggal dengan lawannya; (6) pembentukan kepribadian anak di mana pendidikan jasmani berperan sebagai sarana untuk membentuk dan mengembangkan sifat-sifat kepribadian anak secara positif.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kader-kader bangsa yang akan memegang tampuk pimpinan baik sebagai pemikir, pengelola dan perencana akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya apabila didukung dengan kondisi badan sehat dan prima. Pendidikan jasmani dapat memberikan sumbangan dalam membangun karakter suatu bangsa dengan cara penggemblengan pada manusianya sebagai pelaku pembangunan melalui mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan yang diberikan di sekolah dalam kurun waktu 12 tahun, yaitu sejak di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Hal ini merupakan modal dasar yang kokoh untuk menciptakan kader-kader bangsa yang tangguh seperti dalam semboyan ”Mens sana en corpore sano” yang artinya di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.

PENUTUP

Dalam pembangunan karakter individu, pendidikan jasmani mempunyai peran yang sangat penting terutama dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan dengan berbagai aktivitas jasmani, sehingga diperoleh kesehatan dan kebugaran tubuh. Melalui pendidikan jasmani, baik aspek fisik (kualitas fisik) maupun aspek non-fisik (kualitas non-fisik) yang menyangkut kemampuan kerja, berfikir dan keterampilan dapat teratasi. Oleh sebab itu, keduanya harus saling terkait dan mendukung, sehingga peningkatan kualitas sumber daya manusia yang tangguh dapat tercapai.
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN OUTDOOR
EDUCATION PENDIDIKAN JASMANI BERBASIS KOMPETENSI
DI SEKOLAH DASAR

ABSTRAK

Salah satu masalah pendidikan yang dihadapi dewasa ini khususnya dalam
pelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar adalah rendahnya kualitas
pembelajaran baik dilihat dari aspek proses pembelajaran maupun dari hasil
penguasaan materi pelajaran siswa. Dalam aspek proses, kelemahan terletak pada
kegiatan pembelajaran yang kurang mengembangkan keterampilan dasar siswa,
sedangkan dilihat dari hasil pembelajaran, prestasi belajar siswa dalam penguasaan
materi pembelajaran Penjas masih belum memuaskan

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran
outdoor education Penjas yang berbasis kompetensi untuk jenjang Sekolah Dasar
sebagai salah satu alternatif pembelajaran Penjas yang efektif. Di samping ingin
mengetahui keunggulan dan kelemahan model pembelajaran Penjas yang selama ini
digunakan guru di SD.

Pendekatan penelitian yang digunakan ini adalah penelitian dan
pengembangan dengan diawali studi pendahuluan melalui kegiatan pra survey,
yang dilakukan di Sekolah Dasar kelas 6 menghasilkan desain model perencanaan,
implementasi dan evaluasi dalam pembelajaran Penjas.

Berdasarkan analisis hasil penelitian ternyata Model Pembelajaran
Outdoor Education Penjas memiliki pengaruh yang positif terhadap hasil belajar
siswa dan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan penguasaan
materi pembelajaran.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, direkomendasikan kepada guru
Penjas, Kepala Sekolah, Dinas Pendidikan, dan LPTK/PGSD untuk mendiskusikan
dan menyebarluaskan model pembelajaran Outdoor Education berbasis kompetensi
melalui penataran dan pelatihan secara berkala.

Senin, 19 Desember 2011

AWAL SEBUAH SEJARAH

Hari itu, di sore yang cerah pada tahun 2008. Dua gadis kecil mengendarai sepeda bututnya, mendekati tempat latihan kami, di lapangan yang berdebu dan bergelombang di sana-sini. Tampak raut malu-malu pada keduanya, namun tetap terlihat dengan jelas bahwa mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.

Kami hentikan sejenak latihan kami sore itu untuk memberi sedikit ucapan selamat datang pada mereka. Ya, sore itu adalah sejarah. Untuk pertama kalinya ada perempuan yang menunjukkan minat bergabung bersama kami.

Sayang memang, apa yang datang tidak sepeti apa yang kami harapkan. Dari posturnya, keduanya tak memiliki bakat untuk menjadi atlet handal, pikir kami saat itu. Badan keduanya kecil, kurus, dan usianya pun kami rasa terlalu muda. Kami memang mengharap yang datang adalah perempuan yang berbadan tegap, postur ideal dan sedikit tomboy.

Tapi tak apalah, setidaknya ada perempuan yang mau bergabung di klub ini. Karena cita-cita kami bersama memang ingin membentuk tim putri. Sudah setahun lebih kami berlatih, dan tak ada satu pun perempuan bergabung dengan klub ini.

Nama kedua gadis itu adalah Rika dan Dita. Nama yang tak cukup familier saat itu, walaupun saya tau mereka adalah tetangga di kampung saya.

Beberapa hari yang lalu mereka datang ke rumah saya, katanya ingin ikut latihan hockey. “disuruh siapa?” tanya saya. “ Mas Suratman yang ngajak” jawabnya lirih. “ya datang aja besok latihan, nanti pasti seneng, orang banyak temennya”.

Dan nyatanya memang waktu cepat berlalu dan bergerak bagai bola salju. Dari dua gadis, bertambah terus anggota tim putri; Riska, Tika, Sasa, Murni, Vera, alm. Dwi, Tyas, Sapti, Sorenda, dll bergabung. Dalam latihan 3 kali seminggu, mereka tampak aktiv mengikuti. Semangat mereka pun sungguh sangat membanggakan. Walaupun panas terik atau hujan petir, mereka datang. Tiap materi latihan mereka ikuti tanpa mengeluh. Ini factor penting penting keberhasilan, karena sekali saja atlet mengeluh tentang materi yang di berikan pelatih, niscaya kegagalan siap menghampiri. Layaknya orang tua, tak ada pelatih yang ingin atletnya gagal.

Butuh waktu lama untuk membentuk tim ini siap tanding. Lewat latihan yang tak kenal lelah, tibalah waktu ketika kami rasa bekal mereka telah cukup untuk tampil mandiri. Fast Forward ke tahun 2010. Cita-cita itu menjadi kenyataan. KEJURKAB 2010 adalah pertama kali tim putri Amuba tampil. Memang hasilnya belum terlalu mengbanggakan, tapi tak apalah yang penting berani tampil. Lalu mereka tampil lagi pada JOGJA HOCKEY FESTIVAL 2010. Lagi-lagi gagal mencetak gol.

Hingga pada KONI CUP 2011. Cita-cita kolektif itu berbuah. AMUBA Putri meraih Juara I KONI CUP 2011. Gol pertama dalam sejarah Amuba putri di cetak oleh Yeni Kurnila Sari dalam kemenangan 1-0 atas Tim Putri UGM. Sungguh hasil yang cukup melegakan untuk usaha tak kenal lelah mereka.

Nyatanya, pembinaan usia muda memang membutuhkan waktu yang panjang untuk memetik hasilnya. Layaknya pameo terkenal “Kota Roma tidak di bangun dalam sehari”.

Ketika sepakbola lewat PSSI memilih jalur yang lebih praktis melalui proses “Naturalisasi”, maka kami memilih untuk melewati jalur yang lebih berliku yang disebut “Pembinaan Usia Muda”. Dalam lingkup yang lebih kecil, sesungguhnya ada jalur yang lebih mudah untuk meraih prestasi instan, yaitu dengan membeli pemain luar daerah; Sederhana dan tak memakan waktu panjang untuk melihat hasilnya. Namun upaya itu bisa lah kita sebut sebagai “Kemunafikan Olahraga”, sebuah perpaduan antara pengesampingan potensi lokal dan komersialisasi olahraga.

Hingga gegap gempita PORPROV 2011 pun datang. Dua gadis yang awalnya kami sepelekan nyatanya kini telah jadi tulang punggung Tim Hockey Sleman. Rika menyumbang gol tunggal kemenangan ke Tim Kota untuk memastikan emas. Sementara Dita dengan gagahnya mengenakan no punggung 10 untuk mengatur serangan dari lini tengah. Tanpa mengesampingkan peran pemain lainnya, nyatanya peran mereka tidaklah bisa di anggap remeh.

Seakan tak mau kalah, tim putra pun menunjukkan grafik yang meningkat tajam. Meskipun gagal mempertahankan emas, setidaknya andil Amuba putra makin besar dari hari ke hari.

Kini bakat-bakat muda itu telah terasah. Jiwa-jiwa kepemimpinan mereka telah muncul. Maka tugas kami untuk membuat pondasi telah usai. Saatnya organisasai ini untuk berkembang lebih lanjut dengan jiwa-jiwa muda yang menggebu. Harapan ada di tangan kalian, PEMIMPIN-PEMIMPIN MUDA

WILIAN DALTON
KETUA AMUBA HOCKEY CLUB PERIODE 2007-2011