Pendidikan jasmani dewasa ini telah
termarjinalkan dan tereduksi menjadi sebatas pelengkap dalam pembelajaran di
sekolah.
Di berbagai negara, pendidikan jasmani masih duduk di pinggiran kurikulum dan
masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan serta penghargaan sebagai bagian
dari pendidikan modern secara umum
(Alexander dan Penney, 2005: 288). Situasi yang terjadi saat ini di sebut sebagai “global crisis of school physical education”
(Shehu: 1998: 227).
Pendidikan
jasmani tidak memiliki konsep identitas yang mantap. Selama ini, pendidikan jasmani tidak muncul sebagai
entitas yang diperhitungkan. Justru dalam situasi-situasi tertentu seringkali dianggap
remeh dan tidak
penting.
Padahal pendidikan jasmani memiliki potensi untuk menjadi urgen dalam usaha pendidikan nasional.
|
Persoalan
ini menjadi semakin pelik ketika persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan
jasmani selama ini. Beberapa persolaan tersebut adalah (1) adanya desakan untuk
penyelenggaraan mata pelajaran baru
semacam informasi teknologi( IT). Hal ini akan membawa pada kritisnya posisi
pendidikan jasmani yang dianggap bukan pelajaran" penting" untuk
digusur oleh mata pelajaran baru yang urgen untuk diberikan kepada siswa.
Anggapan tidak penting ini bukan hanya fenomena di negara berkembang tetapi
juga negara maju. Seperti Singapura misalnya, sangat jelas dalam desain sekolah
bahwa pendidikan jasmani dan olahraga bukan menjadi hal yang penting. Hal ini
berakar pada( 2) skeptisisme outcome pembelajaran
pendidikan jasmani. Para pakar pendidikan jasmani di perguruan tinggi terlalu sibuk
dengan pernyataan bahwa pendidikan jasmani mampu menjadi alat ampuh dalam
membangun karakter bangsa, moral, disiplin dan nilai positif lainnya tetapi
lupa meneliti keampuhannya tersebut. Penelitian pendidikan jasmani selama ini
terlalu positivistik yang mengumpulkan kemampuannya untuk menggali
masalah-masalah tersebut di atas. Dalam konstelasi ini, (3) posisi pendidikan
jasmani dalam kurikulum sekolah menjadi rapuh. Sehingga pada gilirannya, (4)
krisis identitas profesi pendidikan jasmani tidak terelakkan lagi sebagai
bagian dari krisis multidemensional yang dihadapi pendidikan jasmani (Setiawan,
2004: 3)
Para ahli pendidikan jasmani tidak memiliki orientasi
yang sama tentang esensi outcome
yang diharapkan dari siswa melalui pendidikan jasmani. Setidaknya ada dua salah konsep
dalam pendidikan jasmani (Crum, 2003). Pertama, pendidikan jasmani
dikonsepsikan secara biologistik.
Cara
pandang konsep biologis ini menyatakan bahwa pendidikan
jasmani merupakan pelatihan-dari-jasmani, tubuh
merupakan sebuah mesin instrumen. Artinya, tubuh adalah suatu kumpulan
instrumen yang memiliki fungsinya masing-masing dan bekerja untuk satu
keseluruhan item.
Pembelajaran dalam konsep ini akan menekankan pada latihan-latihan fisik,
teknik maupun latihan peningkatan kebugaran jasmani. Tidak
ada tugas pembelajaran, tetapi tugas latihan. Guru pendidikan
jasmani akan mengevaluasi hasil pembelajaran dengan cara-cara semacam tes
kebugaran jasmani (fitnest test).
Cara pandang kedua tentang pendidikan jasmani berasal
dari konsep pedagositik, pendidikan-melalui-gerak. Konsep pedagogistik memilki konsep
tubuh di mana tubuh sebagai entry ke
arah pemikiran, karakter dan kepribadian. Pendidikan jasmani menurut konsep ini
adalah mata pelajaran yang berfungsi untuk mendidik atau membentuk individu, bergerak untuk belajar. Output utamanya adalah membentuk pribadi
luhur pada siswa. Pertentangan dua cara pandang tersebut
diatas, menyebabkan secara umum
insan pendidikan jasmani tidak mampu menjawab secara mantap
pertanyaan mendasar, yaitu “Hasil
akhir
seperti apakah yang akan dapat didapatkan siswa dari pembelajaran pendidikan
jasmani?”
Permasalahan pendidikan jasmani di sekolah telah
menjadi pembahasan utama dalam Kongres dunia pendidikan jasmani di Berlin,
Jerman pada tahun 1999. Sebagaimana yang dipaparkan Rusli Lutan (1999: 1)
bahwa, "Pendidikan jasmani mengalami ancaman dan tekanan yang serius
dengan berbagai pertanda seperti dipandang sebagai bidang studi yang di pinggirkan
dan tidak penting bagi karier". Marjinalisasi penjas di sekolah, berdasarkan hasil survai
pada tingkat global lebih disebabkan beberapa indikasi, seperti yang dikemukakan
Rusli Lutan (1999: 1) yaitu: "Mulai dari alokasi waktu yang terbatas,
kelangkaan infrastruktur, kualifikasi tenaga yang tidak sesuai, hingga biaya
yang sangat minim". Segala permasalahan tersebut di atas jika terakumulasi
sesungguhnya akan bermuara pada gagalnya tujuan pendidikan secara umum.
Senada
dengan pendapat di atas, Nuruddin (2011) mengungkapkan bahwa pendidikan jasmani
saat ini telah tergeser menjadi marginal
subject.
Gambaran yang bersifat mendunia adalah (1) penilaian
diri rendah dari profesi pendidikan jasmani, (2) alokasi yang lebih besar untuk
olahraga kompetitif dan elit dibandingkan dengan untuk keperluan pendidikan
jasmani, (3) ketidakmampuan pendidikan jasmani untuk mengkomunikasikan pesan
yang bermakna kepada setiap lapisan masyarakat (warga masyarakat pada umumnya,
profesional, politisi, pemimpin organisasi, orang tua, dll). Selain itu masih
ketimpangan gender, seperti juga partisipasi orang cacat yang masih terbatas
karena kekurangan fasilitas dan pemisahan anak normal dan anak cacat menjadi
sekolah khusus (luar biasa). Nuruddin (2011: 14)
Guru pendidikan jasmani memberikan sumbangan
permasalahan sangat pelik. Guru pendidikan jasmani seringkali terjebak dalam
rutinitas kerja dan meninggalkan tanggung jawab
profesionalnya. Rutinitas
lebih dekat dengan gagasan status quo
daripada dinamika perubahan dan kreativitas. Situasi ini kemudian menyebabkan kemandulan
kreativitas serta inovasi guru dalam kinerja. Program
sertifikasi yang bertujuan meningkatkan kinerja pun belum mampu mengatasi
masalah ini. Hasil
penelitian menunjukan bahwa hubungan antara sertifikasi guru dan kinerja guru
sangat rendah ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,164
(Ikin Solikin: 2010).
Mayoritas guru pendidikan jasmani yang telah merasa puas dengan
cara mengajar yang telah rutin dilakukan selama bertahun-tahun
dan secara umum kurang dalam pelatihan formal pengembangan kurikulum (Alexander
dan Penney, 2005: 287). Rutinitas
dan kejenuhan membuat guru sulit berkembang dan mengalami kemacetan dalam
pertumbuhan intelektual (sense of
personal growth). Akibatnya, pembelajaran pendidikan jasmani dewasa ini
cenderung dilaksanakan secara tradisional.
Padahal seharusnya guru harus mampu memahami karakteristik siswa agar dapat
menemukan pendekatan pembelajaran yang sesuai.
Guru
harus menguasai gaya mengajar yang bervariasi. Mengingat bahwa (a) siswa
terdiri atas populasi yang berbeda, (b) pendidikan jasmani memiliki tujuan
pembelajaran yang kompleks mulai dari ranah psikomotor, kognitif hingga aspek
sosial, (c) materi pembelajaran pendidikan jasmani yang sangat spesifik. Siswa
belajar dengan cara yang berbeda, datang dari latar belakang budaya yang
berbeda, dan memiliki tingkat pengalaman gerak yang berbeda. Perbedaan ini
menimbulkan perbedaan penanganan dan perbedaan kebutuhan untuk masing-masing siswa.
Sayangnya perbedaan-perbedaan ini seringkali diabaikan oleh guru pendidikan
jasmani. (Byra: 2006: 449)
Materi pembelajaran pendidikan jasmani terlalu luas namun hanya di pelajari di permukaannya
saja. Berbagai cabang olahraga harus dikuasai oleh siswa, namun alokasi waktu
yang sedikit dan sarana prasarana yang terbatas menyebabkan pengetahuan siswa
tentang sebuah cabang olahraga menjadi sangat kurang. Akibatnya, pendidikan
jasmani saat ini
bekerja dalam tataran utopis yang mustahil tercapai.
Pendidikan jasmani sesungguhnya merupakan alat
pendidikan yang mampu membentuk manusia seutuhnya, dalam pengembangan kemampuan
kognitif, afektif, psikomotor dan sosial secara berimbang. Pendidikan jasmani
sangat penting diajarkan baik di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,
Sekolah Menengah Atas, hingga Perguruan Tinggi. Namun seiring banyaknya
permasalahan yang ada didalamnya, pendidikan jasmani saat ini seringkali
dianggap sebagai pelajaran yang tidak penting.
Pembelajaran penjas di Sekolah Menengah Pertama (SMP) saat ini dilaksanakan secara tidak lengkap dan tidak
sesuai karakteristik siswa. Secara umum
karakteristik siswa SMP telah mampu bekerjasama dalam tim dengan baik dan jiwa
kepemimpinan mulai muncul. Pada usia ini guru haruslah memaksimalkan potensi
yang dimiliki siswa. Namun pada kenyataannya para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik
olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya, atau jika pun
melakukan permainan, permainan tersebut tidak sesuai dengan hakikat kemampuan
anak serta kehilangan nilai-nilai keolahragaannya, dan yang lebih penting,
tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga.
(Siedentop, 1994: 116)
Pengelolaan pendidikan jasmani di SMP saat ini belum menunjukkan ke arah
yang efektif dan efisien. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan,
ditemukan guru pendidikan jasmani dalam kegiatan pembelajaran bersifat monoton,
berpusat pada guru, menggunakan pendekatan drill,
dan hanya menekankan penguasaan motorik saja sedang aspek lain terabaikan
seperti intelektual, mental dan nilai-nilai ke-penjas-an lainnya. Apa yang
diterapkan di sekolah dewasa ini lebih condong mengarah ke upaya pengenalan dan
penguasaan keterampilan suatu cabang olahraga. Pendekatan yang dipakai oleh
guru-guru tak ubahnya seperti seorang melatih suatu cabang olahraga. Keadaan
demikian menyebabkan hilangnya peluang emas untuk meraih keuntungan semaksimal
mungkin dari pengajaran penjasorkes sebagai medium pendidikan
(Anik Rukmana, 2008). Akibatnya
siswa cenderung acuh tak acuh, kurang motivasi dalam belajar, merasa bosan, dan
kurang kreatif.
Revitalisasi peran pendidikan jasmani di sekolah haruslah
segera dilakukan. Guru pendidikan jasmani haruslah merubah
sikap dari
konservatif tradisional menjadi progresif futuristik.
Salah satu upaya ke arah perbaikan
adalah melalui rekayasa
perbaikan model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran
yang belum banyak digunakan di Indonesia adalah sport education.
Sport
education yang sebelumnya
diberi nama play education dikembangkan oleh Daryl Siedentop di Amerika.
Model ini berorientasi pada nilai rujukan disciplinary
mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum sport socialization. Siedentop banyak
membahas model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education”. Enam
karakteristik model sport education
yang seringkali absen dari pembelajaran pendidikan jasmani pada umumnya adalah:
musim, anggota team, pertandingan formal, puncak pertandingan, catatan hasil,
perayaan hasil kompetisi.
1. Musim (season)
merupakan salah satu karakteristik dari model sport education yang di dalamnya terdiri dari musim latihan dan
kompetisi serta seringkali diakhiri dengan puncak kompetisi. Dalam pendidikan
jasmani pada umumnya karakteristik ini jarang diperhatikan.
2. Anggota team merupakan karakteristik kedua dari model sport education. Semua siswa harus menjadi
salah satu anggota dari tim olahraga dan
akan tetap sebagai anggota sampai satu musim selesai. Dalam pendidikan jasmani
pada umumnya anggota tim berubah-ubah dari satu pertemuan ke pertemuan yang
lainnya.
3. Kompetisi formal merupakan karakteristik ke tiga dari model sport
education. Kompetisi dalam model ini mengandung tiga arti, yaitu: festival,
usaha meraih kompetensi, dan mengikuti pertandingan pada level yang berurutan.
Kompetisi formal dilakukan secara berselang-seling dengan latihan dan format
yang berbeda-beda: misal dua lawan dua, tiga lawan tiga dan seterusnya hingga
pada tingkatan yang sesuai dengan kemampuan siswa. Penjadwalan ditetapkan dari
sejak awal pembelajaran pendidikan jasmani sehingga siswa mengetahui waktunya
secara pasti dan dari sejak kapan mereka harus mempersiapkan diri.
4. Puncak pertandingan merupakan ciri khas dari even olahraga untuk mencari
siapa yang terbaik pada musim itu, dan ciri khas ini dijadikan karakteristik ke
empat dari model sport education.
Dalam pendidikan jasmani pada umumnya, pertandingan seperti ini sering
dilakukan, namun setiap siswa belum tentu masuk anggota team sehingga terkadang
lepas dari konteksnya.
5. Catatan hasil merupakan karakteristik ke lima dari model sport education. Catatan ini dilakukan
dalam berbagai bentuk, dari mulai dai catatan masuk gol, tendangan ke gawang, kecurangan, kesalahan-kesalahan, dan sebagainya disesuaikan
dengan kemampuan siswa. Catatan ini dilakukan siswa dan guru untuk dijadikan
feedback baik bagi individu maupun team.
6. Perayaan hasil kompetisi merupakan karakteristik ke enam dari model sport education. Perayaan hasil
kompetisi seperti upacaya penyerahan medali berguna untuk meningkatkan makna
dari partisipasi dan merupakan aspek sosial dari pengalaman yang dilakukan
siswa.
(Siedentop: 2004: 5)
Mayoritas
guru pendidikan jasmani belum mengenal model sport
education dengan baik. Hal ini diakibatkan oleh belum adanya
buku panduan pelaksanaan sport education yang
mudah dipahami, practicable dan
berbahasa Indonesia. Kebanyakan buku panduan pelaksanaan sport education
sulit
dipahami dan berbahasa Inggris.
Situasi tersebut
mengakibatkan pelaksanaan sport education di
Indonesia belum bisa dilakukan secara massive.
Perlu
pengenalan model ini kepada guru-guru pendidikan jasmani, serta modifikasi dan pengembangan sebuah
buku panduan pelaksanaan dengan kata-kata yang mudah dipahami, sederhana dan practicable, agar model ini
mampu dilaksanakan sebagai model alternatif pembelajaran pendidikan jasmani
di sekolah.
Dari latar belakang masalah di atas, dapat disimpulkan
bahwa penelitian pengembangan buku panduan pelaksanaan model pembelajaran sport education adalah sebuah agenda yang mendesak untuk dilakukan.
Penulis selanjutnya berinisiatif untuk meneliti tentang “Pengembangan
buku panduan pelaksanaan
Model Pembelajaran Sport education”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar