Akar utama olahraga kabarnya adalah penyaluran hasrat manusia untuk bermain. Huizinga, adalah seorang filsuf kebudayaan, yang menggali manusia dari sisi bermain. Bahwa kebudayaan dibangun dari unsur bermainnya manusia. Manusia adalah sejenis manusia yang bermain atau homoludens.
Huizinga dalam bukunya yang terkenal, Homo Ludens: A Study of the Play Element in Culture menyatakan bahwa “peperangan adalah adalah versi lain dari permainan”. Perang adalah persaingan di antara dua atau lebih pihak, sama dengan olah raga. Memang, olahraga tidak mematikan orang lain dan tidak pula merusak gedung atau kota. Tetapi selain itu, adakah perbedaan lain?
Olahraga adalah bentuk sublimasi dari syahwat manusia untuk saling berperang. Ia adalah ”perang” yang sudah diperadabkan. Sumber syahwat itu adalah berasal dari konstruksi diri manusia itu sendiri yang pada dasarnya terdiri dari unsur-unsur pasangan yang berlawanan (Binary opposision). Manusia disamping memiliki naluri bekerjasama juga konflik, memiliki perilaku mempertahankan diri (defensif) tapi sekaligus juga menyerang pihak lain (agresif).
Perang adalah syahwat yang sama sekali tidak bisa dielakkan oleh manusia. Manusia hanya bisa membelokkan syahwat itu ke dalam bentuk tabiat yang lebih sublimatif. Upaya pencarian bentuk ”perang” yang sublimatif itu sudah dimulai oleh masyarakat primitif, misalnya kebiasaan perang antar mereka diganti dalam bentuk tarian perang-perangan. Di era modern, Gang-gang anak muda brandalan di kawasan Manhattan, New York telah mengganti perang antar Gang dengan tarian yang pernah terkenal yaitu ”Break Dance”.
Perang adalah bentuk ekspresi manusia yang paling fenomenal dalam melampiaskan naluri bekerjasama dan berkonflik, perilaku defensif dan agressif secara simultan. Apapun alasannya, akibat dari perang adalah kehancuran yang berkesinambungan (Collateral damage). Menyadari akibat buruk sebuah perang itulah manusia mencoba mencari alternatif bentuk ”perang” yang lain, yang lebih sublimatif, beradab, dan tidak destruktif. Bukan yang menebar penderitaan tapi menggembirakan. Sementara itu syahwat untuk saling berperang tetap terlampiaskan dengan baik. Dan, olahraga adalah bentuk su blimasi pelampiasan syahwat berperang manusia yang paling sempurna dalam banyak segi.
Seni bela diri (pencak silat, karateka, taekwondo, judo dan lain-lain) dijadikan olahraga pada zaman modern. Awalnya, dahulu kala, para pendekar pencak silat, bila mereka bertarung memperebutkan keunggulan ilmunya atau kehebatan keterampilan pencak silat berakhir dengan kematian lawannya. Kecuali, lawannya minta ampun-ampunan atau kabur menyelamatkan diri atau kebaikan hati pendekar yang menang. Seni Bela diri tradisional tertentu, kemudian, berkembang menjadi olahraga.
Masyarakat Arab badui pra islam, melakukan peperangan antarklan, seperti mereka melakukan pertandingan sepak bola pada masyarakat modern. Beberapa suku di papua, peperangan adalah ritual. Peperangan itu seperti sebuah pertandingan yang diadakan setiap tahun sekali. Suku Dani, Suku Lani, dan Suku Yali, masih sering melakukan perang antarsuku. Bagi mereka, perang juga memiliki makna yang dalam. Perang bukan sekadar ajang adu kekuatan antarsuku, namun juga merupakan lambang kesuburan dan kesejahteraan. Menurut kepercayaan mereka, jika tidak dilakukan perang, jangan harap panen dan ternak babi akan berhasil.
Ironisnya, sepak bola semula justru dimaksudkan untuk melatih kekuatan, kecepatan dan ketangkasan para prajurit sebelum dikirim ke medan pertempuran. Menurut Bill Hutchison, dalam tulisannya ”The Essential History of Soccer” mensinyalir permainan sepak bola yang paling primitif sudah dikenal oleh tentara China pada masa Dinasti Han, sekitar abad ke tiga dan kedua sebelum Masehi. Tetapi negara Enggris lah yang dianggap sebagai tempat lahirnya sepak bola modern. Proses untuk sampai pada bentuknya yang modern itu sangat berliku. Pernah pertandingan sepak bola dijadikan ajang perang sungguhan antar penduduk yang bermusuhan. Sekitar abad VIII ada pertandingan sepak bola yang bolanya menggunakan penggalan kepala manusia. Yaitu kepala panglima perang musuh, seorang pangeran dari kerajaan Denmark yang dalam sebuah pertempuran pasukannya dikalahkan oleh tentara kerajaan Enggris. Lantaran brutalitas yang terkandung dalam sepak bola itu mendorong Raja Edward III pada tahun 1331 menetapkan undang-undang larangan pertandingan sepak bola.
Keterkaitan antara perang dengan olahraga juga bisa diamati dari istilah-istilah yang digunakan dalam permainan sepakbola. Misalnya, defender, striker, wings, off side, front line, back line, captain adalah istilah yang digunakan dalam dunia pertempuran. Sebetulnya bukan hanya sebatas istilah saja bahkan doktrin permainan ini juga mirip doktrin pertempuran. Pemain sepak bola dan tentara sama-sama memiliki suasana mental yang didominasi oleh sikap pesimis dan pemikiran negatif.
Sebagai salah satu implikasi sikap pesimis adalah, baik pemain bola maupun tentara, sama-sama ”tidak berani” sendirian. Mereka harus bersama-sama. Satuan terkecil tentara adalah regu, antara 7-10 personnel, sementara satuan sepak bola adalah kesebelasan. Karena itu tidak ada sepak bola pemainnya hanya satu orang. Begitu juga tidak ada tentara maju ke medan perang sendirian, kecuali hanya dalam film ”Rambo” yang dibintangi oleh Silvester Stallone itu. Sekalipun film perang itu sangat terkenal, konon sampai digemari oleh mendiang presiden Ronald Reagan, tapi dilihat dari teori militer ia adalah karya film perang yang paling bodoh dan konyol yang pernah dibikin manusia.
Karena sikap pesimistis itu maka baik pemain bola maupun prajurit harus membuang jauh-jauh sikap egosentris. Mereka harus menyadari bahwa kalah- menang, hidup-matinya sangat tergantung kepada anggota yang lain. Karena itu baik sepak bola maupun prajurit sama-sama bersandar pada kesetiaan korps yang ditunjang oleh disiplin tinggi. Talenta dan kekuatan individual memang sangat diperlukan baik dalam kesebelasan maupun satuan tempur, tetapi kalau itu menjelma menjadi egosentrisme dan mengalahkan solidaritas dan disiplin korps akan menjadi tidak ada artinya bahkan bisa membahayakan.
Pemain bola dan tentara sama-sama berpemikiran negatif dominan. Implikasi psikologis yang paling normal dari pemikiran ini adalah selalu waspada, hati-hati, penuh kalkulasi, sedang upnormalnya adalah sikap menjadi serba curiga dan paranoia. Pemain bola maupun prajurid memang seharusnya selalu waspada bahkan sering-sering curiga, bukan hanya kepada gerak gerik lawan yang harus selalu dimaknai sebagai ancaman, bahkan teman sendiri pun harus dicurigai, jangan-jangan ia membuat kesalahan. Karena betapa kecilnya suatu kesalahan, adalah sangat berbahaya. Karena hal itu bisa berarti peluang bagi lawan untuk menghancurkannya. Bagi pemain bola, hal itu bisa berarti terciptanya gol oleh lawan, sedang bagi tentara bisa berarti kematian.
Olahraga selain berfungsi sebagai sarana belajar, rekreasi, atau bertanding sekalipun. Ia memiliki nilai-nilai tertentu, yang sampai sekarang bertahan, untuk menunjang pelakunya atau masyarakat pendukung tersebut. Lebih nyata nilai-nilai olahraga modern adalah citius, altius, aortius artinya ‘menjadi lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat’ ("Faster, Higher, Stronger").
Maka sampailah pada kesimpulan, bahwa olahraga adalah institusionalisasi yang beradab dan turunan dari perang. Olahragawan adalah gladiator modern, yang fungsi utamanya menyalurkan hasrat agresi manusia untuk saling mengalahkan dalam tataran standar dan nilai yang baku.
Sama hal nya dengan perang, olahraga adalah demi keunggulan. Keunggulan individu, keunggulan kelompok, keunggulan masyarakat, terlebih keunggulan bangsa.
( Wilian Dalton)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar