Jumat, 29 November 2013

The social construction of physical education Present, past and future


Subject fields or disciplines have been invented; they are socially constructed
and constituted by humans.
(Lawson, 1991: 286)
We will always be in the middle of the story of our society, and thus judgement
of the significance and value of what has already happened is inseparable
from judgement of the present, and of the feasibility and desirability of
possible futures.
(Chanan and Gilchrist, 1974: 62)
The act of defining physical education goes somewhat beyond the statement
of beliefs, values and aspirations, important though these statements may be.
Physical education is defined by what is said, done and written in its name,
as are all other school subjects and university disciplines. It is, in the words
of Ivor Goodson (1997) and of Hal Lawson (1991), socially constructed. So
when some physical educators bemoan a lack of consensus among their
peers about the nature of their subject, when a number of apparently competing
written definitions of physical education vie for their attention, and
when they point to a proliferation of titles for university departments, they
overlook the enduring commonalities of physical education practice, particularly
in terms of what people say and do in the subject’s name. This
practice conforms to a concept of physical education – what I will in this
book refer to as ‘the idea of the idea of physical education’1 or the id2 – that
has remained more or less intact since around the middle of the last century,
transcends the national borders of economically advanced countries and
other nations that have had some formal association with these countries,
and that has been highly resistant to change.
I use the expressions ‘more or less’ and ‘around’ because each country,
each region, each state and each city can demonstrate differences in terms of
key events and moments, outstanding leaders, local forces and particular
circumstances. For instance, Britain resisted the overt influence of militarism
in favour of a more therapeutic form of physical training in the early 1900s
when it adopted the Swedish system of gymnastics as its preference for elementary schools while in the same period Australia located its elementary
school physical training squarely within a national scheme of compulsory
military cadet training. Or, more precisely, and to make my point, the neonate
Australian states of Victoria and Queensland, the two main sources of
evidence for Schooling Bodies (Kirk, 1998a), adopted the cadet scheme,
though each in its own, inimitable, way. Regardless of where we look and
with only a few exceptions, we will find histories of physical education
dating from the late 1800s to the present that show differences in nuanced
detail. But the differences are for the most part less significant than the
similarities.2
Physical educators, perhaps more than educators in other subjects and
disciplines, have a history of passionate advocacy for their specialism.
Indeed, this characteristic would be one of the things that they have in
common, across nations, cultures, gender and time. Why this is so we can
only speculate; perhaps it has been something to do with living in a marginal
role, as Leo Hendry (1976) put it, as the pre-eminently most embodied subject
of an otherwise mostly cerebral curriculum. Whatever the reason for
their passion, physical educators have typically held strong opinions about
their subject and have felt compelled to express these, sometimes forcefully,
to whomever might listen. This characteristic in itself has been partly
responsible for the enduring but misleading idea that physical education is a
field riven by difference, where disputatious individuals and groups offer
rival philosophies of their subject. At least, the idea has been misleading
since around the 1970s onwards, when the current id2 of physical education
was consolidated in secondary schools and teacher-education colleges. Prior
to the 1970s, as a shift from gymnastics to sport-techniques was bedding
down, the field was indeed riven by noisy disputes, as I pointed out in
Defining Physical Education (Kirk, 1992a). Since that time, a proliferation of
definitions of physical education allied to a rapid expansion of programme
content and considerable variance between schools in terms of what is
offered as physical education have together combined to create the impression
of a field that is amorphous (Proctor, 1984), an impression that succeeds
in masking the commonality of practice within the id2 of physical
education-as-sport-techniques. I suggest too that at a more philosophical
level, many (though not all) disputatious physical educators have misunderstood
the object of their disagreements (Locke, 1998: 248); as one example,
those physical educators who insist that ‘physical education’ and ‘sport’ are
such different phenomena that no definition of physical education should
even refer to sport, as is the case with the National Curriculum Physical
Education in England and Wales (see Green, 1998; Penney and Chandler,
2000: 74), when in fact, as I aim to show, the currently dominant id2 of
physical education has been grounded in a particular version of sport from
at least the 1950s.
So what is the practice of physical education that informs far and wide
this id2 and that is apparently so enduring and resistant to change?

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN SPORT EDUCATION

Pendidikan jasmani dewasa ini telah termarjinalkan dan tereduksi menjadi sebatas pelengkap dalam pembelajaran di sekolah. Di berbagai negara, pendidikan jasmani masih duduk di pinggiran kurikulum dan masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan serta penghargaan sebagai bagian dari pendidikan modern secara umum  (Alexander dan Penney, 2005: 288). Situasi yang terjadi saat ini di sebut sebagai “global crisis of school physical education” (Shehu: 1998: 227).
Pendidikan jasmani tidak memiliki konsep identitas yang mantap. Selama ini,  pendidikan jasmani tidak muncul sebagai entitas yang diperhitungkan. Justru dalam situasi-situasi tertentu seringkali dianggap remeh dan tidak penting. Padahal pendidikan jasmani memiliki potensi untuk menjadi urgen dalam usaha pendidikan nasional.
1
 
Persoalan ini menjadi semakin pelik ketika persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan jasmani selama ini. Beberapa persolaan tersebut adalah (1) adanya desakan untuk penyelenggaraan  mata pelajaran baru semacam informasi teknologi( IT). Hal ini akan membawa pada kritisnya posisi pendidikan jasmani yang dianggap bukan pelajaran" penting" untuk digusur oleh mata pelajaran baru yang urgen untuk diberikan kepada siswa. Anggapan tidak penting ini bukan hanya fenomena di negara berkembang tetapi juga negara maju. Seperti Singapura misalnya, sangat jelas dalam desain sekolah bahwa pendidikan jasmani dan olahraga bukan menjadi hal yang penting. Hal ini berakar pada( 2) skeptisisme outcome pembelajaran pendidikan jasmani. Para pakar pendidikan jasmani di perguruan tinggi terlalu sibuk dengan pernyataan bahwa pendidikan jasmani mampu menjadi alat ampuh dalam membangun karakter bangsa, moral, disiplin dan nilai positif lainnya tetapi lupa meneliti keampuhannya tersebut. Penelitian pendidikan jasmani selama ini terlalu positivistik yang mengumpulkan kemampuannya untuk menggali masalah-masalah tersebut di atas. Dalam konstelasi ini, (3) posisi pendidikan jasmani dalam kurikulum sekolah menjadi rapuh. Sehingga pada gilirannya, (4) krisis identitas profesi pendidikan jasmani tidak terelakkan lagi sebagai bagian dari krisis multidemensional yang dihadapi pendidikan jasmani (Setiawan, 2004: 3)

Para ahli pendidikan jasmani tidak memiliki orientasi yang sama tentang esensi outcome yang diharapkan dari siswa melalui pendidikan jasmani. Setidaknya ada dua salah konsep dalam pendidikan jasmani (Crum, 2003). Pertama, pendidikan jasmani dikonsepsikan secara biologistik. Cara pandang konsep  biologis ini menyatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan pelatihan-dari-jasmani, tubuh merupakan sebuah mesin instrumen. Artinya, tubuh adalah suatu kumpulan instrumen yang memiliki fungsinya masing-masing dan bekerja untuk satu keseluruhan item. Pembelajaran dalam konsep ini akan menekankan pada latihan-latihan fisik, teknik maupun latihan peningkatan kebugaran jasmani.  Tidak ada tugas pembelajaran, tetapi tugas latihan. Guru pendidikan jasmani akan mengevaluasi hasil pembelajaran dengan cara-cara semacam tes kebugaran jasmani (fitnest test).
Cara pandang kedua tentang pendidikan jasmani berasal dari konsep pedagositik, pendidikan-melalui-gerak. Konsep pedagogistik memilki konsep tubuh di mana tubuh sebagai entry ke arah pemikiran, karakter dan kepribadian. Pendidikan jasmani menurut konsep ini adalah mata pelajaran yang berfungsi untuk mendidik atau membentuk individu, bergerak untuk belajar. Output utamanya adalah membentuk pribadi luhur pada siswa. Pertentangan dua cara pandang tersebut diatas, menyebabkan secara umum insan pendidikan jasmani tidak mampu menjawab secara mantap pertanyaan mendasar, yaitu “Hasil akhir seperti apakah yang akan dapat didapatkan siswa dari pembelajaran pendidikan jasmani?
Permasalahan pendidikan jasmani di sekolah telah menjadi pembahasan utama dalam Kongres dunia pendidikan jasmani di Berlin, Jerman pada tahun 1999. Sebagaimana yang dipaparkan Rusli Lutan (1999: 1) bahwa, "Pendidikan jasmani mengalami ancaman dan tekanan yang serius dengan berbagai pertanda seperti dipandang sebagai bidang studi yang di pinggirkan dan tidak penting bagi karier". Marjinalisasi penjas di sekolah, berdasarkan hasil survai pada tingkat global lebih disebabkan beberapa indikasi, seperti yang dikemukakan Rusli Lutan (1999: 1) yaitu: "Mulai dari alokasi waktu yang terbatas, kelangkaan infrastruktur, kualifikasi tenaga yang tidak sesuai, hingga biaya yang sangat minim". Segala permasalahan tersebut di atas jika terakumulasi sesungguhnya akan bermuara pada gagalnya tujuan pendidikan secara umum.
Senada dengan pendapat di atas, Nuruddin (2011) mengungkapkan bahwa pendidikan jasmani saat ini telah tergeser menjadi marginal subject.
Gambaran yang bersifat mendunia adalah (1) penilaian diri rendah dari profesi pendidikan jasmani, (2) alokasi yang lebih besar untuk olahraga kompetitif dan elit dibandingkan dengan untuk keperluan pendidikan jasmani, (3) ketidakmampuan pendidikan jasmani untuk mengkomunikasikan pesan yang bermakna kepada setiap lapisan masyarakat (warga masyarakat pada umumnya, profesional, politisi, pemimpin organisasi, orang tua, dll). Selain itu masih ketimpangan gender, seperti juga partisipasi orang cacat yang masih terbatas karena kekurangan fasilitas dan pemisahan anak normal dan anak cacat menjadi sekolah khusus (luar biasa). Nuruddin (2011: 14)


Guru pendidikan jasmani memberikan sumbangan permasalahan sangat pelik. Guru pendidikan jasmani seringkali terjebak dalam rutinitas kerja dan meninggalkan tanggung jawab profesionalnya. Rutinitas lebih dekat dengan gagasan status quo daripada dinamika perubahan dan kreativitas. Situasi ini kemudian menyebabkan kemandulan kreativitas serta inovasi guru dalam kinerja. Program sertifikasi yang bertujuan meningkatkan kinerja pun belum mampu mengatasi masalah ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan antara sertifikasi guru dan kinerja guru sangat rendah ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,164 (Ikin Solikin: 2010).
Mayoritas guru pendidikan jasmani yang telah merasa puas dengan cara mengajar yang telah rutin dilakukan selama bertahun-tahun dan secara umum kurang dalam pelatihan formal pengembangan kurikulum (Alexander dan Penney, 2005: 287). Rutinitas dan kejenuhan membuat guru sulit berkembang dan mengalami kemacetan dalam pertumbuhan intelektual (sense of personal growth). Akibatnya, pembelajaran pendidikan jasmani dewasa ini cenderung dilaksanakan secara  tradisional. Padahal seharusnya guru harus mampu memahami karakteristik siswa agar dapat menemukan pendekatan pembelajaran yang sesuai.
Guru harus menguasai gaya mengajar yang bervariasi. Mengingat bahwa (a) siswa terdiri atas populasi yang berbeda, (b) pendidikan jasmani memiliki tujuan pembelajaran yang kompleks mulai dari ranah psikomotor, kognitif hingga aspek sosial, (c) materi pembelajaran pendidikan jasmani yang sangat spesifik. Siswa belajar dengan cara yang berbeda, datang dari latar belakang budaya yang berbeda, dan memiliki tingkat pengalaman gerak yang berbeda. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan penanganan dan perbedaan kebutuhan untuk masing-masing siswa. Sayangnya perbedaan-perbedaan ini seringkali diabaikan oleh guru pendidikan jasmani. (Byra: 2006: 449)

Materi pembelajaran pendidikan jasmani terlalu luas namun hanya di pelajari di permukaannya saja. Berbagai cabang olahraga harus dikuasai oleh siswa, namun alokasi waktu yang sedikit dan sarana prasarana yang terbatas menyebabkan pengetahuan siswa tentang sebuah cabang olahraga menjadi sangat kurang. Akibatnya, pendidikan jasmani saat ini bekerja dalam tataran utopis yang mustahil tercapai.
Pendidikan jasmani sesungguhnya merupakan alat pendidikan yang mampu membentuk manusia seutuhnya, dalam pengembangan kemampuan kognitif, afektif, psikomotor dan sosial secara berimbang. Pendidikan jasmani sangat penting diajarkan baik di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, hingga Perguruan Tinggi. Namun seiring banyaknya permasalahan yang ada didalamnya, pendidikan jasmani saat ini seringkali dianggap sebagai pelajaran yang tidak penting.
Pembelajaran penjas di Sekolah Menengah Pertama (SMP) saat ini dilaksanakan secara tidak lengkap dan tidak sesuai karakteristik siswa.  Secara umum karakteristik siswa SMP telah mampu bekerjasama dalam tim dengan baik dan jiwa kepemimpinan mulai muncul. Pada usia ini guru haruslah memaksimalkan potensi yang dimiliki siswa. Namun pada kenyataannya  para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya, atau jika pun melakukan permainan, permainan tersebut tidak sesuai dengan hakikat kemampuan anak serta kehilangan nilai-nilai keolahragaannya, dan yang lebih penting, tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga. (Siedentop, 1994: 116)
Pengelolaan pendidikan jasmani di SMP saat ini belum menunjukkan ke arah yang efektif dan efisien. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan, ditemukan guru pendidikan jasmani dalam kegiatan pembelajaran bersifat monoton, berpusat pada guru, menggunakan pendekatan drill, dan hanya menekankan penguasaan motorik saja sedang aspek lain terabaikan seperti intelektual, mental dan nilai-nilai ke-penjas-an lainnya. Apa yang diterapkan di sekolah dewasa ini lebih condong mengarah ke upaya pengenalan dan penguasaan keterampilan suatu cabang olahraga. Pendekatan yang dipakai oleh guru-guru tak ubahnya seperti seorang melatih suatu cabang olahraga. Keadaan demikian menyebabkan hilangnya peluang emas untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin dari pengajaran penjasorkes sebagai medium pendidikan (Anik Rukmana, 2008). Akibatnya siswa cenderung acuh tak acuh, kurang motivasi dalam belajar, merasa bosan, dan kurang kreatif.
Revitalisasi peran pendidikan jasmani di sekolah haruslah segera dilakukan. Guru pendidikan jasmani haruslah merubah sikap dari konservatif tradisional menjadi progresif futuristik. Salah satu upaya ke arah perbaikan adalah melalui rekayasa perbaikan model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang belum banyak digunakan di Indonesia adalah sport education.
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education  dikembangkan oleh Daryl Siedentop di Amerika. Model ini berorientasi pada nilai rujukan disciplinary mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum sport socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education”. Enam karakteristik model sport education yang seringkali absen dari pembelajaran pendidikan jasmani pada umumnya adalah: musim, anggota team, pertandingan formal, puncak pertandingan, catatan hasil, perayaan hasil kompetisi.
1. Musim (season) merupakan salah satu karakteristik dari model sport education yang di dalamnya terdiri dari musim latihan dan kompetisi serta seringkali diakhiri dengan puncak kompetisi. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya karakteristik ini jarang diperhatikan.
2. Anggota team merupakan karakteristik kedua dari model sport education. Semua siswa harus menjadi salah satu anggota dari tim olahraga dan akan tetap sebagai anggota sampai satu musim selesai. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya anggota tim berubah-ubah dari satu pertemuan ke pertemuan yang lainnya.
3. Kompetisi formal merupakan karakteristik ke tiga dari model sport education. Kompetisi dalam model ini mengandung tiga arti, yaitu: festival, usaha meraih kompetensi, dan mengikuti pertandingan pada level yang berurutan. Kompetisi formal dilakukan secara berselang-seling dengan latihan dan format yang berbeda-beda: misal dua lawan dua, tiga lawan tiga dan seterusnya hingga pada tingkatan yang sesuai dengan kemampuan siswa. Penjadwalan ditetapkan dari sejak awal pembelajaran pendidikan jasmani sehingga siswa mengetahui waktunya secara pasti dan dari sejak kapan mereka harus mempersiapkan diri.
4. Puncak pertandingan merupakan ciri khas dari even olahraga untuk mencari siapa yang terbaik pada musim itu, dan ciri khas ini dijadikan karakteristik ke empat dari model sport education. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya, pertandingan seperti ini sering dilakukan, namun setiap siswa belum tentu masuk anggota team sehingga terkadang lepas dari konteksnya.
5. Catatan hasil merupakan karakteristik ke lima dari model sport education. Catatan ini dilakukan dalam berbagai bentuk, dari mulai dai catatan masuk gol, tendangan ke gawang, kecurangan, kesalahan-kesalahan, dan sebagainya disesuaikan dengan kemampuan siswa. Catatan ini dilakukan siswa dan guru untuk dijadikan feedback baik bagi individu maupun team.
6. Perayaan hasil kompetisi merupakan karakteristik ke enam dari model sport education. Perayaan hasil kompetisi seperti upacaya penyerahan medali berguna untuk meningkatkan makna dari partisipasi dan merupakan aspek sosial dari pengalaman yang dilakukan siswa. (Siedentop: 2004: 5)

Mayoritas guru pendidikan jasmani belum mengenal model sport education dengan baik. Hal ini diakibatkan oleh belum adanya buku panduan pelaksanaan sport education yang mudah dipahami, practicable dan berbahasa Indonesia. Kebanyakan buku panduan pelaksanaan sport education sulit dipahami dan berbahasa Inggris. Situasi tersebut mengakibatkan pelaksanaan sport education di Indonesia belum bisa dilakukan secara massive. Perlu pengenalan model ini kepada guru-guru pendidikan jasmani, serta modifikasi dan pengembangan sebuah buku panduan pelaksanaan dengan kata-kata yang mudah dipahami, sederhana dan practicable,  agar model ini mampu dilaksanakan sebagai model alternatif pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah.

Dari latar belakang masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian pengembangan buku panduan pelaksanaan model pembelajaran sport education adalah sebuah agenda yang mendesak untuk dilakukan. Penulis selanjutnya berinisiatif untuk meneliti tentang “Pengembangan buku panduan pelaksanaan Model Pembelajaran Sport education”.

Senin, 08 Juli 2013

KRISIS PENDIDIKAN JASMANI DITINJAU DARI PERSEPSI FILSAFAT

Sebagai cabang olahraga paling populer, sepakbola Indonesia menjadi ajang pertarungan politik sekaligus bisnis, yang ironisnya justru menghancurkan prestasi. 

Saat hujan deras menyapu stadion, nyanyian penonton semakin keras. “Indonesia! Indonesia!”
Lebih dari 60 ribu orang memadati Stadion Gelora Bung Karno di Jakarta baru-baru ini untuk menyaksikan kesebelasan nasional bertanding. Sementara seratus juta lainnya menonton melalui televisi untuk menyaksikan pertandingan itu, menunjukkan daya tarik sepakbola di Indonesia yang menyaingi fanatisme penonton liga utama sepakbola di Inggris dan Jerman.

Diantara para fans adalah dua orang paling berpengaruh -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan konglomerat yang mempunyai ambisi politik Aburizal Bakrie. Partai mereka telah lama bertarung untuk memperebutkan pengaruh atas cabang olahraga yang dikenal mempunyai penonton yang banyak, sambil berharap ini akan bisa menjadi faktor untuk meraih dukungan dalam pemilihan umum tahun depan.

Bakrie, yang memimpin partai Golkar dan telah menyatakan bakal maju menjadi kandidat presiden, kelihatannya telah merebut kendali atas dua asosiasi sepakbola yang Maret lalu telah menyatu kembali setelah sekian lama berkonflik dan menciptakan dua liga tandingan di Indonesia.

Pengaruh Politik dan Bisnis
Asosiasi itu bertanggungjawab mengontrol pemasaran di stadion dan juga televisi. “Jika anda bisa mengontrol sepakbola, berarti anda sudah setengah jalan untuk menguasai Indonesia,” kata seorang pejabat senior di asosiasi sepakbola Indonesia PSSI. “Tak ada kampanye partai politik yang bisa mendapat kerumunan orang begitu besar, setia, dan bersemangat. Tak heran jika mereka (para politisi-red) mati-matian berusaha mendapatkan ini.“

Bakrie memiliki stasiun TV yang dipakai baik untuk menyiarkan pertandingan sepakbola dan juga mengiklankan ambisinya untuk menjadi presiden. Mengontrol sepakbola akan menyediakan keunggulan di negeri berpenduduk 240 juta, di mana cabang olahraga ini populer meski Indonesia sendiri berada di urutan 170 dari 209 negara dalam Peringkat Dunia FIFA.

Pertandingan-pertandingan akhir pekan biasanya ditonton oleh 52 juta penonton, sementara sekitar 12 juta orang datang ke stadion setiap tahun, kata Widjajanto, kepala pelaksana PT Liga Prima Indonesia Sportindo, yang menyelenggarakan Indonesian Premier League. Liga ini akan bergabung dengan saingannya yakni Liga Super Indonesia (LSI) pada tahun 2014, sesuai kesepakatan yang dilakukan pada Maret lalu.
Sebagai perbandingan, penonton Bundesliga Jerman yang datang ke stadion adalah 13,8 juta orang pada musim 2011-2012, sementara liga Inggris adalah 13,1 juta.

Suara pemilih bukan cuma hadiah. Potensi bisnis, jika cabang olahraga ini kembali ke jalurnya juga lezat. Hak siaran televisi LSI, pada tahun 2011 dijual seharga Rp 1,3 triliun untuk sepuluh tahun. Widjajanto memperkirakan bahwa ketika kedua liga ini disatukan kembali, maka hak siar dan iklan akan senilai paling sedikit 360 juta Dolar Amerika per tahun.

Perpanjangan Perang

“Sangat jelas bahwa itu adalah perpanjangan perang antara Partai Demokrat dengan Golkar untuk Pemilu 2014,“ kata Tjipta Lesmana, seorang pengamat politik dan bekas kepala komite PSSI, tentang perang memperebutkan pengaruh di dalam tubuh asosiasi olahraga itu. “Asosiasi itu telah digunakan untuk kepentingan politik dan kedua pimpinan partai itu menyadari bahwa sepakbola punya pengaruh untuk membantu mereka meraih dukungan.“


Kemenangan Bakrie

Perselisihan membuat sponsor takut dan merusak keuangan klub. Pemerintah juga menghentikan pendanaan APBD yang sebelumnya diterima oleh sejumlah klub. Sebuah kebijakan yang membuat beberapa klub akhirnya bubar.
Cabang olahraga itu menyentuh titik terendah tahun lalu saat seorang pemain asal Paraguay, yang sekian lama tidak dibayar gajinya, tidak mampu membayar biaya pengobatan dan akhirnya meninggal dunia. Media massa melaporkan bahwa beberapa pemain asing turun ke jalan meminta agar gaji mereka juga segera dibayar oleh klub.
Tahun ini, Yudhoyono mengirim pimpinan Partai Demokrat Roy Suryo untuk menyelesaikan kekacauan ini. ”Pemerintah menempatkan saya di sarang singa,” kata Suryo. Dia mengadakan kongres pada Maret lalu yang dihadiri kedua pihak. Puluhan polisi berdiri menjaga kalau-kalau situasi memanas.
Pada akhirnya, perjanjian disepakati dan sepakbola Indonesia kembali berada di bawah kontrol satu tangan, yang kelihatannya kini kembali dimenangkan oleh kubu Bakrie.

Pertarungan Politik di Balik Sepakbola

Sebagai cabang olahraga paling populer, sepakbola Indonesia menjadi ajang pertarungan politik sekaligus bisnis, yang ironisnya justru menghancurkan prestasi. 

Saat hujan deras menyapu stadion, nyanyian penonton semakin keras. “Indonesia! Indonesia!”
Lebih dari 60 ribu orang memadati Stadion Gelora Bung Karno di Jakarta baru-baru ini untuk menyaksikan kesebelasan nasional bertanding. Sementara seratus juta lainnya menonton melalui televisi untuk menyaksikan pertandingan itu, menunjukkan daya tarik sepakbola di Indonesia yang menyaingi fanatisme penonton liga utama sepakbola di Inggris dan Jerman.

Diantara para fans adalah dua orang paling berpengaruh -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan konglomerat yang mempunyai ambisi politik Aburizal Bakrie. Partai mereka telah lama bertarung untuk memperebutkan pengaruh atas cabang olahraga yang dikenal mempunyai penonton yang banyak, sambil berharap ini akan bisa menjadi faktor untuk meraih dukungan dalam pemilihan umum tahun depan.

Bakrie, yang memimpin partai Golkar dan telah menyatakan bakal maju menjadi kandidat presiden, kelihatannya telah merebut kendali atas dua asosiasi sepakbola yang Maret lalu telah menyatu kembali setelah sekian lama berkonflik dan menciptakan dua liga tandingan di Indonesia.

Pengaruh Politik dan Bisnis
Asosiasi itu bertanggungjawab mengontrol pemasaran di stadion dan juga televisi. “Jika anda bisa mengontrol sepakbola, berarti anda sudah setengah jalan untuk menguasai Indonesia,” kata seorang pejabat senior di asosiasi sepakbola Indonesia PSSI. “Tak ada kampanye partai politik yang bisa mendapat kerumunan orang begitu besar, setia, dan bersemangat. Tak heran jika mereka (para politisi-red) mati-matian berusaha mendapatkan ini.“

Bakrie memiliki stasiun TV yang dipakai baik untuk menyiarkan pertandingan sepakbola dan juga mengiklankan ambisinya untuk menjadi presiden. Mengontrol sepakbola akan menyediakan keunggulan di negeri berpenduduk 240 juta, di mana cabang olahraga ini populer meski Indonesia sendiri berada di urutan 170 dari 209 negara dalam Peringkat Dunia FIFA.

Pertandingan-pertandingan akhir pekan biasanya ditonton oleh 52 juta penonton, sementara sekitar 12 juta orang datang ke stadion setiap tahun, kata Widjajanto, kepala pelaksana PT Liga Prima Indonesia Sportindo, yang menyelenggarakan Indonesian Premier League. Liga ini akan bergabung dengan saingannya yakni Liga Super Indonesia (LSI) pada tahun 2014, sesuai kesepakatan yang dilakukan pada Maret lalu.
Sebagai perbandingan, penonton Bundesliga Jerman yang datang ke stadion adalah 13,8 juta orang pada musim 2011-2012, sementara liga Inggris adalah 13,1 juta.

Suara pemilih bukan cuma hadiah. Potensi bisnis, jika cabang olahraga ini kembali ke jalurnya juga lezat. Hak siaran televisi LSI, pada tahun 2011 dijual seharga Rp 1,3 triliun untuk sepuluh tahun. Widjajanto memperkirakan bahwa ketika kedua liga ini disatukan kembali, maka hak siar dan iklan akan senilai paling sedikit 360 juta Dolar Amerika per tahun.

Perpanjangan Perang

“Sangat jelas bahwa itu adalah perpanjangan perang antara Partai Demokrat dengan Golkar untuk Pemilu 2014,“ kata Tjipta Lesmana, seorang pengamat politik dan bekas kepala komite PSSI, tentang perang memperebutkan pengaruh di dalam tubuh asosiasi olahraga itu. “Asosiasi itu telah digunakan untuk kepentingan politik dan kedua pimpinan partai itu menyadari bahwa sepakbola punya pengaruh untuk membantu mereka meraih dukungan.“


Kemenangan Bakrie

Perselisihan membuat sponsor takut dan merusak keuangan klub. Pemerintah juga menghentikan pendanaan APBD yang sebelumnya diterima oleh sejumlah klub. Sebuah kebijakan yang membuat beberapa klub akhirnya bubar.

Cabang olahraga itu menyentuh titik terendah tahun lalu saat seorang pemain asal Paraguay, yang sekian lama tidak dibayar gajinya, tidak mampu membayar biaya pengobatan dan akhirnya meninggal dunia. Media massa melaporkan bahwa beberapa pemain asing turun ke jalan meminta agar gaji mereka juga segera dibayar oleh klub.

Tahun ini, Yudhoyono mengirim pimpinan Partai Demokrat Roy Suryo untuk menyelesaikan kekacauan ini. ”Pemerintah menempatkan saya di sarang singa,” kata Suryo. Dia mengadakan kongres pada Maret lalu yang dihadiri kedua pihak. Puluhan polisi berdiri menjaga kalau-kalau situasi memanas.

 Pada akhirnya, perjanjian disepakati dan sepakbola Indonesia kembali berada di bawah kontrol satu tangan, yang kelihatannya kini kembali dimenangkan oleh kubu Bakrie.

Selasa, 23 April 2013

PENDIDIKAN JASMANI DITENGAH KURIKULUM BARU

Kurikulum baru akan segera diberlakukan mulai bulan Juli tahun 2013. Ada beberapa perubahan yang terjadi dalam kurikulum baru ini, salah satunya adalah penghilangan mata pelajaran IPA dan IPS di Sekolah Dasar kelas bawah, serta penghilangan pelajaran Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) di SMA. Uniknya, Pendidikan Jasmani dan Olahraga yang seringkali dianggap “tidak penting” oleh masyarakat, malah mendapat tambahan “porsi’ jam. Pelajaran penjas di Sekolah Dasar yang dahulunya hanya 3 jam, sekarang bertambah menjadi 4 jam per minggu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “ Ketika pelajaran lain harus di kebiri eksistensinya, lalu apa pentingnya pendidikan jasmani hingga dipertahankan, ?.

Era globalisasi mendesak institusi pendidikan menyiapkan peserta didik yang tangguh secara inteletual. Situasi ini seringkali menggiring opini masyarakat bahwa pelajaran seperti IPA, IPS, Bahasa Inggris atau Matematika jauh lebih penting dibanding Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Seorang wali murid tidak akan merasa khawatir ketika nilai penjas anaknya jelek, namun akan sangat kebingungan saat nilai Matematika anaknya mendapat nilai merah. Ia pun kemudian akan mengusahakan berbagai cara agar nilai Matematika anaknya kembali meningkat.

Situasi diatas secara umum menunjukkan bahwa selama ini pendidikan jasmani tidak muncul sebagai entitas yang diperhitungkan. Justru dalam situasi-situasi tertentu seringkali dianggap remeh dan tidak penting. Keadaan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun merupakan sebuah fenomena global. Di berbagai Negara, Pendidikan jasmani tidak dianggap sebagai bidang studi akademik yang bermakna, bahkan dibeberapa Negara Amerika Latin, Penjas tidak termasuk dalam struktur kurikulum nasional.

Persoalan ini menjadi semakin pelik ketika persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan jasmani selama ini. Beberapa persolaan tersebut adalah (1) adanya desakan untuk penyelenggaraan mata pelajaran baru semacam informasi teknologi( IT). Hal ini akan membawa pada kritisnya posisi pendidikan jasmani yang dianggap bukan pelajaran" penting" untuk digusur oleh mata pelajaran baru yang urgen untuk diberikan kepada siswa. Anggapan tidak penting ini bukan hanya fenomena di negara berkembang tetapi juga negara maju. Seperti Singapura misalnya, sangat jelas dalam desain sekolah bahwa pendidikan jasmani dan olahraga bukan menjadi hal yang penting. Hal ini berakar pada( 2) skeptisisme outcome pembelajaran pendidikan jasmani. Tidak ada manfaat yang jelas dari pelajaran Pendidikan Jasmani. Para pakar pendidikan jasmani di perguruan tinggi terlalu sibuk dengan pernyataan bahwa pendidikan jasmani mampu menjadi alat ampuh dalam membangun karakter bangsa, moral, disiplin dan nilai positif lainnya tetapi lupa meneliti keampuhannya tersebut.. Dalam konstelasi ini, (3) posisi pendidikan jasmani dalam kurikulum sekolah menjadi rapuh. Sehingga pada gilirannya, (4) krisis identitas profesi pendidikan jasmani tidak terelakkan lagi sebagai bagian dari krisis multidemensional yang dihadapi pendidikan jasmani (Setiawan, 2004: 3)

Saat ini pendidikan jasmani masih belum memiliki identitas yang mantap dimasyarakat. Padahal sesungguhnya pendidikan jasmani memiliki potensi untuk menjadi urgen dalam usaha pendidikan nasional. Jika kita berkaca pada perspektif sejarah, maka kita dapati sesungguhnya Pendidikan Jasmani dan Olahraga adalah alat perjuangan. Kala itu, para founding fathers bangsa kita mencoba memanfaatkan olahraga sebagai alat strategis dan sekaligus politis untuk keluar dari rasa rendah diri kolektif sebagai bangsa yang baru merdeka setelah sekian abad terjajah dan terbodohkan secara sistematis. Keyakinan yang berkembang adalah bahwa olahraga dapat menjadi bukti bahwa bangsa kita memiliki potensi dan kemampuan yang sama dengan bangsa lain, yang ditunjukkan melalui bisa berkiprahnya bangsa Indonesia dalam berbagai event olahraga regional dan internasional. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa pendidikan jasmani dan olahraga pada mulanya merupakan alat Negara untuk menciptakan kebanggaan dan identitas nasional.

Namun begitu, sesungguhnya pendidikan jasmani memiliki tugas yang jauh lebih kompleks dibanding sekedar menjadi alat pembibitan atlet usia dini (usaha elitism). Penjas di masa depan seharusnya mampu diarahkan untuk memberi kontribusi positif kepada upaya pengubahan perilaku masyarakat. Melalui sosialisasi dalam pembelajaran penjas tiap hari, siswa diharapkan mampu mengelaborasi konsep gerak yang bermakna pada pengembangan kesadaran ruang (spatial awareness). Dengan kesadaran ruang ini manusia menyadari dirinya (ruang pribadi) dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungannya (ruang publik). Dalam asumsi penulis, kesadaran ruang ini jelas-jelas menjadi dasar dari kesadaran diri, sehingga darinya akan tumbuh sikap “tepa-selira.” Maka tidak diragukan bahwa melalui Penjas pulalah kita dapat menumbuhkan karakter luhur bangsa yang bersifat menyeluruh, seperti sifat jujur, disiplin, kerjasama, sadar lingkungan, serta empati pada orang lain. Konsep pembelajaran karakter yang utuh ini, tentu tak akan bisa kita lakukan di ruang kelas saja.

Penjas adalah sebuah stimulus bagi siswa untuk mampu berperilaku budaya hidup sehat sepanjang hayat. Melalui penjas, siswa akan bergerak dengan pemahaman, filosofi dan teori yang benar. Siswa akan memiliki kesadaran akan kesehatan pribadinya melalui perilaku hidup aktif. Akhirnya, masyarakat akan meninggalkan pola sedentary activity yang lebih mengandalkan peralatan modern yang menyebabkan kita malas bergerak, seperti lift yang membuat kita malas naik tangga, sepeda motor yang menyebabkan kita malas jalan kaki, atau pompa air yang memaksa kita tak perlu lagi menimba air. Pola hidup aktif adalah perimbangan dari perkembangan teknologi yang tak terkendali saat ini. Dan kesadaran akan hidup aktif ini hanya bisa diajarkan melalui pendidikan jasmani.

Akhirnya tibalah pada kesimpulan, bahwa Pendidikan jasmani dan Olahraga adalah pelajaran yang harus terus menjadi bagian dari kurikulum nasional. Pendidikan jasmani sesungguhnya merupakan alat pendidikan yang mampu membentuk manusia seutuhnya, dalam konteks pengembangan kemampuan kognitif, afektif, psikomotor dan sosial secara berimbang. Kebijakan Pemerintah melalui revitalisasi peran pendidikan Jasmani dalam Kurikulum 2013 adalah upaya yang harus kita dukung bersama.

Kamis, 14 Maret 2013

TEORI KOGNITIF DALAM PERKEMBANGAN MOTORIK


Tokoh yang paling intensif melakukan penelitian teori kognitif dalam perkembangan motorik adalah  Jean Piaget. Meskipun fokus riset Piaget berubah-ubah sepanjang karirnya, namun setiap riset memberikan kontribusi yang jelas menuju sebuah teori pentahapan yang tunggal dan terintegrasikan.
Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize
A. TAHAP – TAHAP PERKEMBANGAN
Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
1. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
a. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
b. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
c. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
d. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
f. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra) Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
3. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
a. Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
b. Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
c. Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
d. Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
e. Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
f. Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Informasi Umum Mengenai Tahapan-Tahapan
Keempat tahapan diatas  memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
b. Universal (tidak terkait budaya)
c. Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan
d. Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis
e. Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi)
f. Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif
B. PROSES PERKEMBANGAN
Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya dengan burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung yang baru ini.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label "burung" adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label "burung" adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.
Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya.
C. PENUTUP
Bagi Piaget, belajar yang sebenarnya bukan sesuatu yang diturunkan oleh guru, melainkan sesuatu yang berasal dari dalam diri anak sendiri. Belajar merupakan sebuah proses penyelidikan dan penemuan spontan. Karena itu, seorang guru tidak semestinya memaksakan pengetahuan kepada anak-anak, melainkan harus menemukan materi-materi pelajaran yang bisa menarik dan menantang anak untuk belajar dan kemudian membiarkan mereka menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan cara mereka sendiri. Prinsip ini – menyesuaikan pendidikan dengan tahap perkembangan anak – merupakan sebuah self evident. 
Tugas-tugas perkembangan Piaget menyatakan bahwa anak-anak berkembang dan bergerak lewat sub tahapan, tahapan dan periode dalam sebuah keteraturan. Pentahapan Piaget atas operasi berpikir konkret memiliki nilai yang sangat potensial, dan jelas membutuhkan pengerjaan kembali secara serius. Pentahapan Piaget terlalu berharga untuk diabaikan dalam berbagai bidang kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Anita Woolfolk, Educational Psychology, Active Learning Edition, Bagian Pertama, Edisi Bahasa Indonesia. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar : 2009) hlm. 49-50
Anita Woolfolk. Educational Psychology. Edisi Bahasa Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) hlm. 51
Crain, W. (2007). Teori perkembangan: Konsep dan Aplikasi (Edisi ketiga, terjemahan Yudi Santoso). Yogjakarta: Pustaka Pelajar
Piaget, J. (1977). The Essential Piaget. ed by Howard E. Gruber and J. Jacques Voneche Gruber, New York: Basic Books.