Kegilaan masyarakat modern terhadap olahraga adalah fenomena yang tak berbantahkan. Tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa salah satu dari “kegairahan besar” (the great passion) di abad dua puluh ini
adalah dunia olahraga. Umberto Eco dalam bukunya yang bertitel “Tamasya dalam
Hiperealitas” berpandangan bahwa olahraga mengalami peristiwa diamplifikasi,
tatkala olahraga yang mulanya sebuah permainan yang dimainkan oleh satu orang
menjelma semacam diskuisisi dalam permainan. Olahraga adalah globalisasi paling
sukses di planet bumi, dengan banyaknya event dan kompetisi yang rutin,
menghadirkan adanya fenomena ritus sosial. Seperti yang terjadi di
negara-negara di benua Eropa terdapat fenomena setiap akhir pekan yang dikenal
dengan “The Special Saturday Ritual” yaitu saat suatu keluarga menghabiskan
waktu bersama, berbagi emosi dan kenangan yang unik dengan mendatangi
stadion-stadion untuk menonton dan kemudian menjadi suporter dengan mendukung
tim sepakbola kesayangannya bertanding.
Olahraga pada awalnya merupakan
agenda dan kegiatan individu yang diantaranya bertujuan untuk menjaga dan atau
meningkatkan kebugaran, atau sekedar kegiatan rekreatif serta bersenang-senang
untuk pelakunya semata. Kemudian berubah seiring dengan adanya perubahan
kebijakan yang bentuknya bisa berupa upaya untuk mengadu kualitas dan kecakapan
seseorang atau beberapa orang dalam olahraga atau permainan tersebut dalam
suatu perlombaan atau . Kehadiran penonton awalnya berperan sebagai saksi
munculnya pemenang atau yang terbaik dalam perlombaan dan pertandingan
tersebut, kini telah bergeser menjadi fokus utama, dimana dalam teori
marketing, pembeli adalah raja.
Uniknya, pendidikan
jasmani, yang secara karakteristik memiliki kesamaan dengan olahraga, yaitu memanfaatkan
aktivitas fisik sebagai media nya, memiliki
posisi yang rumit dalam fenomena kegairahan olahraga di masyarakat. Pendidikan
jasmani memiliki ciri bermain dan olahraga, meskipun secara eksklusif bukanlah
suatu kombinasi yang setara diantara istilah bermain dan olahraga.
Di kala masyarakat semakin kecanduan terhadap olahraga,
-apapun perannya, baik sebagai pelaku, penikmat, atau sekedar pemerhati- disisi
lain, pendidikan jasmani tidak muncul
sebagai entitas yang diperhitungkan (Setiawan: 2004). Pendidikan jasmani semakin
termarjinalkan dan tereduksi menjadi
sebatas komplemen dalam pembelajaran di sekolah.
Seiring perubahan sosial yang begitu cepat, bangsa Indonesia
salah memahami olahraga sebagai sekedar sebuah wahana hiburan, bukan aktivitas
jasmani yang menarik untuk dilaksanakan. Bangsa ini malas beraktivitas jasmani,
namun begitu getol menikmati pertandingan olahraga –terutama sepakbola-. Begitu
serius meng-analisis, memprediksi, dan mengomentari kejadian olahraga, namun
lupa untuk mencoba menjadi pemeran utama, yaitu sebagai pemain. Maka muncullah joke
jika negeri ini oleh Unesco diakui sebagai negeri dengan jumlah populasi komentator
olahraga terbanyak di dunia.
Dalam menempatkan posisi pendidikan jasmani, diyakini pula
bahwa kontribusi pendidikan jasmani hanya akan bermakna ketika
pengalaman-pengalaman gerak dalam pendidikan jasmani berhubungan dengan proses
kehidupan seseorang secara utuh di masyarakat. Manakala pengalaman dalam
pendidikan jasmani tidak memberikan kontribusi pada pengalaman kependidikan,
niscaya terjadi kesalahan dalam internalisasi anak dalam memahami pendidikan
jasmani tersebut.
Pendidikan jasmani tak mampu mendidikan anak-anak untuk
beraktivitas jasmani secara theoritically
right. Pendidikan jasmani bekerja pada tataran utopis, yang mengatakan
bahwa aktivitas jasmani itu penting, namun lupa mengajarkan bagaimana seseorang
mampu menjadi orang yang penting dalam aktivitas jasmani. Olahraga yang
diposisikan sebagai entertainment
menempatkan pendidikan jasmani berada pada pusaran
setan dimana anak-anak menganggap aktivitas jasmani adalah sarana hiburan –yang
selanjutnya menggiring anak berperan sebagai penonton- dan mereduksi potensinya untuk mencapai potensi
optimal sebagai seorang pelaku olahraga.
Posisi pendidikan jasmani di sekolah tak bisa dilepaskan dari
persepsi masyarakat terhadap olahraga. Selama masyarakat masih menganggap
olahraga sebagai sarana hiburan, maka pendidikan jasmani hanya akan selalu
ditempatkan sebagai pelengkap di sekolah.
Ini hanya sebuah pemikiran sederhana saya yang pada
endingnya tidak memberi solusi pada permasalahan ini. Namun fokusnya, jika bangsa
ini ingin berubah, maka tempatkanlah olahraga di tanah, bukan diawang-awang. Buatlah
anak-anak bermain dan berhasil. Pastikan jika mereka senang dan tertarik karena
pernah melakukan, bukan takut dan malas karena terlalu sering melakukan
kegagalan.
Juara tidak dibuat di pusat kebugaran. Juara terbuat dari sesuatu yang telah jauh di
dalam mereka - keinginan, mimpi, visi. (Muhammad Ali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar