Tempo hari saat nongkrong di dekat rektorat, seorang teman bertanya,” bagaimana kira-kira perang modern akan berlangsung?” Penggunaan satelit, komputer, penentuan posisi dan peluncuran rudal bisa dilakukan dari satu tempat. Ini berarti tak perlu boros infanteri dan barangkali yang berperang nantinya adalah mereka yang berada di belakang komputer?”
Aku menjawab, “bukankah olimpiade itu adalah sebuah model perang yang benar-benar sangat modern?”
Olimpiade baru saja usai. Disana kita di suguhi pertarungan-pertarungan menarik di berbagai cabang olahraga. Uniknya di tabel perolehan medali, ada dua negara yang memimpin klasemen yakni Amerika dan China. Dua Negara yang nyatanya juga merupakan kekuatan ekonomi dan politik terbesar dunia saat ini.
Anda boleh tak suka saat olahraga dikait-kaitkan dengan sebuah visi politik. Diakui atau tidak, olahraga tak akan pernah bisa lepas dari itu. Perayaan nasionalisme adalah lencana yang membuat Olimpiade punya daya pukau yang mencengkau. Itu sebabnya lagu nasional jadi pembuka yang wajib ada di setiap pertandingan, pun saat penyerahan medali.
Maka dengan sebuah analisis sederhana bolehlah kita mengambil sebuah kesimpulan bahwa olimpiade adalah sebuah arena pamer kekuatan ekonomi dan politik negara-negara adidaya. Dalam banyak kasus memang kita jumpai bahwa negara yang secara ekonomi maju, maka perkembangan olahraganya juga mengalami kemajuan yang sangat berarti. Lihatlah bagiamana perkembangan olahraga di Amerika, Australia, Perancis, Inggris, Jepang, China dan sebagainya yang telah berkembang begitu pesat. Dari segi prestasi, terutama dalam olimpiade , sejumlah negara tersebut telah menempatkan dirinya di papan atas. Dari segi perspektif tingkat kesehatan masyarakat yang diukur dari angka kematian bayi, angka harapan hidup, dan sebagainya, negara-negara maju juga lebih unggul.
Ketika pada Piala Dunia 1990 Maradona diangkat oleh Presiden Menem sebagai duta resmi Argentina, maka sang legenda sepak bola Argentina itu menjadi symbol konkret identifikasi antara olahraga dan politik. Pertalian erat antara olahraga dan politik bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, bukan hanya dengan politik. Sebab olahraga memiliki multimakna; sosial, ekonomi, politik atau ideologi, dan kesehatan.
Diktator Adolf Hitler juga pernah memanfaatkan Federasi Sepak Bola (DFB) untuk propaganda politik Nazi. Dia mengatakan, ”Orang besar adalah pelari marathon sejarah”. Diktator lainnya, Bennito Mussolini, merasa penting dirinya ditampilkan dalam pose-pose olahraga, seperti sedang bermain anggar, tenis, atau naik kuda. Sebab, menyitir I Bambang Sugiarto (2000), bagi Mussolini, seorang politikus sejati haruslah serentak merupakan simbol kejantanan sportif. Sedangkan bagi kaum sosialis, olahraga adalah manifestasi penting semangat ideal kolektivisme yang rasional dan higienis.
Olahraga dalam perkembangannya bukan hanya sebagai alat politik atau legitimasi politik kekuasaan –seperti diktator Franco di Spanyol yang konon pernah memanfaatkan klub sepak bola Real Madrid sebagai alat legitimasi kekuasaannya, Mussolini pada Piala Dunia 1934 yang memaksakan Piala Dunia harus dilaksanakan di Italia dan Negara nya harus ‘menang atau mati’.
Jika kita melihat dalam tataran yang lebih sempit, sesungguhnya petarungan politik dan ekonomi lewat olahraga tidak hanya terjadi pada level antar Negara saja. Pekan olahraga Nasional (PON) merupakan ajang pamer kekuatan antar daerah, pun pada pekan olahraga provinsi (porprov) yang menjadi media persaingan antar kabupaten/kota. Jadi, dari pertalian antara olahraga dan politik atau ideologi, sudah tampak betapa olahraga dalam peradaban modern, bukan lagi sekadar kegiatan yang netral, melainkan kental sekali kandungan multimakna itu. Kita tak bias lepas dari itu, dan yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisir efek negative yang ditimbulkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar