Apa sih kriteria kesuksesan seorang guru penjas?
Sungguh akan ada banyak variasi jawaban dari pertanyaan di atas. Ada yang bilang, guru penjas yang sukses adalah yang mampu melatih sebanyak-banyaknya siswa menjadi atlet berprestasi. Yang lain beranggapan, sukses ditentukan oleh kemampuannya dalam mengimplementasikan kurikulum, menjalankan RPP dan silabus dengan presisi. Atau tolok ukur yang paling sederhana, bahwa guru penjas sukses adalah guru yang mampu membawa semua siswanya terlibat aktiv dalam seluruh proses pembelajaran.
Namun jika kita cermati, secara umum masyarakat sepakat jika keberhasilan guru penjas tidak bisa dilepaskan dari pencapaian prestasi olahraga. Seorang guru yang mampu membawa siswanya juara OOSN tingkat Provinsi atau bahkan nasional, dialah guru penjas sukses. Memang dalam jenjang olahraga elitis, pencapaian seperti ini adalah indikator yang sangat lazim digunakan. Sehingga situasi yang banyak kita jumpai adalah seorang guru penjas seringkali diberi beban target oleh pihak sekolah untuk mencapai prestasi olahraga di dalam level tertentu.
Secara umum, penjas di Indonesia memang masih mengikuti model pembelajaran Daryl Siedentop (Sport Education) dan Europian Physical Education (Sport Pedagogy) dan model kurikulum yang ada di Indonesia cenderung fokus pada elitism (menyiapkan atlet elit). Maka tak heran jika Dinas Pendidikan getol sekali mengadakan kompetisi-kompetesi olahraga semacam Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (OOSN). OOSN dilakukan rutin setiap tahun, dan berjenjang dari tingkat Kecamatan sampai Nasional.
Di awal tugas saya sebagai guru, tak ada satu pun siswa yang lolos OOSN tingkat kabupaten. Situasi ini menjadi semacam aib bagi sekolah, saya pun kemudian mendapat tekanan untuk membawa siswa berprestasi. Saya cukup yakin bahwa banyak guru penjas mengalami situasi yang sama dengan saya. Tekanan semacam ini mau tak mau memaksa kita untuk menerapkan pendekatan sports daripada ke physicall education (PE). Kita pun terpaksa tidak dapat menghindari model elitism atau sportification model.
Beradaptasi dengan situasi di atas, saya pun kemudian tertarik untuk menerapkan Sport Education (SE) di sekolah (tentu saja cuma sejauh pemahaman saya saja, hahahaha). Karena menurut beberapa pihak model ini cukup mumpuni untuk mengenal potensi olahraga siswa, karena siswa terlibat langsung dalam situasi kompetisi olahraga yang dirancang resmi.
Ada enam kunci utama dari SE, yaitu: seasons, affiliation, formal competition, culminating events, record keeping, dan festivity. Sports education menekankan pada pengalaman siswa dalam mengikuti sebuah kompetisi olahraga formal. Dalam satu kelas, siswa dibagi dalam beberapa kelompok yang tetap. Tiap kelompok selanjutnya bertanding/berkompetisi dalam satu season. Tiap siswa memiliki peran yang berbeda didalam kelompoknya (diverse roles). Ada yang jadi pemain, pelatih, manager, pencatat statistic, wasit, dan lain sebagainya.
Setelah melaksanakan SE selama 2 semester, saya menarik beberapa kelebihan yang bisa saya dapatkan:
Siswa terlibat aktiv dalam kompetisi. Siswa sangat menikmati tiap pertandingan bahkan segala kebutuhan dari kompetisi itu, dari saran prasarana, jadwal pertandingan, table hasil/klasemen, mampu disiapkan siswa secara mandiri.
Guru sangat mudah untuk mengenali potensi olahraga siswa, guru cukup melihat statistic pertandingan dan melakukan pengamatan selama kompetisi. Dalam pemberian laporan nilai, statistic pertandingan pun bisa dipertimbangkan sebagai dasarnya. Saya pun tak perlu susah-susah memilih siswa untuk mewakili sekolah di OOSN. Anak-anak yang memiliki bakat menonjol akan sangat kelihatan, kita tinggal memilih saja.
Mengasah jiwa kepemimpinan anak. Siswa juga mulai belajar bekerjasama dalam satu kelompok. Tiap siswa memiliki peran masing-masing, dan saling melengkapi.
Mengasah ketrampilan teknik siswa secara signifikan. Siswa secara mandiri belajar, agar mampu mencapai prestasi dalam kompetisi.
Siswa sangat antusias dalam berolahraga. Di kantin, di halaman, di FB, twitter atau disela-sela mereka beraktivitas, mereka selalu membicarakan tentang kejuaraan yang mereka ikuti. Intinya mereka selau menantikan hari pertandingan. Apalagi ketika season hampir berakhir. Tak kalah, para guru pun bertanya “Yang juara kelompoknya siapa?”, atau “Siapa yang cetak gol?”, dst. (dan situ tau).
Namun dibalik gegap gempita SE yang mampu saya ciptakan di sekolah, sesungguhnya ada permasalahan pelik di balik SE ini. Yang paling kentara dalam model SE seperti ini, siswa yang tidak memiliki standar untuk menjadi elit, maka ia akan terpinggirkan. Khusus bagi mereka yang memiliki potensi (talent) mungkin SE sangat tepat untuk mengasah bakat mereka. Namun masalahnya adalah sebagian besar siswa tidak memiliki
kemampuan untuk itu.
Tokoh utama dalam SE adalah si pemain. Maka si pencatat skor, si statistician, si lines man, si Perkab, si cheerleader ya tak lebih sekedar pelengkap. Terjadi ketimpangan yang terlampau jauh antara si tokoh utama dengan peran pembantu. Si pemain selalu disanjung-sanjung, dipuji. Di sisi lain, anak yang tak punya kemampuan untuk bermain, makin lama makin dilupakan. Mungkin kita bisa beretorika bahwa, “ah, bukankah dia juga punya peran yang penting?”. Namun kenyataannya di lapangan tercipta stratifikasi social baru berdasar peran anak ini. Dan ini sungguh melanggar dasar-dasar pendidikan dimana kita seharusnya bersifat egaliter.
Nah apakah kita bisa disebut sebagai seorang guru penjas yang sukses jika ternyata pembelajaran yang kita rancang merupakan ladang subur ketidakadilan sosial?
Marilah bersama-sama mencari kebenaran, jika tak satupun dari kita memiliknya.
(Constantin F. Volney)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar