Senin, 08 Juli 2013

KRISIS PENDIDIKAN JASMANI DITINJAU DARI PERSEPSI FILSAFAT

Sebagai cabang olahraga paling populer, sepakbola Indonesia menjadi ajang pertarungan politik sekaligus bisnis, yang ironisnya justru menghancurkan prestasi. 

Saat hujan deras menyapu stadion, nyanyian penonton semakin keras. “Indonesia! Indonesia!”
Lebih dari 60 ribu orang memadati Stadion Gelora Bung Karno di Jakarta baru-baru ini untuk menyaksikan kesebelasan nasional bertanding. Sementara seratus juta lainnya menonton melalui televisi untuk menyaksikan pertandingan itu, menunjukkan daya tarik sepakbola di Indonesia yang menyaingi fanatisme penonton liga utama sepakbola di Inggris dan Jerman.

Diantara para fans adalah dua orang paling berpengaruh -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan konglomerat yang mempunyai ambisi politik Aburizal Bakrie. Partai mereka telah lama bertarung untuk memperebutkan pengaruh atas cabang olahraga yang dikenal mempunyai penonton yang banyak, sambil berharap ini akan bisa menjadi faktor untuk meraih dukungan dalam pemilihan umum tahun depan.

Bakrie, yang memimpin partai Golkar dan telah menyatakan bakal maju menjadi kandidat presiden, kelihatannya telah merebut kendali atas dua asosiasi sepakbola yang Maret lalu telah menyatu kembali setelah sekian lama berkonflik dan menciptakan dua liga tandingan di Indonesia.

Pengaruh Politik dan Bisnis
Asosiasi itu bertanggungjawab mengontrol pemasaran di stadion dan juga televisi. “Jika anda bisa mengontrol sepakbola, berarti anda sudah setengah jalan untuk menguasai Indonesia,” kata seorang pejabat senior di asosiasi sepakbola Indonesia PSSI. “Tak ada kampanye partai politik yang bisa mendapat kerumunan orang begitu besar, setia, dan bersemangat. Tak heran jika mereka (para politisi-red) mati-matian berusaha mendapatkan ini.“

Bakrie memiliki stasiun TV yang dipakai baik untuk menyiarkan pertandingan sepakbola dan juga mengiklankan ambisinya untuk menjadi presiden. Mengontrol sepakbola akan menyediakan keunggulan di negeri berpenduduk 240 juta, di mana cabang olahraga ini populer meski Indonesia sendiri berada di urutan 170 dari 209 negara dalam Peringkat Dunia FIFA.

Pertandingan-pertandingan akhir pekan biasanya ditonton oleh 52 juta penonton, sementara sekitar 12 juta orang datang ke stadion setiap tahun, kata Widjajanto, kepala pelaksana PT Liga Prima Indonesia Sportindo, yang menyelenggarakan Indonesian Premier League. Liga ini akan bergabung dengan saingannya yakni Liga Super Indonesia (LSI) pada tahun 2014, sesuai kesepakatan yang dilakukan pada Maret lalu.
Sebagai perbandingan, penonton Bundesliga Jerman yang datang ke stadion adalah 13,8 juta orang pada musim 2011-2012, sementara liga Inggris adalah 13,1 juta.

Suara pemilih bukan cuma hadiah. Potensi bisnis, jika cabang olahraga ini kembali ke jalurnya juga lezat. Hak siaran televisi LSI, pada tahun 2011 dijual seharga Rp 1,3 triliun untuk sepuluh tahun. Widjajanto memperkirakan bahwa ketika kedua liga ini disatukan kembali, maka hak siar dan iklan akan senilai paling sedikit 360 juta Dolar Amerika per tahun.

Perpanjangan Perang

“Sangat jelas bahwa itu adalah perpanjangan perang antara Partai Demokrat dengan Golkar untuk Pemilu 2014,“ kata Tjipta Lesmana, seorang pengamat politik dan bekas kepala komite PSSI, tentang perang memperebutkan pengaruh di dalam tubuh asosiasi olahraga itu. “Asosiasi itu telah digunakan untuk kepentingan politik dan kedua pimpinan partai itu menyadari bahwa sepakbola punya pengaruh untuk membantu mereka meraih dukungan.“


Kemenangan Bakrie

Perselisihan membuat sponsor takut dan merusak keuangan klub. Pemerintah juga menghentikan pendanaan APBD yang sebelumnya diterima oleh sejumlah klub. Sebuah kebijakan yang membuat beberapa klub akhirnya bubar.
Cabang olahraga itu menyentuh titik terendah tahun lalu saat seorang pemain asal Paraguay, yang sekian lama tidak dibayar gajinya, tidak mampu membayar biaya pengobatan dan akhirnya meninggal dunia. Media massa melaporkan bahwa beberapa pemain asing turun ke jalan meminta agar gaji mereka juga segera dibayar oleh klub.
Tahun ini, Yudhoyono mengirim pimpinan Partai Demokrat Roy Suryo untuk menyelesaikan kekacauan ini. ”Pemerintah menempatkan saya di sarang singa,” kata Suryo. Dia mengadakan kongres pada Maret lalu yang dihadiri kedua pihak. Puluhan polisi berdiri menjaga kalau-kalau situasi memanas.
Pada akhirnya, perjanjian disepakati dan sepakbola Indonesia kembali berada di bawah kontrol satu tangan, yang kelihatannya kini kembali dimenangkan oleh kubu Bakrie.

Pertarungan Politik di Balik Sepakbola

Sebagai cabang olahraga paling populer, sepakbola Indonesia menjadi ajang pertarungan politik sekaligus bisnis, yang ironisnya justru menghancurkan prestasi. 

Saat hujan deras menyapu stadion, nyanyian penonton semakin keras. “Indonesia! Indonesia!”
Lebih dari 60 ribu orang memadati Stadion Gelora Bung Karno di Jakarta baru-baru ini untuk menyaksikan kesebelasan nasional bertanding. Sementara seratus juta lainnya menonton melalui televisi untuk menyaksikan pertandingan itu, menunjukkan daya tarik sepakbola di Indonesia yang menyaingi fanatisme penonton liga utama sepakbola di Inggris dan Jerman.

Diantara para fans adalah dua orang paling berpengaruh -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan konglomerat yang mempunyai ambisi politik Aburizal Bakrie. Partai mereka telah lama bertarung untuk memperebutkan pengaruh atas cabang olahraga yang dikenal mempunyai penonton yang banyak, sambil berharap ini akan bisa menjadi faktor untuk meraih dukungan dalam pemilihan umum tahun depan.

Bakrie, yang memimpin partai Golkar dan telah menyatakan bakal maju menjadi kandidat presiden, kelihatannya telah merebut kendali atas dua asosiasi sepakbola yang Maret lalu telah menyatu kembali setelah sekian lama berkonflik dan menciptakan dua liga tandingan di Indonesia.

Pengaruh Politik dan Bisnis
Asosiasi itu bertanggungjawab mengontrol pemasaran di stadion dan juga televisi. “Jika anda bisa mengontrol sepakbola, berarti anda sudah setengah jalan untuk menguasai Indonesia,” kata seorang pejabat senior di asosiasi sepakbola Indonesia PSSI. “Tak ada kampanye partai politik yang bisa mendapat kerumunan orang begitu besar, setia, dan bersemangat. Tak heran jika mereka (para politisi-red) mati-matian berusaha mendapatkan ini.“

Bakrie memiliki stasiun TV yang dipakai baik untuk menyiarkan pertandingan sepakbola dan juga mengiklankan ambisinya untuk menjadi presiden. Mengontrol sepakbola akan menyediakan keunggulan di negeri berpenduduk 240 juta, di mana cabang olahraga ini populer meski Indonesia sendiri berada di urutan 170 dari 209 negara dalam Peringkat Dunia FIFA.

Pertandingan-pertandingan akhir pekan biasanya ditonton oleh 52 juta penonton, sementara sekitar 12 juta orang datang ke stadion setiap tahun, kata Widjajanto, kepala pelaksana PT Liga Prima Indonesia Sportindo, yang menyelenggarakan Indonesian Premier League. Liga ini akan bergabung dengan saingannya yakni Liga Super Indonesia (LSI) pada tahun 2014, sesuai kesepakatan yang dilakukan pada Maret lalu.
Sebagai perbandingan, penonton Bundesliga Jerman yang datang ke stadion adalah 13,8 juta orang pada musim 2011-2012, sementara liga Inggris adalah 13,1 juta.

Suara pemilih bukan cuma hadiah. Potensi bisnis, jika cabang olahraga ini kembali ke jalurnya juga lezat. Hak siaran televisi LSI, pada tahun 2011 dijual seharga Rp 1,3 triliun untuk sepuluh tahun. Widjajanto memperkirakan bahwa ketika kedua liga ini disatukan kembali, maka hak siar dan iklan akan senilai paling sedikit 360 juta Dolar Amerika per tahun.

Perpanjangan Perang

“Sangat jelas bahwa itu adalah perpanjangan perang antara Partai Demokrat dengan Golkar untuk Pemilu 2014,“ kata Tjipta Lesmana, seorang pengamat politik dan bekas kepala komite PSSI, tentang perang memperebutkan pengaruh di dalam tubuh asosiasi olahraga itu. “Asosiasi itu telah digunakan untuk kepentingan politik dan kedua pimpinan partai itu menyadari bahwa sepakbola punya pengaruh untuk membantu mereka meraih dukungan.“


Kemenangan Bakrie

Perselisihan membuat sponsor takut dan merusak keuangan klub. Pemerintah juga menghentikan pendanaan APBD yang sebelumnya diterima oleh sejumlah klub. Sebuah kebijakan yang membuat beberapa klub akhirnya bubar.

Cabang olahraga itu menyentuh titik terendah tahun lalu saat seorang pemain asal Paraguay, yang sekian lama tidak dibayar gajinya, tidak mampu membayar biaya pengobatan dan akhirnya meninggal dunia. Media massa melaporkan bahwa beberapa pemain asing turun ke jalan meminta agar gaji mereka juga segera dibayar oleh klub.

Tahun ini, Yudhoyono mengirim pimpinan Partai Demokrat Roy Suryo untuk menyelesaikan kekacauan ini. ”Pemerintah menempatkan saya di sarang singa,” kata Suryo. Dia mengadakan kongres pada Maret lalu yang dihadiri kedua pihak. Puluhan polisi berdiri menjaga kalau-kalau situasi memanas.

 Pada akhirnya, perjanjian disepakati dan sepakbola Indonesia kembali berada di bawah kontrol satu tangan, yang kelihatannya kini kembali dimenangkan oleh kubu Bakrie.