Selasa, 20 Desember 2011

MENGENAL MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI: SPORT EDUCATION

Berikut adalah pengenalan singkat dari model Sport education, salah satu dari sekian banyak model pembelajaran pendidikan jasmani yang ada:



1. Model Sport Education



Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini bersumber pada Subject Mater, dengan berorientasi pada nilai Disciplinary Mastery, dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization.



Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education”. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum dan pembelajaran penjas.



Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah materi penjas yang banyak digunakan oleh para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan. Para guru lebih senang mengajarkan teknik-tkenik olahraga dan permainan, diikuti oleh peraturan-peraturan dan bermain dengan menggunakan permainan yang sebenarnya seperti untuk orang dewasa atau untuk orang yang sudah mahir.



Hal ini dianggapnya tidak sesuai dengan konsep “developmentally appropriate practices”. Bahkan dalam kenyataannya pun, untuk sebagian besar siswa cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai.



Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas



Enam karakteristik model sport education yang seringkali absen dari pembelajaran pendidikan jasmani pada umumnya adalah: musim, anggota team, pertandingan formal, puncak pertandingan, catatan hasil, perayaan hasil kompetisi.



a) Musim (season) merupakan salah satu karakteristik dari model sport education yang di dalamnya terdiri dari musim latihan dan kompetisi serta seringkali diakhiri dengan puncak kompetisi. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya karakteristik ini jarang diperhatikan.

b) Afiliasi Anggota team merupakan karakteristik kedua dari model sport education. Semua siswa harus menjadi salah satu anggota dari team olahraga dan akan tetap sebagai anggota sampai satu musim selesai. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya anggota tim berubah-ubah dari satu pertemuan ke pertemuan yang lainnya.

c) Kompetisi formal merupakan karakteristik ke tiga dari model sport education. Kompetisi dalam model ini mengandung tiga arti, yaitu: festival, usaha meraih kompetensi, dan mengikuti pertandingan pada level yang berurutan. pertama. Kompetisi formal dilakukan secara berselang-selang dengan latihan dan format yang berbeda-beda: misal dua lawan dua, tiga lawan tigas dan seterusnya hingga pada tingkatan yang sesuai dengan kemampuan siswa

d) Puncak pertandingan merupakan ciri khas dari even olahraga untuk mencari siapa yang terbaik pada musim itu, dan ciri khas ini dijadikan karakteristik ke empat dari model sport education. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya, pertandingan seperti ini sering dilakukan, namun setiap siswa belum tentu masuk anggota team sehingga sebagaian siswa merasa terabaikan.

e) Catatan hasil merupakan karakteristik ke lima dari model sport education. Catatan ini dilakukan dalam berbagai bentuk, dari mulai dai catatan masuk goal, tendangan ke goal, curang, kesalahan-kesalahan, dan sebagainya disesuaikan dengan kemampuan siswa. Catatan ini dilakukan siswa dan guru untuk dijadikan feedback baik bagi individu maupun tim.

f) Perayaan hasil kompetisi merupakan karakteristik ke enam dari model sport education. Perayaan hasil kompetisi seperti upacaya penyerahan medali berguna untuk meningkatkan makna dari partisipasi dan merupakan aspek sosial dari pengalaman yang dilakukan siswa.



Keenam karakteristik model sport education ini oleh Siedentop dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa pendidikan jasmani pada umumnya tidak lengkap dalam mengajar siswa melalui olahraga.



2) Perbedaan Sport Education dan Sport (Olahraga) Perbedaan yang mencolok antara sport education dengan sport (olahraga) adalah: persyaratan partisipasi (participation requirements), keterlibatan yang sesuai dengan perkembangan siswa (developmentally appropriate involvement), dan peran yang lebih beragam (more diverse roles).



a) Persyaratan partisipasi (participation requirements). Sport education menuntut adanya partisipasi penuh dari semua siswa pada semua musim. Tuntutan ini akan mempengaruhi pertimbangan dalam memilih jenis olahraga, jumlah team dan angggota pada masing-masing team, dan karakteristik kompetisi yang dilakukannya.

(1) System gugur sedapat mungkin dihindari.

(2) Jumlah anggota team yang terlalu banyak juga harus dihindari sebab permainan cenderung akan didomonasi oleh siswa yang sudah terampil.



(3) Puncak pertandingan harus merupakan even untuk semua siswa tidak hanya untuk siswa atau team yang paling baik

(4) Semua siswa (tidak hanya yang berbakat) mendapat kesempatan yang sama pada semua peran baik sebagai pemain, wasit, pemimpin, dan anggota team.



b) Keterlibatan yang sesuai dengan perkembangannya (developmentally appropriate involvement).

Bentuk olahraga yang digunakan dalam sport education harus sesuai dengan pengalaman dan kemampuan siswa. Bahkan Siedentop menganggap bahwa semua olahraga formal secara penuh tidak cocok diberikan pada siswa dalam konteks sport education.

Semua olahraga harus diberikan secara bertahap dan dimodifikasi namun menyeluruh pada ke enam karakteristik sport education tersebut di atas. Modifikasi dapat dilakukan dari jumlah anggota team misal 1 lawan satu hingga pada jumlah yang sesuai dengan kemampuan siswa, dari alat yang digunakan, demikian juga peraturannya dari mulai bisa mengatakan masuk atau ke luar hingga pada peraturan yang sesuai dengan kemampuan siswa untuk dapat diterapkannya.



c) Peran yang lebih beragam (more diverse roles). Model sport education menuntut siswa memainkan banyak peran daripada olahraga pada umumnya yang hanya berperan sebagai pemain. Dalam model sport education, selain belajar berperan sebagai pemain, siswa juga belajar sebagai pelatih, wasit, dan pencatat skor. Pada kasus model tertentu, siswa belajar sebagai manager, instruktur, penyiar, dan penulis berita olahraga. Untuk itu model ini dapat juga mengembangkan karir siswa dalam bidang profesi olahraga.



3) Strategi mengajar Fair Play

Tujuan utama dari model sport education adalah mengembangkan siswa menjadi olahragawan yang baik yang mengandung arti selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga dan selalu menerapkan prinsip fair play baik pada saat sebagai pemain, sebagai wasit, maupun sebagai penonton. Dengan model ini siswa diharapkan menyadari bahwa kemenangan tidak mengandung arti apa-apa kecuali diperoleh melalui permainan yang fair play dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga. Untuk itu pengarahan, latihan, dan feedback harus diberikan terhadap nilai-nilai ini sebagai mana diberikan terhadap keterampilan gerak dan strategi bermain. Beberapa strategi untuk mengembangkan nilai-nilai fari play antara lain adalah sebagai berikut:



a) Penjelasan perilaku fair play disampaikan dan dipahami oleh semua siswa

b) Membuat dan menggunakan system promosi dan penghargaan terhadap perilaku fair play.

c) Perilaku penonton yang baik perlu diajarkan dan dikembangkan

d) Gunakan sistem seleksi anggota team hingga setiap siswa memiliki kesempatan belajar yang sama

e) Kembangkan perkumpulan olahraga-olahraga tertentu pada tingkat kelas dan sekolah sebagai tempat diskusi memecahkan berbagai masalah bagi siswa

f) Kembangkan suatu penghargaan terhadap perilaku fair play yang sama pentingnya dengan penghargaan terhadap para pemenang pertandingan

g) Ajarkan dan beri penghargaan bagi mereka yang melakukan ritual nilai-nilai olahraga (misal bersalaman setelah bertanding).



4) Program Pembelajaran



a) Materi pembelajaran di sesuaikan dengan materi yang tersedia dalam kurikulum

b) Jumlah pertemuan disesuaikan dengan waktu yang tersedia dalam kurikulum

c) Alokasi waktu yang tersedia perminggu dapat dibagi menjadi dua atau tiga pertemuan sesuai kebutuhan dengan konsekuensi waktu per-pertemuan makin sedikit

d) Catatan rata-rata waktu per-pertemuan yang menggunakan model ini antara 35 ssampai dengan 60 menit.

e) Catatan rata-rata jumlah pertemuan per catur wulan yang menggunakan model ini antara delapan sampai dengan 20 pertemuan.



5) Program Evaluasi

Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan fair play diperoleh melalui,



a) catatan harian

b) observasi

c) refleksi siswa

d) tes pengetahuan fair play



Semoga berguna, dan layak dicoba di sekolah..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar