Jumat, 29 November 2013

The social construction of physical education Present, past and future


Subject fields or disciplines have been invented; they are socially constructed
and constituted by humans.
(Lawson, 1991: 286)
We will always be in the middle of the story of our society, and thus judgement
of the significance and value of what has already happened is inseparable
from judgement of the present, and of the feasibility and desirability of
possible futures.
(Chanan and Gilchrist, 1974: 62)
The act of defining physical education goes somewhat beyond the statement
of beliefs, values and aspirations, important though these statements may be.
Physical education is defined by what is said, done and written in its name,
as are all other school subjects and university disciplines. It is, in the words
of Ivor Goodson (1997) and of Hal Lawson (1991), socially constructed. So
when some physical educators bemoan a lack of consensus among their
peers about the nature of their subject, when a number of apparently competing
written definitions of physical education vie for their attention, and
when they point to a proliferation of titles for university departments, they
overlook the enduring commonalities of physical education practice, particularly
in terms of what people say and do in the subject’s name. This
practice conforms to a concept of physical education – what I will in this
book refer to as ‘the idea of the idea of physical education’1 or the id2 – that
has remained more or less intact since around the middle of the last century,
transcends the national borders of economically advanced countries and
other nations that have had some formal association with these countries,
and that has been highly resistant to change.
I use the expressions ‘more or less’ and ‘around’ because each country,
each region, each state and each city can demonstrate differences in terms of
key events and moments, outstanding leaders, local forces and particular
circumstances. For instance, Britain resisted the overt influence of militarism
in favour of a more therapeutic form of physical training in the early 1900s
when it adopted the Swedish system of gymnastics as its preference for elementary schools while in the same period Australia located its elementary
school physical training squarely within a national scheme of compulsory
military cadet training. Or, more precisely, and to make my point, the neonate
Australian states of Victoria and Queensland, the two main sources of
evidence for Schooling Bodies (Kirk, 1998a), adopted the cadet scheme,
though each in its own, inimitable, way. Regardless of where we look and
with only a few exceptions, we will find histories of physical education
dating from the late 1800s to the present that show differences in nuanced
detail. But the differences are for the most part less significant than the
similarities.2
Physical educators, perhaps more than educators in other subjects and
disciplines, have a history of passionate advocacy for their specialism.
Indeed, this characteristic would be one of the things that they have in
common, across nations, cultures, gender and time. Why this is so we can
only speculate; perhaps it has been something to do with living in a marginal
role, as Leo Hendry (1976) put it, as the pre-eminently most embodied subject
of an otherwise mostly cerebral curriculum. Whatever the reason for
their passion, physical educators have typically held strong opinions about
their subject and have felt compelled to express these, sometimes forcefully,
to whomever might listen. This characteristic in itself has been partly
responsible for the enduring but misleading idea that physical education is a
field riven by difference, where disputatious individuals and groups offer
rival philosophies of their subject. At least, the idea has been misleading
since around the 1970s onwards, when the current id2 of physical education
was consolidated in secondary schools and teacher-education colleges. Prior
to the 1970s, as a shift from gymnastics to sport-techniques was bedding
down, the field was indeed riven by noisy disputes, as I pointed out in
Defining Physical Education (Kirk, 1992a). Since that time, a proliferation of
definitions of physical education allied to a rapid expansion of programme
content and considerable variance between schools in terms of what is
offered as physical education have together combined to create the impression
of a field that is amorphous (Proctor, 1984), an impression that succeeds
in masking the commonality of practice within the id2 of physical
education-as-sport-techniques. I suggest too that at a more philosophical
level, many (though not all) disputatious physical educators have misunderstood
the object of their disagreements (Locke, 1998: 248); as one example,
those physical educators who insist that ‘physical education’ and ‘sport’ are
such different phenomena that no definition of physical education should
even refer to sport, as is the case with the National Curriculum Physical
Education in England and Wales (see Green, 1998; Penney and Chandler,
2000: 74), when in fact, as I aim to show, the currently dominant id2 of
physical education has been grounded in a particular version of sport from
at least the 1950s.
So what is the practice of physical education that informs far and wide
this id2 and that is apparently so enduring and resistant to change?

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN SPORT EDUCATION

Pendidikan jasmani dewasa ini telah termarjinalkan dan tereduksi menjadi sebatas pelengkap dalam pembelajaran di sekolah. Di berbagai negara, pendidikan jasmani masih duduk di pinggiran kurikulum dan masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan serta penghargaan sebagai bagian dari pendidikan modern secara umum  (Alexander dan Penney, 2005: 288). Situasi yang terjadi saat ini di sebut sebagai “global crisis of school physical education” (Shehu: 1998: 227).
Pendidikan jasmani tidak memiliki konsep identitas yang mantap. Selama ini,  pendidikan jasmani tidak muncul sebagai entitas yang diperhitungkan. Justru dalam situasi-situasi tertentu seringkali dianggap remeh dan tidak penting. Padahal pendidikan jasmani memiliki potensi untuk menjadi urgen dalam usaha pendidikan nasional.
1
 
Persoalan ini menjadi semakin pelik ketika persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan jasmani selama ini. Beberapa persolaan tersebut adalah (1) adanya desakan untuk penyelenggaraan  mata pelajaran baru semacam informasi teknologi( IT). Hal ini akan membawa pada kritisnya posisi pendidikan jasmani yang dianggap bukan pelajaran" penting" untuk digusur oleh mata pelajaran baru yang urgen untuk diberikan kepada siswa. Anggapan tidak penting ini bukan hanya fenomena di negara berkembang tetapi juga negara maju. Seperti Singapura misalnya, sangat jelas dalam desain sekolah bahwa pendidikan jasmani dan olahraga bukan menjadi hal yang penting. Hal ini berakar pada( 2) skeptisisme outcome pembelajaran pendidikan jasmani. Para pakar pendidikan jasmani di perguruan tinggi terlalu sibuk dengan pernyataan bahwa pendidikan jasmani mampu menjadi alat ampuh dalam membangun karakter bangsa, moral, disiplin dan nilai positif lainnya tetapi lupa meneliti keampuhannya tersebut. Penelitian pendidikan jasmani selama ini terlalu positivistik yang mengumpulkan kemampuannya untuk menggali masalah-masalah tersebut di atas. Dalam konstelasi ini, (3) posisi pendidikan jasmani dalam kurikulum sekolah menjadi rapuh. Sehingga pada gilirannya, (4) krisis identitas profesi pendidikan jasmani tidak terelakkan lagi sebagai bagian dari krisis multidemensional yang dihadapi pendidikan jasmani (Setiawan, 2004: 3)

Para ahli pendidikan jasmani tidak memiliki orientasi yang sama tentang esensi outcome yang diharapkan dari siswa melalui pendidikan jasmani. Setidaknya ada dua salah konsep dalam pendidikan jasmani (Crum, 2003). Pertama, pendidikan jasmani dikonsepsikan secara biologistik. Cara pandang konsep  biologis ini menyatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan pelatihan-dari-jasmani, tubuh merupakan sebuah mesin instrumen. Artinya, tubuh adalah suatu kumpulan instrumen yang memiliki fungsinya masing-masing dan bekerja untuk satu keseluruhan item. Pembelajaran dalam konsep ini akan menekankan pada latihan-latihan fisik, teknik maupun latihan peningkatan kebugaran jasmani.  Tidak ada tugas pembelajaran, tetapi tugas latihan. Guru pendidikan jasmani akan mengevaluasi hasil pembelajaran dengan cara-cara semacam tes kebugaran jasmani (fitnest test).
Cara pandang kedua tentang pendidikan jasmani berasal dari konsep pedagositik, pendidikan-melalui-gerak. Konsep pedagogistik memilki konsep tubuh di mana tubuh sebagai entry ke arah pemikiran, karakter dan kepribadian. Pendidikan jasmani menurut konsep ini adalah mata pelajaran yang berfungsi untuk mendidik atau membentuk individu, bergerak untuk belajar. Output utamanya adalah membentuk pribadi luhur pada siswa. Pertentangan dua cara pandang tersebut diatas, menyebabkan secara umum insan pendidikan jasmani tidak mampu menjawab secara mantap pertanyaan mendasar, yaitu “Hasil akhir seperti apakah yang akan dapat didapatkan siswa dari pembelajaran pendidikan jasmani?
Permasalahan pendidikan jasmani di sekolah telah menjadi pembahasan utama dalam Kongres dunia pendidikan jasmani di Berlin, Jerman pada tahun 1999. Sebagaimana yang dipaparkan Rusli Lutan (1999: 1) bahwa, "Pendidikan jasmani mengalami ancaman dan tekanan yang serius dengan berbagai pertanda seperti dipandang sebagai bidang studi yang di pinggirkan dan tidak penting bagi karier". Marjinalisasi penjas di sekolah, berdasarkan hasil survai pada tingkat global lebih disebabkan beberapa indikasi, seperti yang dikemukakan Rusli Lutan (1999: 1) yaitu: "Mulai dari alokasi waktu yang terbatas, kelangkaan infrastruktur, kualifikasi tenaga yang tidak sesuai, hingga biaya yang sangat minim". Segala permasalahan tersebut di atas jika terakumulasi sesungguhnya akan bermuara pada gagalnya tujuan pendidikan secara umum.
Senada dengan pendapat di atas, Nuruddin (2011) mengungkapkan bahwa pendidikan jasmani saat ini telah tergeser menjadi marginal subject.
Gambaran yang bersifat mendunia adalah (1) penilaian diri rendah dari profesi pendidikan jasmani, (2) alokasi yang lebih besar untuk olahraga kompetitif dan elit dibandingkan dengan untuk keperluan pendidikan jasmani, (3) ketidakmampuan pendidikan jasmani untuk mengkomunikasikan pesan yang bermakna kepada setiap lapisan masyarakat (warga masyarakat pada umumnya, profesional, politisi, pemimpin organisasi, orang tua, dll). Selain itu masih ketimpangan gender, seperti juga partisipasi orang cacat yang masih terbatas karena kekurangan fasilitas dan pemisahan anak normal dan anak cacat menjadi sekolah khusus (luar biasa). Nuruddin (2011: 14)


Guru pendidikan jasmani memberikan sumbangan permasalahan sangat pelik. Guru pendidikan jasmani seringkali terjebak dalam rutinitas kerja dan meninggalkan tanggung jawab profesionalnya. Rutinitas lebih dekat dengan gagasan status quo daripada dinamika perubahan dan kreativitas. Situasi ini kemudian menyebabkan kemandulan kreativitas serta inovasi guru dalam kinerja. Program sertifikasi yang bertujuan meningkatkan kinerja pun belum mampu mengatasi masalah ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan antara sertifikasi guru dan kinerja guru sangat rendah ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,164 (Ikin Solikin: 2010).
Mayoritas guru pendidikan jasmani yang telah merasa puas dengan cara mengajar yang telah rutin dilakukan selama bertahun-tahun dan secara umum kurang dalam pelatihan formal pengembangan kurikulum (Alexander dan Penney, 2005: 287). Rutinitas dan kejenuhan membuat guru sulit berkembang dan mengalami kemacetan dalam pertumbuhan intelektual (sense of personal growth). Akibatnya, pembelajaran pendidikan jasmani dewasa ini cenderung dilaksanakan secara  tradisional. Padahal seharusnya guru harus mampu memahami karakteristik siswa agar dapat menemukan pendekatan pembelajaran yang sesuai.
Guru harus menguasai gaya mengajar yang bervariasi. Mengingat bahwa (a) siswa terdiri atas populasi yang berbeda, (b) pendidikan jasmani memiliki tujuan pembelajaran yang kompleks mulai dari ranah psikomotor, kognitif hingga aspek sosial, (c) materi pembelajaran pendidikan jasmani yang sangat spesifik. Siswa belajar dengan cara yang berbeda, datang dari latar belakang budaya yang berbeda, dan memiliki tingkat pengalaman gerak yang berbeda. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan penanganan dan perbedaan kebutuhan untuk masing-masing siswa. Sayangnya perbedaan-perbedaan ini seringkali diabaikan oleh guru pendidikan jasmani. (Byra: 2006: 449)

Materi pembelajaran pendidikan jasmani terlalu luas namun hanya di pelajari di permukaannya saja. Berbagai cabang olahraga harus dikuasai oleh siswa, namun alokasi waktu yang sedikit dan sarana prasarana yang terbatas menyebabkan pengetahuan siswa tentang sebuah cabang olahraga menjadi sangat kurang. Akibatnya, pendidikan jasmani saat ini bekerja dalam tataran utopis yang mustahil tercapai.
Pendidikan jasmani sesungguhnya merupakan alat pendidikan yang mampu membentuk manusia seutuhnya, dalam pengembangan kemampuan kognitif, afektif, psikomotor dan sosial secara berimbang. Pendidikan jasmani sangat penting diajarkan baik di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, hingga Perguruan Tinggi. Namun seiring banyaknya permasalahan yang ada didalamnya, pendidikan jasmani saat ini seringkali dianggap sebagai pelajaran yang tidak penting.
Pembelajaran penjas di Sekolah Menengah Pertama (SMP) saat ini dilaksanakan secara tidak lengkap dan tidak sesuai karakteristik siswa.  Secara umum karakteristik siswa SMP telah mampu bekerjasama dalam tim dengan baik dan jiwa kepemimpinan mulai muncul. Pada usia ini guru haruslah memaksimalkan potensi yang dimiliki siswa. Namun pada kenyataannya  para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya, atau jika pun melakukan permainan, permainan tersebut tidak sesuai dengan hakikat kemampuan anak serta kehilangan nilai-nilai keolahragaannya, dan yang lebih penting, tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga. (Siedentop, 1994: 116)
Pengelolaan pendidikan jasmani di SMP saat ini belum menunjukkan ke arah yang efektif dan efisien. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan, ditemukan guru pendidikan jasmani dalam kegiatan pembelajaran bersifat monoton, berpusat pada guru, menggunakan pendekatan drill, dan hanya menekankan penguasaan motorik saja sedang aspek lain terabaikan seperti intelektual, mental dan nilai-nilai ke-penjas-an lainnya. Apa yang diterapkan di sekolah dewasa ini lebih condong mengarah ke upaya pengenalan dan penguasaan keterampilan suatu cabang olahraga. Pendekatan yang dipakai oleh guru-guru tak ubahnya seperti seorang melatih suatu cabang olahraga. Keadaan demikian menyebabkan hilangnya peluang emas untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin dari pengajaran penjasorkes sebagai medium pendidikan (Anik Rukmana, 2008). Akibatnya siswa cenderung acuh tak acuh, kurang motivasi dalam belajar, merasa bosan, dan kurang kreatif.
Revitalisasi peran pendidikan jasmani di sekolah haruslah segera dilakukan. Guru pendidikan jasmani haruslah merubah sikap dari konservatif tradisional menjadi progresif futuristik. Salah satu upaya ke arah perbaikan adalah melalui rekayasa perbaikan model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang belum banyak digunakan di Indonesia adalah sport education.
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education  dikembangkan oleh Daryl Siedentop di Amerika. Model ini berorientasi pada nilai rujukan disciplinary mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum sport socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education”. Enam karakteristik model sport education yang seringkali absen dari pembelajaran pendidikan jasmani pada umumnya adalah: musim, anggota team, pertandingan formal, puncak pertandingan, catatan hasil, perayaan hasil kompetisi.
1. Musim (season) merupakan salah satu karakteristik dari model sport education yang di dalamnya terdiri dari musim latihan dan kompetisi serta seringkali diakhiri dengan puncak kompetisi. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya karakteristik ini jarang diperhatikan.
2. Anggota team merupakan karakteristik kedua dari model sport education. Semua siswa harus menjadi salah satu anggota dari tim olahraga dan akan tetap sebagai anggota sampai satu musim selesai. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya anggota tim berubah-ubah dari satu pertemuan ke pertemuan yang lainnya.
3. Kompetisi formal merupakan karakteristik ke tiga dari model sport education. Kompetisi dalam model ini mengandung tiga arti, yaitu: festival, usaha meraih kompetensi, dan mengikuti pertandingan pada level yang berurutan. Kompetisi formal dilakukan secara berselang-seling dengan latihan dan format yang berbeda-beda: misal dua lawan dua, tiga lawan tiga dan seterusnya hingga pada tingkatan yang sesuai dengan kemampuan siswa. Penjadwalan ditetapkan dari sejak awal pembelajaran pendidikan jasmani sehingga siswa mengetahui waktunya secara pasti dan dari sejak kapan mereka harus mempersiapkan diri.
4. Puncak pertandingan merupakan ciri khas dari even olahraga untuk mencari siapa yang terbaik pada musim itu, dan ciri khas ini dijadikan karakteristik ke empat dari model sport education. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya, pertandingan seperti ini sering dilakukan, namun setiap siswa belum tentu masuk anggota team sehingga terkadang lepas dari konteksnya.
5. Catatan hasil merupakan karakteristik ke lima dari model sport education. Catatan ini dilakukan dalam berbagai bentuk, dari mulai dai catatan masuk gol, tendangan ke gawang, kecurangan, kesalahan-kesalahan, dan sebagainya disesuaikan dengan kemampuan siswa. Catatan ini dilakukan siswa dan guru untuk dijadikan feedback baik bagi individu maupun team.
6. Perayaan hasil kompetisi merupakan karakteristik ke enam dari model sport education. Perayaan hasil kompetisi seperti upacaya penyerahan medali berguna untuk meningkatkan makna dari partisipasi dan merupakan aspek sosial dari pengalaman yang dilakukan siswa. (Siedentop: 2004: 5)

Mayoritas guru pendidikan jasmani belum mengenal model sport education dengan baik. Hal ini diakibatkan oleh belum adanya buku panduan pelaksanaan sport education yang mudah dipahami, practicable dan berbahasa Indonesia. Kebanyakan buku panduan pelaksanaan sport education sulit dipahami dan berbahasa Inggris. Situasi tersebut mengakibatkan pelaksanaan sport education di Indonesia belum bisa dilakukan secara massive. Perlu pengenalan model ini kepada guru-guru pendidikan jasmani, serta modifikasi dan pengembangan sebuah buku panduan pelaksanaan dengan kata-kata yang mudah dipahami, sederhana dan practicable,  agar model ini mampu dilaksanakan sebagai model alternatif pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah.

Dari latar belakang masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian pengembangan buku panduan pelaksanaan model pembelajaran sport education adalah sebuah agenda yang mendesak untuk dilakukan. Penulis selanjutnya berinisiatif untuk meneliti tentang “Pengembangan buku panduan pelaksanaan Model Pembelajaran Sport education”.