Rabu, 20 April 2011

Catatan Akhir Semester

Apa sih kriteria kesuksesan seorang guru penjas?

Sungguh akan ada banyak variasi jawaban dari pertanyaan di atas. Ada yang bilang, guru penjas yang sukses adalah yang mampu melatih sebanyak-banyaknya siswa menjadi atlet berprestasi. Yang lain beranggapan, sukses ditentukan oleh kemampuannya dalam mengimplementasikan kurikulum, menjalankan RPP dan silabus dengan presisi. Atau tolok ukur yang paling sederhana, bahwa guru penjas sukses adalah guru yang mampu membawa semua siswanya terlibat aktiv dalam seluruh proses pembelajaran.

Namun jika kita cermati, secara umum masyarakat sepakat jika keberhasilan guru penjas tidak bisa dilepaskan dari pencapaian prestasi olahraga. Seorang guru yang mampu membawa siswanya juara OOSN tingkat Provinsi atau bahkan nasional, dialah guru penjas sukses. Memang dalam jenjang olahraga elitis, pencapaian seperti ini adalah indikator yang sangat lazim digunakan. Sehingga situasi yang banyak kita jumpai adalah seorang guru penjas seringkali diberi beban target oleh pihak sekolah untuk mencapai prestasi olahraga di dalam level tertentu.

Secara umum, penjas di Indonesia memang masih mengikuti model pembelajaran Daryl Siedentop (Sport Education) dan Europian Physical Education (Sport Pedagogy) dan model kurikulum yang ada di Indonesia cenderung fokus pada elitism (menyiapkan atlet elit). Maka tak heran jika Dinas Pendidikan getol sekali mengadakan kompetisi-kompetesi olahraga semacam Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (OOSN). OOSN dilakukan rutin setiap tahun, dan berjenjang dari tingkat Kecamatan sampai Nasional.

Di awal tugas saya sebagai guru, tak ada satu pun siswa yang lolos OOSN tingkat kabupaten. Situasi ini menjadi semacam aib bagi sekolah, saya pun kemudian mendapat tekanan untuk membawa siswa berprestasi. Saya cukup yakin bahwa banyak guru penjas mengalami situasi yang sama dengan saya. Tekanan semacam ini mau tak mau memaksa kita untuk menerapkan pendekatan sports daripada ke physicall education (PE).  Kita pun terpaksa tidak dapat menghindari model elitism atau sportification  model.

Beradaptasi dengan situasi di atas, saya pun kemudian tertarik untuk menerapkan Sport Education (SE) di sekolah (tentu saja cuma sejauh pemahaman saya saja, hahahaha). Karena menurut beberapa pihak model ini cukup mumpuni untuk mengenal potensi olahraga siswa, karena siswa terlibat langsung dalam situasi kompetisi olahraga yang dirancang resmi.

Ada enam kunci utama dari SE, yaitu: seasons, affiliation, formal competition, culminating events, record keeping, dan festivity. Sports education menekankan pada pengalaman siswa dalam mengikuti sebuah kompetisi olahraga formal. Dalam satu kelas, siswa dibagi dalam beberapa kelompok yang tetap. Tiap kelompok selanjutnya bertanding/berkompetisi dalam satu season. Tiap siswa memiliki peran yang berbeda didalam kelompoknya (diverse roles). Ada yang jadi pemain, pelatih, manager, pencatat statistic, wasit, dan lain sebagainya.

Setelah melaksanakan SE selama 2 semester, saya menarik beberapa kelebihan yang bisa saya dapatkan:
  1. Siswa terlibat aktiv dalam kompetisi. Siswa sangat menikmati tiap pertandingan bahkan segala kebutuhan dari kompetisi itu, dari saran prasarana, jadwal pertandingan, table hasil/klasemen, mampu disiapkan siswa secara mandiri.
  2. Guru sangat mudah untuk mengenali potensi olahraga siswa, guru cukup melihat statistic pertandingan dan melakukan pengamatan selama kompetisi. Dalam pemberian laporan nilai, statistic pertandingan pun bisa dipertimbangkan sebagai dasarnya. Saya pun tak perlu susah-susah memilih siswa untuk mewakili sekolah di OOSN. Anak-anak yang memiliki bakat menonjol akan sangat kelihatan, kita tinggal memilih saja. 
  3. Mengasah jiwa kepemimpinan anak. Siswa juga mulai belajar bekerjasama dalam satu kelompok.  Tiap siswa memiliki peran masing-masing,  dan saling melengkapi.
  4. Mengasah ketrampilan teknik siswa secara signifikan. Siswa secara mandiri belajar, agar mampu mencapai prestasi dalam kompetisi.
  5. Siswa sangat antusias dalam berolahraga. Di kantin, di halaman, di FB, twitter  atau disela-sela mereka beraktivitas, mereka selalu membicarakan tentang kejuaraan yang mereka ikuti. Intinya mereka selau menantikan hari pertandingan. Apalagi ketika season hampir berakhir. Tak kalah, para guru pun bertanya “Yang juara kelompoknya siapa?”, atau “Siapa yang cetak gol?”, dst. (dan situ tau).



Namun dibalik gegap gempita SE yang mampu saya ciptakan di sekolah, sesungguhnya ada permasalahan pelik di balik SE ini. Yang paling kentara dalam model SE seperti ini, siswa yang tidak memiliki standar untuk menjadi elit, maka ia akan terpinggirkan. Khusus bagi mereka yang memiliki potensi (talent) mungkin SE sangat tepat untuk mengasah bakat mereka. Namun masalahnya adalah sebagian besar siswa tidak memiliki
kemampuan untuk itu.

Tokoh utama dalam SE adalah si pemain. Maka si pencatat skor, si statistician, si lines man, si Perkab, si cheerleader ya tak lebih sekedar pelengkap. Terjadi ketimpangan yang terlampau jauh antara si tokoh utama dengan peran pembantu. Si pemain selalu disanjung-sanjung, dipuji.  Di sisi lain, anak yang tak punya kemampuan untuk bermain, makin lama makin dilupakan. Mungkin kita bisa beretorika bahwa, “ah, bukankah dia juga punya peran yang penting?”. Namun kenyataannya di lapangan tercipta stratifikasi social baru berdasar peran anak ini. Dan ini sungguh melanggar dasar-dasar pendidikan dimana kita seharusnya bersifat egaliter.

Nah apakah kita bisa disebut sebagai seorang guru penjas yang sukses jika ternyata pembelajaran yang kita rancang merupakan ladang subur ketidakadilan sosial?


Marilah bersama-sama mencari kebenaran, jika tak satupun dari kita memiliknya.
(Constantin F. Volney)

Senin, 18 April 2011

MENGENAL MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI: SPORT EDUCATION

Berikut adalah pengenalan singkat dari model Sport education, salah satu dari sekian banyak model pembelajaran pendidikan jasmani yang ada:

1. Model Sport Education

Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini bersumber pada Subject Mater, dengan berorientasi pada nilai Disciplinary Mastery, dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization.

Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education”. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum dan pembelajaran penjas.

Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah materi penjas yang banyak digunakan oleh para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan. Para guru lebih senang mengajarkan teknik-tkenik olahraga dan permainan, diikuti oleh peraturan-peraturan dan bermain dengan menggunakan permainan yang sebenarnya seperti untuk orang dewasa atau untuk orang yang sudah mahir.

Hal ini dianggapnya tidak sesuai dengan konsep “developmentally appropriate practices”. Bahkan dalam kenyataannya pun, untuk sebagian besar siswa cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai.

Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas

Enam karakteristik model sport education yang seringkali absen dari pembelajaran pendidikan jasmani pada umumnya adalah: musim, anggota team, pertandingan formal, puncak pertandingan, catatan hasil, perayaan hasil kompetisi.

a) Musim (season) merupakan salah satu karakteristik dari model sport education yang di dalamnya terdiri dari musim latihan dan kompetisi serta seringkali diakhiri dengan puncak kompetisi. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya karakteristik ini jarang diperhatikan.
b) Afiliasi Anggota team merupakan karakteristik kedua dari model sport education. Semua siswa harus menjadi salah satu anggota dari team olahraga dan akan tetap sebagai anggota sampai satu musim selesai. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya anggota tim berubah-ubah dari satu pertemuan ke pertemuan yang lainnya.
c) Kompetisi formal merupakan karakteristik ke tiga dari model sport education. Kompetisi dalam model ini mengandung tiga arti, yaitu: festival, usaha meraih kompetensi, dan mengikuti pertandingan pada level yang berurutan. pertama. Kompetisi formal dilakukan secara berselang-selang dengan latihan dan format yang berbeda-beda: misal dua lawan dua, tiga lawan tigas dan seterusnya hingga pada tingkatan yang sesuai dengan kemampuan siswa                                                                                                                                        
d) Puncak pertandingan merupakan ciri khas dari even olahraga untuk mencari siapa yang terbaik pada musim itu, dan ciri khas ini dijadikan karakteristik ke empat dari model sport education. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya, pertandingan seperti ini sering dilakukan, namun setiap siswa belum tentu masuk anggota team sehingga sebagaian siswa merasa terabaikan.                                                                                                                                                    

e) Catatan hasil merupakan karakteristik ke lima dari model sport education. Catatan ini dilakukan dalam berbagai bentuk, dari mulai dai catatan masuk goal, tendangan ke goal, curang, kesalahan-kesalahan, dan sebagainya disesuaikan dengan kemampuan siswa. Catatan ini dilakukan siswa dan guru untuk dijadikan feedback baik bagi individu maupun tim.                                                                                                     
f) Perayaan hasil kompetisi merupakan karakteristik ke enam dari model sport education. Perayaan hasil kompetisi seperti upacaya penyerahan medali berguna untuk meningkatkan makna dari partisipasi dan merupakan aspek sosial dari pengalaman yang dilakukan siswa.

Keenam karakteristik model sport education ini oleh Siedentop dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa pendidikan jasmani pada umumnya tidak lengkap dalam mengajar siswa melalui olahraga.

2) Perbedaan Sport Education dan Sport (Olahraga) Perbedaan yang mencolok antara sport education dengan sport (olahraga) adalah: persyaratan partisipasi (participation requirements), keterlibatan yang sesuai dengan perkembangan siswa (developmentally appropriate involvement), dan peran yang lebih beragam (more diverse roles).

a) Persyaratan partisipasi (participation requirements). Sport education menuntut adanya partisipasi penuh dari semua siswa pada semua musim. Tuntutan ini akan mempengaruhi pertimbangan dalam memilih jenis olahraga, jumlah team dan angggota pada masing-masing team, dan karakteristik kompetisi yang dilakukannya.
(1) System gugur sedapat mungkin dihindari.
(2) Jumlah anggota team yang terlalu banyak juga harus dihindari sebab permainan cenderung akan didomonasi oleh siswa yang sudah terampil.
(3) Puncak pertandingan harus merupakan even untuk semua siswa tidak hanya untuk siswa atau team yang paling baik
(4) Semua siswa (tidak hanya yang berbakat) mendapat kesempatan yang sama pada semua peran baik sebagai pemain, wasit, pemimpin, dan anggota team.

b) Keterlibatan yang sesuai dengan perkembangannya (developmentally appropriate involvement).
Bentuk olahraga yang digunakan dalam sport education harus sesuai dengan pengalaman dan kemampuan siswa. Bahkan Siedentop menganggap bahwa semua olahraga formal secara penuh tidak cocok diberikan pada siswa dalam konteks sport education.
Semua olahraga harus diberikan secara bertahap dan dimodifikasi namun menyeluruh pada ke enam karakteristik sport education tersebut di atas. Modifikasi dapat dilakukan dari jumlah anggota team misal 1 lawan satu hingga pada jumlah yang sesuai dengan kemampuan siswa, dari alat yang digunakan, demikian juga peraturannya dari mulai bisa mengatakan masuk atau ke luar hingga pada peraturan yang sesuai dengan kemampuan siswa untuk dapat diterapkannya.

c) Peran yang lebih beragam (more diverse roles). Model sport education menuntut siswa memainkan banyak peran daripada olahraga pada umumnya yang hanya berperan sebagai pemain. Dalam model sport education, selain belajar berperan sebagai pemain, siswa juga belajar sebagai pelatih, wasit, dan pencatat skor. Pada kasus model tertentu, siswa belajar sebagai manager, instruktur, penyiar, dan penulis berita olahraga. Untuk itu model ini dapat juga mengembangkan karir siswa dalam bidang profesi olahraga.

3) Strategi mengajar Fair Play
Tujuan utama dari model sport education adalah mengembangkan siswa menjadi olahragawan yang baik yang mengandung arti selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga dan selalu menerapkan prinsip fair play baik pada saat sebagai pemain, sebagai wasit, maupun sebagai penonton. Dengan model ini siswa diharapkan menyadari bahwa kemenangan tidak mengandung arti apa-apa kecuali diperoleh melalui permainan yang fair play dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga. Untuk itu pengarahan, latihan, dan feedback harus diberikan terhadap nilai-nilai ini sebagai mana diberikan terhadap keterampilan gerak dan strategi bermain. Beberapa strategi untuk mengembangkan nilai-nilai fari play antara lain adalah sebagai berikut:

a) Penjelasan perilaku fair play disampaikan dan dipahami oleh semua siswa
b) Membuat dan menggunakan system promosi dan penghargaan terhadap perilaku fair play.
c) Perilaku penonton yang baik perlu diajarkan dan dikembangkan
d) Gunakan sistem seleksi anggota team hingga setiap siswa memiliki kesempatan belajar yang sama
e) Kembangkan perkumpulan olahraga-olahraga tertentu pada tingkat kelas dan sekolah sebagai tempat diskusi memecahkan berbagai masalah bagi siswa
f) Kembangkan suatu penghargaan terhadap perilaku fair play yang sama pentingnya dengan penghargaan terhadap para pemenang pertandingan
g) Ajarkan dan beri penghargaan bagi mereka yang melakukan ritual nilai-nilai olahraga (misal bersalaman setelah bertanding).

4) Program Pembelajaran 

a) Materi pembelajaran di sesuaikan dengan materi yang tersedia dalam kurikulum
b) Jumlah pertemuan disesuaikan dengan waktu yang tersedia dalam kurikulum
c) Alokasi waktu yang tersedia perminggu dapat dibagi menjadi dua atau tiga pertemuan sesuai kebutuhan dengan konsekuensi waktu per-pertemuan makin sedikit
d) Catatan rata-rata waktu per-pertemuan yang menggunakan model ini antara 35 ssampai dengan 60 menit.
e) Catatan rata-rata jumlah pertemuan per catur wulan yang menggunakan model ini antara delapan sampai dengan 20 pertemuan.

5) Program Evaluasi
Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan fair play diperoleh melalui,

a) catatan harian
b) observasi
c) refleksi siswa
d) tes pengetahuan fair play

Semoga berguna, dan layak dicoba di sekolah..........

MENGENAL MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI: SPORT EDUCATION

MENJAGA SEMANGAT LATIHAN

DARI sekian banyak orang yang memulai program latihan olahraga, hanya sepertiga yang terus bertahan hingga akhir tahun pertama. Pendapat ini dikemukakan oleh Vicki Pierson, ACE Certified Personal Trainer. Bagi Anda yang sudah memulai program olahraga dan kesulitan untuk bertahan, tentu saja Anda tidak sendiri. Untuk membantu Anda agar tetap termotivasi, berikut beberapa tip sederhana yang bisa Anda coba:

Menemukan pasangan: Studi-studi menemukan, berolahraga dengan teman atau keluarga akan membuat Anda lebih patuh terhadap komitmen program latihan Anda. Baik Anda maupun teman Anda akan menjadi penyemangat saat semangat sudah mulai kendor. Maka, carilah teman baik atau sahabat dekat dalam latihan. Namun hindarilah pasangan dalam artian berpacaran. Karena survey membuktikan jika hubungan cinta dalam program olahraga akan memberi lebih banyak efek negative daripada positifnya. Situasi yang sering terjadi adalah cinta lokasi akan menyebabkan program terganggu, terlebih jika ada masalah dalam hubungan percintaan tersebut, pasti akan terbawa ke tempat latihan.

Tuliskan perkembangan Anda: Ini merupakan cara terbaik untuk melihat perkembangan sekaligus mendorong semangat Anda. Tulislah jadwal Anda, perasaan dan tujuan-tujuan Anda. Pencapaian yang Anda rasakan tentunya akan mendorong Anda untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Misalnya anda menetapkan target dalam 3 minggu harus bisa melakukan Flick atau Hit. Target yang terukur akan menambah semangat anda untuk berlatih.

Jadikan olahraga sebagai prioritas. Jadwalkan waktu khusus untuk latihan dan pastikan Anda selalu menepatinya sama seperti aktivitas penting Anda lainnya.
Sediakan pakaian yang nyaman: Pilihlah pakaian dan sepatu yang nyaman untuk berolahraga. Hal ini akan membuat Anda merasa lebih baik. Jika pergi ke lapangan, sediakan pakaian dan sepatu Anda di tas sehari sebelumnya. Dengan begitu, Anda bisa langsung berangkat tanpa mengganggu aktivitas lainnya.

Hiburlah diri Anda: bayangkan harapan yang ada di depan mata. Prestasi: juara, emas, bonus. Pokoknya yang membuat anda semangat.
SEMOGA BERGUNA…….!

AMUBA HOCKEY CLUB: klub hoki wong ndeso.

Olahraga dapat mencegah kenakalan remaja”. Itulah alasan klise yang paling sering digunakan pengurus olahraga ketika mengajukan proposal pengajuan dana. Maka kemudian APBD pun digelontorkan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan olahraga tersebut, meskipun masih terbatas pada olahraga2 populer seperti sepakbola atau voli. Namun apakah realitas dilapangan memang menunjukkan bahwa olahraga benar2 mampu mencegah kenakalan remaja? Saya rasa belum! Mengapa saya menyimpulkan demikian? Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan.

ALASAN PERTAMA, dana yang bermilyar2 itu rata2 digunakan untuk membayar pemain yang ternyata tak mampu menjadi role model yang baik bagi remaja. Lihatlah betapa pemain bola bergaji mahal itu malah sering kali melakukan provokasi pada suporter sehinggga terjadi kerusuhan. Banyak pula pemain yang malah terseret kasus narkoba atau doping.

Dalam hal ini kita harus membedakan makna antara istilah “dadi pemain” dan “pemain dadi”. Mana yang lebih baik?

Sungguh pemain2 bergaji mahal itu memang telah “dadi pemain”, dalam artian sudah mampu mencari nafkah melalui keahliannya berolahraga. Namun apakah pemain2 itu sudah jadi “pemain dadi”? “Pemain dadi” disini selain memiliki kemampuan teknik yang baik, tetapi juga harus dilengkapi dengan kecerdasan emosional (afektif, kognitif) diatas rata2 sehingga mampu jadi panutan anak muda.

Saya rasa, “dadi pemain” itu mudah, tapi menemukan “pemain dadi” inilah yang sulit. Sangat sedikit “pemain dadi” di negeri ini yang mampu jadi uswatun khasanah bagi para remaja.

ALASAN KEDUA, dana untuk olahraga, mayoritas tak mampu menyentuh akar permasalahan, yakni para remaja itu sendiri. Membayar pemain2 bergaji mahal untuk bermain ( terutama pemain asing) sama saja meminggirkan potensi lokal untuk berprestasi.

Maka tak heran kalau Indonesia saat ini berkembang menjadi “Negara penonton” dan “Negara Komentator”. Semua orang hanya kebagian jatah jadi penonton dan komentator, bahkan dikompetisi lokal negara sendiri. Lihatlah betapa ditelevisi, sangat banyak kita temui para komentator berkualitas. Tapi menemukan pemain berkualitas, kita kesulitan. Inilah yang harus dirubah, Indonesia harus berubah menjadi “Negara Pemain”.

Lalu, apa solusi untuk permasalahan ini?

Sejatinya, yang pertama harus dilakukan menyentuh potensi lokal itu sendiri. Perlu upaya yang extraordinary. Kalau perlu olahraga yang dilakukan pun harus extraordinary. Karena ini adalah situasi yang extraordinary pula (hahahaha niru kata2 para politikus iki).

Melihat latar belakang masalah diatas, betullah jika kita harus menerapkan prinsip: “THINK GLOBALLY, ACT LOCALLY”. Jika kita lihat, banyak sekali potensi sekitar kita, tak terkecuali di desa kami (Beluran, Sidomoyo. Godean, Sleman). Namun sayang potensi itu belum tergarap dengan baik. Banyak anak muda yang kegiatannya tidak bermanfaat. Anak2 berlatar belakang ekonomi menengah kebawah ini rata2 cuma nongkrong2 dipinggir jalan bahkan menjurus ke kriminalitas. Sejati anak2 seperti inilah yang memiliki energi berlebih, sehingga perlu diberdayakan. Perlu diberdayakan bukan berarti mereka tak berdaya loh, hehehe

Maka tercetuslah pemikiran untuk membentuk sebuah klub olahraga di desa kami. Olahraga yang kami pilih adalah HOKI (Spelling Inggrisnya: Hockey). Maka pada tanggal 17 Desember 2007 lahirlah klub hoki didesa kami yang dinamakan “AMUBA HOCKEY CLUB”. Amuba adalah akronim dari “ANAK MUDA BELURAN”

Mengapa harus hoki?

Karena hoki masih dianggap olahraga yang elit. Tentu saja, anak muda selalu tertarik pada hal2 yang elit. Dus, anak muda juga selalu tertarik pada hal2 yang baru. Hoki kan termasuk olahraga baru dan belum populer. Sebelumnya olahraga hoki selalu terbatas ditingkat kampus2. Amuba adalah klub hoki non kampus pertama di Sleman.

Tujuan kami jelas: Mengembang Potensi lokal untuk membentuk menjadi “pemain dadi”, pemain yang punya kemampuan lengkap, baik kognitif, afektif maupun pikomotoriknya. Pemain lokal yang punya prestasi nasional. Dengan kata lain: cah ndeso ning ngluwihi kutho.

Dengan peralatan bantuan dari PHSI Sleman, mulailah kami berlatih. Kami mulai melakukan rekrutmen pada anak di desa kami yang kerjaanya cuma nongkrong-nogkrong itu. Sebenarnya saya tak terlibat langsung pada rekrutmen awal ini, karena saya terlibat aktiv ketika latihan sudah berjalan beberapa minggu, dan sudah sekitar belasan anak yang ikut berlatih. Jadi disini saya tidak bisa menceritakan betapa susahnya mengajak mereka untuk pertama kali latihan. Bisa dibilang saya ikut rekrutmen tahap kedua lah,hehehe. Setelah latihan mulai berjalan, yang paling saya ingat adalah, “sulit sekali menyuruh anak2 amuba itu latihan pakai sepatu!” Berbulan2 kami berlatih tanpa sepatu. “Tak apalah, asal anak2 disini mau latihan” pikir kami saat itu.

Pertandingan resmi pertama saya bersama klub ini adalah melawan tim UNY, yang kabarnya baru saja juara liga hoki mahasiswa nasional. Nyali kami tak ciut, bahkan menggebu!. Semangat kami adalah memperlihatkan kemampuan terbaik kami. Walaupun sebagian dari kami adalah anak putus sekolah, walaupun seragam kami kedodoran, walaupun stik kami ketinggalan jaman, walaupun kami adalah cah ndeso, tapi kami punya potensi. Saya masih ingat dengan jelas raut wajah mereka yang sungguh bersemangat, melebihi semangat para pemain tim nasional yang kadang acuh ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Semangat kami layaknya pasukan elit yang siap tempur.

Hasilnya tak mengecewakan, sempat unggul 1-0, kami harus puas berbagi angka 1-1. Sebuah awal yang kami anggap sangat luar biasa, membelalakkan mata banyak orang bahwa anak2 desa ini ternyata mampu maen hoki.

Dua tahun setelah pertandingan bersejarah itu, kami telah berkembang jauh lebih baik. Prestasi terbaik kami adalah peringkat 2 se-Sleman pada kejurkab 2009 dan peringkat 3 propinsi pada Jogja hoki festival, yang juga diikuti ISCI Jakarta. Yang paling membanggakan, kami berhasil mengirimkan 11 pemain kami (4 putra dan 7 putri) ke tim Porprov Sleman 2009 yang akhirnya meraih prestasi juara umum cabang hoki.

Sungguh jika kami memiliki peralatan yang lebih lengkap, kedepan kami yakin kami bisa berprestasi lebih dari ini. Bayangkan jika dana pembinaan olahraga itu disalurkan ke klub-klub lokal seperti kami, bukan ke olahraga-olahraga yang menggaji pemain asing itu. Niscaya permasalahan maraknya peredaran narkoba di masyarakat, masalah angka pengangguran yang masih cukup tinggi, masalah kenakalan remaja, atau masalah kekurangan bibit pemain, bisa terpecahkan dengan lebih cepat. Tujuan tulisan ini bukanlah mencari simpati apalagi mencari dana, yang ingin kami tekankan disini, klub lokal seperti kami adalah solusi. Karena klub lokal seperti kami punya potensi.


Francis Bacon mengatakan bahwa “harapan adalah sarapan yang baik, tapi makan malam yang buruk”. Kami tak mau terpaku pada harapan kami tanpa melakukan apapun. Alhamdulilah, pasca gegap gempita Porprov 2009 kemarin, akhirnya kami mampu membeli stik sendiri. Berkat batuan dana dari LMPD Beluran, dan donatur dari berbagai pihak yang budiman, kami mampu membeli 13 buah stik, dan 10 buah bola. Namun tentu harus disadari bahwa alat ini masih jauh dari cukup, karena lebih dari 40 anak yang berangkat latihan tiap sorenya. Dan lagi, ada semacam cita-cita kolektif kami, bahwa kami berharap suatu saat kami memiliki leggard (Baju kiper) sendiri. Tak perlu yang merek Grays, merek cakarvarti yang harganya 5 jutaan saja kami sudah senang sekali, hehehe

Dua tahun awal ini adalah pondasi. Dua tahun awal ini adalah dasar bagi kami untuk berprestasi lebih baik kedepan. Maka harapan terbesar kami adalah klub-klub lokal seperti kami diberi dukungan yang sebesar-besarnya. Kami yakin dengan dukungan dari semua pihak, potensi-potensi lokal ini akan semakin berkembang Kami bangga menjadi jadi wong ndeso, tapi kami lebih bangga lagi jadi wong ndeso yang berprestasi.

Amubahockey.blogspot.com
Contac person: Wilian Dalton 081806403261

Budaya Jawa dan Kekerasan Sepak Bola

Filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre, pernah bilang, dalam sepak bola semuanya jadi rumit karena hadirnya pemain lawan. Dalam konteks kita, sepak bola makin bertambah rumit karena hadirnya suporter tim yang bertanding sehingga melahirkan lelucon betapa Indonesia pantas disebut sebagai negara sarang teroris.
Buktinya, mereka legal berkumpul di stadion-stadion, juga leluasa melakukan aksi teror ketika tim yang ia dukung kalah. Aksi teror dan kerusuhan suporter di Jawa Tengah meledak lagi (12/3) di Jepara.

Sebagai suporter dan football flaneur, istilah Baudelaire (1821-1867) untuk turis bola yang gemar menjelajah kota untuk nonton sepak bola (di Pulau Jawa sampai Singapura), saya pribadi kenyang menemui aksi-aksi brutal suporter sepak bola Indonesia. Tetapi, hal buruk tersebut senyatanya tak hanya meledak di masa kini.
Adalah Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden, mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda, secara tajam mengungkap borok tindak kekerasan dunia suporter sepak bola Indonesia sejak zaman kolonial hingga kini. Dalam tulisannya View from the Periphery: Football in Indonesia, ia memakai pisau bedah dari perspektif budaya dan politik dalam analisis yang provokatif.

Ditilik dari kajian budaya, menurutnya, tidak dapat diingkari bahwa Indonesia kuat dipengaruhi budaya suku mayoritas, suku Jawa. Budaya Jawa memiliki pandangan ketat mengenai pentingnya keselarasan. Perasaan yang terinternalisasi secara mendalam dalam jiwa orang Jawa adalah kepekaan untuk tidak dipermalukan di muka umum. Perasaan demikian memupuk konformitas, pengendalian tingkah laku, dan menjaga ketat harmoni sosial. Konflik yang terjadi diredam sekuat tenaga. Reaksi normal setiap orang Jawa dalam menanggapi konflik adalah penghindaran, wegah rame, dan mediasi oleh pihak ketiga. Apabila meletus konflik, terutama ketika saling ejek dan saling hina terjadi, maka yang muncul adalah perasaan malu dan kehilangan muka.

Dengan landasan sikap interaksi antarmanusia tipikal seperti itu, membuat pertandingan sepak bola menjadi problematis. Sebab, sepak bola adalah konflik eksplisit di mana seseorang sangat mudah untuk merasa dihinakan. Adanya tackle keras, trik licin mengecoh lawan, sampai keputusan wasit yang mudah ditafsirkan secara beragam, jelas membuat penghindaran menjadi hal mustahil. Apalagi ketegangan itu diperburuk oleh fakta bahwa tindak penghinaan tersebut tidak hanya berlangsung di muka umum, tetapi nyata-nyata di depan ribuan pasang mata. Reaksi tipikal orang Jawa ketika di bawah tekanan semacam itu adalah ledakan kemarahan dan amuk tindak kekerasan. Kalah dan amuk

Tesis di atas dapat dinilai parsial dan hipotetis. Itu karena, argumen yang sama kurang meyakinkan bila diterapkan untuk kelompok etnis Indonesia lainnya, yang juga memunculkan tindak kekerasan serupa dalam teater sepak bola. Idealnya kemudian, penjelasan secara kultural tadi direntang dengan menggambarkan kesejajaran secara spekulatif antara sepak bola dengan budaya politik sehingga mencakup pemain dan suporter dari semua latar belakang etnis di Indonesia.

Dalam budaya demokrasi, kalah-menang secara fair play merupakan bagian sah suatu kompetisi. Di pentas Piala Dunia 2002 kita diberi keteladanan ketika tuan rumah Korea Selatan atau Jepang mengalami kekalahan ternyata tidak terjadi kerusuhan sama sekali. Hal sebaliknya justru meletus kerusuhan di Moskwa ketika Rusia dikalahkan oleh Hidetoshi Nakata dan kawan-kawan.

Sementara itu, di pentas sepak bola Indonesia kerusuhan masih mudah meruyak ketika suatu tim mengalami kekalahan. Realitas ini menegaskan betapa dalam masyarakat non-madani, ide mengenai kompetisi yang selalu melibatkan konflik belum berurat dan berakar. Bahkan perilaku menjunjung tinggi sportivitas dipandang sebagai hal bodoh. Teater sepak bola Indonesia kaya dengan contoh pelecehan terhadap sportivitas olahraga.
Misalnya dalam pertandingan terakhir putaran kedua Kompetisi Perserikatan PSSI Wilayah Timur 1988, tuan rumah Persebaya digulung Persipura dengan skor fantastis, 0- 12. Persipura dengan kemenangan itu berarti menyisihkan peluang PSIS Semarang sebagai juara bertahan 1986/1987 untuk berlaga ke Senayan. Tetapi, kemenangan fantastis itu, semua publik sepak bola mengetahuinya, merupakan kemenangan yang tidak wajar, diatur para eksekutif kedua tim perserikatan tersebut.

Dalam perempat-final Piala Tiger 1998 di Hanoi, Vietnam, terjadi peristiwa aib yang melibatkan tim nasional Indonesia. Peristiwa hitam itu terjadi ketika tim yang bertanding, baik tim Thailand maupun Indonesia, sama-sama tidak menggubris etika dan roh olahraga itu sendiri, yaitu sportivitas. Kedua tim berusaha mati- matian agar memperoleh kekalahan pada akhir pertandingan. Tujuannya agar terhindar bertemu tuan rumah Vietnam di semifinal. Saat skor 2- 2 pada perpanjangan waktu, pemain Indonesia Mursyid Effendi menembak ke gawang timnya sendiri. Kiper Indonesia tidak berusaha menepis. Justru banyak pemain Thailand berusaha menjaga gawang timnas Indonesia agar tidak kebobolan.

Semua ilustrasi menyedihkan itu menunjukkan semangat berkompetisi secara fair play masih impian langka di Indonesia. Berdasar pendapat banyak ahli, memang itulah cermin sejati bangsa Indonesia yang lebih condong sebagai sosok masyarakat non-madani ketimbang masyarakat yang demokratis. Kalau terus seperti ini, kapan Indonesia bisa masuk Piala Dunia? Antonio Gramsci pernah bilang, sepak bola merupakan model masyarakat individualistik yang membutuhkan prakarsa, kompetisi, dan konflik. Tetapi, segalanya diatur oleh peraturan tidak tertulis yaitu hukum fair play.

Mari kita introspeksi diri. Apakah masyarakat kita selama ini telah kondusif untuk mekarnya segala prakarsa, berbudaya sehat dalam berkompetisi, arif menyelesaikan beragam konflik, sekaligus patuh terhadap segala peraturan tertulis dan tidak tertulis secara konsekuen? Selama kita belum mengalami perubahan budaya seperti disyaratkan Gramsci, jangan harap prestasi sepak bola kita bisa ikut berbicara di pentas dunia. Hari-hari mati prestasi sepak bola Indonesia masih teramat panjang sekali. Dan, kerusuhan antarsuporter seperti yang meledak di Jepara itu pasti masih terus terulang dan terulang kembali!

mbok minah lagi......

 10 Januari 2010

Akhir-akhir ini Indonesia dihebohkan dg kasus mbok minah yang mencuri 3 biji kakao lalu di jebloskan ke penjara. Maaf jika tulisan ini saya memiliki pendapat yang berbeda dg kebanyakan orang. Namun sungguh, mau dibela kayak apapun yang namanya mbok minah itu ya tetep seorang pencuri. Mungkin pendapat saya terlalu ekstrem bagi sebagian orang, namun coba pelajari dulu konteksnya. Kejadian itu terjadi di pedesaan, lebih spesifik lagi desa di jawa.

Sungguh konsep keadilan di desa dan kota itu berbeda. Dikota, 3 biji kakao mungkin dianggap tak berarti. Namun, hal itu beda dg situasi di desa.

Jangankan 3 biji kakao, di desa, berebut rumput untuk makan ternak saja bisa sampai saling bunuh.
Contoh lain, tentang pembagian irigasi. Orang desa itu bisa bacok-bacokan hanya gara-gara rebutan air irigasi. Mungkin bagi orang kota rumput dan air itu sesuatu yang gak ada artinya, tapi hal tersebut sungguh sangat berharga di desa.

Saya tak ingin berdebat dari konteks hukum karena saya bukan ahli hukum. Saya juga tak ingin membandingkan kasus mbok minah dg para koruptor itu, karena bagi saya dua-duanya ya pencuri, cuma derajatnya berbeda. Derajat kesalahan mbok minah mungkin sangat kecil (kecil bukan berarti tidak ada loh). Dan koruptor itu besar banget.

Sejatinya, persoalan hukum tidak bisa hanya dilihat dari hukum semata. Begitulah teori socio-legal alias hukum sosial. Namun rupanya masih sulit untuk melek terhadap jenis hukum yang satu ini. Dalam ilmu socio-legal, hukum juga dilihat dari sudut antropologi, sosiologi, dan hukum adat. Nah ini hal yang sulit diaplikasikan di situasi riil.

Contoh yang agak lain adalah kasus aborsi. Tentang hal ini, Steven Levitt, dalam freakonomic (2005), pada bagian awal bukunya itu menceritakan sebuah peristiwa tentang aborsi ini di Amerika Serikat. Latar argumentasi Levitt sebenarnya ingin memperlihatkan bagaimana kejahatan di kota-kota di Amerika pada periode 1990-an justru turun. Turunnya kejahatan tidak disebabkan oleh semakin canggihnya mekanisme dan perangkat polisi dalam penegakan hukum atau tingginya pertumbuhan ekonomi pada saat itu. Menurutnya, ini terkait dengan keinginan perempuan miskin untuk aborsi pada tahun 1970-an dengan alasan tidak memiliki kemampuan untuk membesarkan anak akibat kemiskinan. Singkat cerita, permintaan ini disetujui oleh otoritas setempat. Inilah mengapa kejahatan turun, yaitu ketika potential criminal yang seharusnya dilahirkan pada periode 1970-an tidak jadi lahir sehingga mereka tidak menjadi kriminal sesungguhnya pada 1990-an saat usia mereka sekitar 20-an tahun.

Nah, kalau seperti ini, lalu aborsi bisa dibenarkan tidak? Jangan-jangan nanti aborsi bisa jadi legal (kerana ternyata aborsi memberi banyak pengaruh positif). So kalo kasus mbok minah ini dibenarkan, jangan-jangan pencurian juga bisa dilegalkan. Kalau mencuri pada situasi terdesak, jika tidak mencuri, bisa-bisa keluarganya mati kelaparan misalnya? Hayo tambah ru