Selasa, 17 Juni 2014
Etika dan Moral dalam Pendidikan Jasmani menuju Olahraga Prestasi
Abstrak: Salah satu masalah penting dalam kehidupan di tanah air ini adalah etika dan moral, pendidikan jasmani dan olahraga sebagai salah satu sarana pendidikan anak memberikan suatu pengayaan dalam etika dan moral di masyarakat. Mengajarkan etika dan nilai moral sebaiknya lebih bersifat contoh.Tindakan lebih baik baik dari kata-kata. Nilai Moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi.
Kata-kata kunci: Etika, Pendidikan Jasmani, Olahraga
Pendidikan Jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, sehingga pendidikan jasmani memiliki arti yang cukup representatif dalam mengembangkan manusia dalam persiapannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
Pendidikan jasmani di Indonesia memiliki tujuan kepada keselarasan antara tubuhnya badan dan perkembangan jiwa, dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa indonesia yang sehat lahir dan batin, diberikan kepada segala jenis sekolah. (UU no 4 th 1950, ttg dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah bab IV pasal 9)
Pendidikan jasmani mempunyai tujuan pendidikan sebagai (1) perkembangan organ-organ tubuh untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani, 2) perkembangan neuro muskuler, 3) perkembangan mental emosional, 4) perkembangan sosial dan 5) perkembangan intelektual.
Tujuan akhir olahraga dan pendidikan jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk memiliki`dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia; hanya orang-orang yang memiliki kebajikan moral seperti inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang berguna (Baron Piere de Coubertin)
Uraian di atas memperjelas bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan ‘alat’ pendidikan, sekaligus pembudayaan. Proses ini merupakan sebuah syarat yang memungkinkan manusia mampu terus mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai manusia.
Pendidikan adalah segenap upaya yang mempengaruhi pembinaan dan pembentukkan kepribadian, termasuk perubahan perilaku, karena itu pendidikan jasmani dan olahraga selalu melibatkan dimensi sosial, disamping kriteria yang bersifat fisikal yang menekankan ketrampilan, ketangkasan dan unjuk “kebolehan’. Dimensi sosial ini melibatkan hubungan antar orang, antar peserta didik sebagai sebagai fasilitator atau pengarah.
Kondisi saat ini ketika masyarakat Indonesia menghadapi permasalahan perekonomian yang berkepanjangan, tidak terlepas dari etika dan moral bangsa yang sudah ‘bobrok’, budaya bangsa yang luhur mulai telah terkikis sedikit demi sedikit. Anak banyak yang tidak menghargai gurunya bahkan orang tuanya.
Fenomena dalam pendidikan jasmani saat ini, banyak anak yang enggan mengikuti pelajaran pendidikan jasmani karena terkesan membosankan dan menjemukan.
Masalah moral di Amerika menjadi salah satu isu pendidikan yang diangkat dalam membentuk manusia Amerika, mengingat orang Amerika pernah terkejut pada awal 1985 ketika mereka mengetahui bahwa pemenang medali cabang balap sepeda pada Olimpiade yang berasal dari USA mengakui telah mendoping darah sebelum kompetisi. Ditambah lagi 86 atlet Amerika dari berbagai cabang gagal melewati tes obat-obatan yang diadakan oleh Komite Olahraga Amerika Serikat, sembilan bulan sebelum pertandingan pada tahun 1984. Belum lagi kasus kematian pelari Belanda di Universitas Amerika membawa pada penemuan secara tidak sengaja tentang penggunaan secara
luas resep obat yang didapatkan secara ilegal oleh atlet mahasiswa, yang disuplai oleh pelatih kampus.
Pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, karena dalam pendidikan jasmani menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan mengembangan karakter. Pengajaran etika dalam pendidikan jasmani biasanya dengan contoh atau perilaku. Pengajar tidak baik berkata kepada muridnya untuk memperlakukan orang lain secara adil kalau dia tidak memperlakukan muridnya secara adil.
Selain dari pada itu pendidikan jasmani dan olahraga begitu kaya akan pengalaman emosional. Aneka macam emosi terlibat di dalamnya. Kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga yang berakar pada permainan, ketrampilan dan ketangkasan memerlukan pengerahan energi untuk menghasilkan yang terbaik.
Pantas rasanya jika kita setuju untuk mengemukakan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan dasar atau alat pendidikan dalam membentuk manusia seutuhnya, dalam pengembangan kemampuan cognitif, afektif dan psikomotor yang behavior dalam membentuk kemampuan manusia yang berwatak dan bermoral.
Dalam tulisan ini akan lebih dibahas tentang etika dan permasalahan dalam pendidikan jasmani dan olahraga. Dengan mencoba mengkomperkan dan menanalisis serta memyusun rekomendasi yang memungkinkan dalam pengembangan pendidikan jasmani dan olahraga.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, agar paper ini lebih mengarah maka pembahasan akan lebih di fokuskan pada :
Bagaimana etika dalam pendidikan jasmani dan olahraga?
Bagaimana pendidikan etika membentuk manusia secara utuh?
Masalah tersebut akan dicoba dibahas dalam tulisan ini dari segi teori dan analisis penjasnya.
Hakikat Etika
Istilah etika dan moral secara etimologis, kata ethics berasal dari kata Yunani, ethike yang berarti ilmu tentang moral atau karakter. Studi tentang etika itu secara khas sehubungan dengan prinsip kewajiban manusia atau studi tentang semua kualitas mental dan moral yang membedakan seseorang atau suku bangsa. Moral berasal dari kata Latin, mos dan dimaksudkan sebagai adat istiadat atau tata krama. (Rusli Lutan)
Etika tidak mempunyai pretensi untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dimana yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. (Franz Magnis Suseno,1989). Lebih lanjut dikatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Untuk memahami etika, maka kita harus memahami moral.
Selanjutnya Suseno mengatakan bahwa Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggung jawabab dan mau menyingkapkankan ke rancuan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat moral yang dikemukakan di pertanggung jawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral.
Dalam etika mengembangkan diri, Orang hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani tidak asing baginya, yaitu nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung jawab moral, estetis dan religius. Suatu usaha sangat berharga untuk menyusun nilai-nilai dan menjelaskan makna bagi manusia dilakukan oleh Max Scheler dikemukan sebagai berikut : Mengembangkan diri, Melepaskan diri, menerima diri
Freeman menyebutkan bahwa etika terkait dengan moral dan tingkah laku, menjelaskan aturan yang tepat tentang sikap. Etika merupakan pelajaran dari tingkah laku ideal dan pengetahuan antara yang baik dan buruk. Etika juga menggambarkan tindakan yang benar atau salah dan apa yang harus orang lakukan atau tidak. Etika penting karena merupakan kesepakatan pada kebiasan manusia, bagaimana modelnya, bagaimana ia menunjukkan dirinya sendiri, dengan segala sisi baik dan buruk.
Scott Kretchmar mengemukakan etika mendasari tentang cara melihat dan mempromosikan kehidupan yang baik, tentang mendapatkannya, merayakannya dan menjaganya. Etika terkait dengan nilai-nilai pemeliharaan seperti kebenaran, pengetahuan, kesempurnaan, persahabatan dan banyak nilai-nilai lainnya. Etika juga mengenai rasa belas kasih dan simpati, tentang memastikan kehidupan baik berbagi dengan lainnya, etika terkait dengan kepedulian terhadap yang lain, terutama yang tidak punya kedudukan atau kekuatan yang diperlukan untuk melindungi diri mereka sendiri atau jalan mereka.
Hakikat Moral
Istilah moral dikaitkan dengan motif, maksud dan tujuan berbuat. Moral berkaitan dengan niat. Sedangkan etika adalah studi tentang moral. Sedangkan menurut Freeman etika terkait dengan moral dan tingkah laku. Lebih lanjut Scott Kretchmar menyatakan bahwa etika juga mengenai tentang rasa belas kasih dan simpati-tentang memastikan kehidupan yang baik berbagi dengan lainnya.
Suseno mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 6
Selanjutnya dikatakan bahwa ada norma-norma khusus yang hanya berlaku dalam bidang atau situasi khusus. Seperti bola tidak boleh disentuh oleh pemain sepakbola, bila permainan berhenti maka aturan itu sudah tidak berlaku.
Norma diatas merupakan norma khusus, sedangkan norma umum ada tiga macam seperti : norma-norma sopan santun, norma-norma hukum dan norma-norma moral. Norma sopan santun menyangkut sikap lahiriah manusia. Namun sikap lahiriah sendiri tidak bersifat moral.
Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar, orang yang melanggar hukum, pasti akan dikenai hukuman sebagai sangsi. Tetapi norma hukum tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi bahwa demi tuntutan suara hati, demi kesadaran moral, orang harus melanggar hukum. Kalaupun dihukum, hal itu tidak berarti bahwa orang itu buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin tertib umum. Norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang, maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai. Itulah sebab penilaian moral selalu berbobot.
Perkembangan moral adalah proses, dan melalui proses itu seseorang mengadopsi nilai-nilai dan perilaku yang diterima oleh masyarakat (Bandura, 1977). Pada dasarnya seseorang yang konsisten menginternalisasi norma dipandang sebagai seseorang yang bermoral. Para ahli menerapkan apa yang disebut pendekatan “kantong kebajikan” (Kohlberg, 1981), teori ini percaya bahwa seseorang mencontoh perilaku orang lain sebagai model atau tauladan yang ia nilai memiliki sifat-sifat tertentu atau yang menunjukkan perilaku berlandasan nilai yang diharapkan.
Untuk memahami moral Kohlberg (1981) dan Rest (1986) menyatakan bahwa pemahaman moral berpengaruh langsung terhadap motivasi dan
perilaku namun memiliki hubungan yang tak begitu kuat. Hubungan erat pada empati, emosi, rasa bersalah, latar belakang sosial, pengalaman.
Suseno melihat terdapat tiga prinsip dasar dalam moral, yaitu prinsip sikap baik, prinsip keadilan dan prinsip hormat terhadap diri sendiri.
Prinsip sikap baik dimana prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain, dimana sikap yang dituntut dari kita adalah jangan merugikan siapa saja. Prinsip bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat mungkin mencegah akibat buruk dari tindakan.
Prinsip keadilan dimana keadilan tidak sama dengan sikap baik, demi menyelamatan gol dari serangan lawan, pemain belakang menahan dengan tangan, hal itu tetap tidak boleh dengan alasan apapun, berbuat baik dengan melanggar hak pihak lain tidak dibenarkan.
Prinsip hormat terhadap diri sendiri mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai suatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk berakal budi.
Bagaimana kita mengajarkan etika dan nilai moral
Dalam mengajarkan etika dan nilai moral sebaiknya lebih bersifat contoh, pepatah mengatakan bahwa tindakan lebih baik baik dari kata-kata. Lutan mengatakan Nilai Moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi, tugas dll. Lebih lanjut dikatakan ada 4 nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal yaitu :
1. Keadilan.
Keadilan ada dalam beberapa bentuk ; distributif, prosedural, retributif dan kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang mencakup pembagian
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 8
keuntungan dan beban secara relatif. Keadilan prosedural mencakup persepsi terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan retributif mencakup persepsi yang fair sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita pada waktu sebelumnya.
Seorang wasit bila ragu memutuskan apakah pemain penyerang berada pada posisi off-side dalam sepakbola, ia minta pendapat penjaga garis. Semua pemain penyerang akan protes, meskipun akhirnya harus dapat menerima, jika misalnya wasit dalam kasus lainnya memberikan hukuman tendangan penalti akibat pemain bertahana menyentuh bola dengan tanganya, atau sengaja menangkap bola di daerah penalti. Tentu saja ia berusaha berbuat seadil mungkin. Bila ia kurang yakin, mungkin cukup dengan memberikan hukuman berupa tendangan bebas.
2. Kejujuran.
Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya selalu terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu atau memperdaya. Hal ini terwujud dalam tindak dan perkataan.
Semua pihak percaya bahwa wasit dapat mempertaruhkan integritasnya dengan membuat keputusan yang fair. Ia terpercaya karena keputusannya mencerminkan kejujuran.
3. Tanggung Jawab.
Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri. Seorang atlet harus bertanggung jawab kepada timnya, pelatihnya dan kepada permainan itu sendiri. Tanggung jawab ini merupakan nilai moral terpenting dalam olahraga.
4. Kedamaian
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 9
Kedamaian mengandung pengertian : a)tidak akan menganiaya, b)mencegah penganiayaan, c) menghilangkan penganiaan, dan d)berbuat baik. Bayangkan bila ada pelatih yang mengintrusksikan untuk mencederai lawan agar tidak mampu bermain?
Freeman dalam buku Physical Education and Sport in A cahanging Society menyarankan 5 area dasar dari etika yang harus diberikan yaitu : 1) Keadilan dan persamaan, 2) Respek terhadap diri sendiri. 3) Respek dan pertimbangan terhadap yang lain, 4) Menghormati peraturan dan kewenangan , 5) Rasa terhadap perspektif atau nilai relatif. (Freeman,2001;210)
1. Keadilan dan Persamaan
Anak didik atau atlet adalah mengharapkan perlakuan yang adil dan sama. Anak didik ingin sebuah kesempatan untuk belajar yang sama. Seringkali anak didik yang di bawah rata-rata dalam olahraga diabaikan.
2. Respek terhadap diri sendiri
Pelajar atau atlet membutuhkan respek terhadap diri sendiri dan imej positif tentang dirinya untuk menjadi sukses. Pelatih dan pengajar yang melatih semua anak didiknya dengan sama mengambil langkah tepat dalam setiap arahnya agar anak didiknya merasa dirinya penting dan layak dimata pengajarnya.
3. Rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain.
Pelajar dan atlet membutuhkan rasa hormat kepada orang lain, apakah teman sekelasnya, lawan bertanding, guru ataupun pelatihnya. Mereka perlu belajar tentang bagaimana pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat.
4. Menghormati peraturan dan kewenangan
Pelajar dan atlet perlu menghormati kewenangan dan peraturan, karena tanpa kedua hal ini suatu perhimpunan tidak akan berfungsi
5. Rasa terhadap perspektif atau nilai relatif
Beberapa pertanyaan tentang gunanya berolahraga perlu dipertimbangkan diantaranya ; a) seberapa penting olahraga, b) apakah hubungan yang tepat antara olahraga dalam filosofi pendidikan kita?,c)Seberap penting suatu kemenangan dan d) apa yang menjadi integritas akademik kita?
Pendidik jasmani dalam proses pendidikan sebaiknya mengembangkan karakter, karakter menurut David Shield dan Brenda Bredemeir adalah empat kebajikan dimana seseorang mempunyai karakter bagus menampilkan ; compassion (rasa belas kasih), fairness (keadilan), sportsmanship (ketangkasan) dan integritas.
Dengan adanya rasa belas kasih, murid dapat diberi semangat untuk melihat lawan sebagai kawan dalam permainan, sama-sama bernilai, sama-sama patut menerima penghargaan. Keadilan melibatkan tidak keberpihakan, sama-sama tanggung jawab. Ketangkasan dalam olahraga melibatkan berusaha secara intens menuju sukses. Integritas memungkinkan seseorang untuk membuat kesalahan pada yang lain, sebagai contoh meskipun tindakannya negatif penerimannya oleh wasit, teman satu tim ataupun fans.
Hakikat Olahraga dan Penjas
Filsafat olahraga, seperti filsafat lainnya, dalam olahraga ada beberapa konsep yang perlu dikaji dan dipahami secara mendalam. Konsep ini bersifat abstrak yaitu ‘mental image’. Walau kita tahu bahwa konsep ini abstrak, tetapi didalam konsep ini ada makna tertentu, walau perbedaan makna pada setiap individu berbeda-beda tentang ini.
Konsep dasar tentang keolahragaan beragam, seperti bermain (play), Pendidikan jasmani (Physical education), olahraga (Sport), rekreasi (recreation), tari (dance).
Bermain (play) adalah fitrah manusia yang hakiki sebagai mahluk bermain (homo luden), bermain suatu kegiatan yang tidak berpretensi apa-apa,
kecuali sebagai luapan ekspresi, pelampiasan ketegangan, atau peniruan peran. Dengan kata lain, aktivitas bermain dalam nuansa riang dan gembira.
Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat belum tercemar.
Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat menyenangkan dan gembira ini merupakan bentuk permainan yang belum tercemar.
Dalam bermain pendidikan etika yang ada tidak mengenal pada suatu ajaran tertentu, karena anak bermain tidak melihat sisi religius teman dan bentuk permainan, karena tidak ada aturan dalam hal religus dalam bentuk permainan, pendidikan etika disini yang membetuk manusia yang baik dan kritis, sehingga proses pemberian pembelajarannya lebih bersifat mengembangkan daya pikir kritis dengan mengamati realitas kehidupan.
Seperti melihat harimau, maka anak akan meniru gaya harimau yang menerkam mangsa, simangsa sudah tentu adalah teman sepermainnya. Temannya akan berjuang mempertahankan dengan bergelut.
Bermain dalam alam anak memberikan konsep anak bertanggung jawab terhadap permainan tersebut. Ketika terjadi “perselisihan” maka tanggung jawab anak terhadap permainan ini membantu dalam pengembangan moralnya.
Olahraga (sport) yang merupakan kegiatan otot yang energik dan dalam kegiatan itu atlet memperagakan kemampuan geraknya (performa) dan kemauannya semaksimal mungkin, akan tetapi perkembangan teknologi memungkinkan faktor mesin menjadi techno-sport, seperti balap mobil, balap motor, yang banyak tergantung dengan faktor mesin.
Olahraga bersifat netral dan umum, tidak digunakan dalam pengertian olahraga kompetitif, karena pengertiannya bukan hanya sebagai himpunan aktivitas fisik yang resmi terorganisasi (formal) dan tidak resmi (informal).
Pendidikan jasmani pada dasarnya bersifat universal, berakar pada pandangan klasik tentang kesatuan erat antara “body and mind”, Pendidikan jasmani adalah bagian integral dari pendidikan melalui aktivitas jasmani yang bertujuan untuk meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual dan emosional.
Konsep pendidikan jasmani terfokus pada proses sosialisasi atau pembudayaan via aktifitas jasmani, permainan dan olahraga. Proses sosialisasi berarti pengalihan nilai-nilai budaya, perantaraan belajar merupakan pengalaman gerak yang bermakna dan memberi jaminan bagi partisipasi dan perkembangan seluruh aspek kepribadian peserta didik. Perubahan terjadi karena keterlibatan peserta didik sebagai aktor atau pelaku melalui pengalaman dan penghayatan secara langsung dalam pengalaman gerak sementara guru sebagai pendidik berperan sebagai “pengarah” agar kegiatan yang lebih bersifat pendeawsaan itu tidak meleset dari pencapaian tujuan.
Pengajaran Etika dalam pendidikan jasmani
Kita telah menyadari bahwa pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, oleh sebab itu guru pendidikan jasmani harus mencoba mengajarkan etika dan nilai dalam proses belajar mengajar, yang mengarah pada kesempatan untuk membentuk karakter anak.
Karakter anak didik yang dimaksud tentunya tidak lepas dari karakter bangsa Indonesia serta kepribadian utuh anak, selain harus dilakukan oleh setiap orangtua dalam keluarga, juga dapat diupayakan melainkan pendidikan nilai di sekolah. Saran yang bisa diangkat yaitu :
1. Seluruh suasana dan iklim di sekolah sendirii sebagai lingkungan sosial terdekat yang setiap hari dihadapi, selain di keluarga dan masyarakat luas, perlu mencerminkan penghargaan nyata terhadap nilai-nilai
kemanusiaan yang mau diperkenalkan dan ditumbuhkembangkan penghayatannya dalam diri peserta didik. Misalnya, kalau sekolah ingin menanamkan nilai keadilan kepada para peserta didik, tetapi di lingkungan sekolah itu mereka terang-terangan menyaksikan berbagai bentuk ketidakadilan, maka di sekolah itu tidak tercipta iklim dan suasana yang mendukung keberhasilan pendidikan nilai. (Seperti praktek jual-beli soal, mark up nilai, pemaksaan pembelian buku dsb)
2. Tindakan nyata dan penghayatan hidup dari para pendidik atau sikap keteladanan mereka dalam menghayati nilai-nilai yang mereka ajarkan akan dapat secara instingtif mengimbas dan efektif berpengaruh pada peserta didik. Sebagai contoh, kalau guru sendiri memberi kesaksikan hidup sebagai pribadi yang selalu berdisiplin, maka kalau ia mengajarkan sikap dan nilai disiplin pada peserta didiknya, ia akan lebih disegani.
3. Semua pendidik di sekolah, terutama para guru pendidikan jasmani perlu jeli melihat peluang-peluang yang ada, baik secara kurikuler maupun non/ekstra kurikuler, untuk menyadarkan pentingnya sikap dan perilaku positif dalam hidup bersama dengan orang lain, baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam masyarakat. Misalnya sebelum pelajaran dimulai, guru menegaskan bila anak tidak mengikuti pelajaran karena membolos, maka nilai pelajaran akan dikurangi.
4. Secara kurikuler pendidikan nilai yang membentuk sikap dan perilaku positif juga bisa diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri, misalnya dengan pendidikan budi pekerti. Akan tetapi penulis tidak menyarankan untuk di lakukan.
5. Melalui pembinaan rohani siswa, melalui kegiatan pramuka, olahraga, organisasi, pelayanan sosial, karya wisata, lomba, kelompok studi, teater, dll. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut para pembina melihat peluang dan kemampuannya menjalin komunikasi antar pribadi yang cukup mendalam dengan peserta didik.
Kesimpulan
Penulis mencoba merekomendasikan beberapa hal tentang pendidikan nilai dalam pendidikan jasmani berdasarkan latar belakang dan teori, diantaranya :
1. Pendidikan etika konsepnya bersifat abstrak, sehingga pemberiannya harus lebih banyak pada perilaku dan contoh-contoh yang konstruktif.
2. Pendidikan jasmani sebagai alat pendidikan mempercepat anak dalam mengembangkan konsep tentang moral.
3. Mengamati realitas moral secara kritis, akan lebih dekat pada bentuk permainan, dimana mengamati realitas moral merupakan pendidikan etika.
4. Dalam permainan compassion, fairness, spormanship dan integritas sangat lekat didalamnya sehingga mampu memberikan konsep pendidikan etika di dalamnya.
5. Dukungan lingkungan sekolah dan masyarakat harus dijaga untuk menjaga iklim lingkungan sosial yang baik, agar mendukung pendidikan etika dan nilai.
6. Guru pendidikan jasmani dapat mengajarkan nilai dan etika diluar jam pelajaran, terutama saat ektra kurikuler, kegiatan pramuka, organisasi klub olahraga sekolah dengan melihat peluang yang tepat dalam pendekatan individu.
7. Membuat mata pelajaran tentang budi pekerti, tetapi hal ini perlu pembicaraan sesama seksama.
DAFTAR PUSTAKA
Franz Magnis Suseno, (1987) Etika Dasar, Masalah-masalah pokok filsafat
moral. Yogyakarta: Perc. Kanisius, 1987.
_________________, (2000), Kuasa & Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Ikhwanuddin Syarif (ed). (2001) Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia baru,
70 tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed. Jakarta: Grasindo, 2001.
Richard Tinning, et., al, (2001) Becoming a physical education teacher,
Australia: Printice hall.
Rusli Lutan (ed)., (2001) Olahraga dan Etika Fair Play. Direktorat
Pemberdayaan IPTEK Olahraga, Dirjen OR, Depdiknas, Jakarta: CV.
Berdua Satutujuan.
Sutan Zanti dan Syahniar Syahrun, (1993) Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta:
Dirjeb Pend. Tinggi.
William H. Freeman, 6th ed. (2001) Physical Education and sport in a changing
society. Boston: Allyn & Bacon.
Wendy Kohli (ed).,(1995) Critical Conversations in Pholosophy of Education.
New York: Routledge.
Peran Pendidikan Jasmani dalam Pembangunan Karakter
Abstract
Human character represents the values of human behavior
associated with the Almighty God, self, fellow human beings, the environment,
and nationhood embodied in thoughts, attitudes, feelings, words, and actions
based on religious norms, laws, etiquette, culture , and customs. Physical
Education is necessary to build character that is able to create healthy and
qualified human resources suitable for cadres of national development. Physical
Education will allow the formation of healthy body, the formation of
achievements, the establishment of social and mental balance, higher speed of
thinking processes, and better personality to lead to the formation of
individual character imperative for national development.
PENDAHULUAN
Indonesia memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan
mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi
sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal
ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan Nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional, jelas
bahwa pendidikan di setiap jenjang harus diselenggarakan secara sistematis guna
mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter
peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan
berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University
Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak
ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja,
tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen
oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang
tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan
soft skill daripada hard skill.
Hal ini mengisyaratkan
pentingnya meningkatkan mutu
pendidikan karakter peserta didik. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan
nasional yang berjalan di Indonesia sejak kemerdekaan sampai masa orde baru,
serta sejak masa orde baru sampai saat ini, telah menghasilkan kemajuan yang
amat berarti bagi bangsa Indonesia. Melalui pembangunan nasional yang
dijalankan oleh pemerintah bersama-sama dengan rakyat telah dicapai berbagai
keberhasilan. Pembangunan fisik berupa
jalan raya, jembatan, gedung-gedung, dan bangunan fisik lain telah
dilakukan di mana pada awal kemerdekaan kita memiliki jalan beraspal
tidak lebih dari 1.000 Km, kini meningkat menjadi 8.725 Km di awal tahun
1980-an, dan sekarang bahkan sudah bertambah menjadi lebih dari 25.000 Km.
Keadaan ini juga berlaku untuk jembatan, bangunan pasar, bangunan pertokoan,
bangunan perkantoran, dan sebagainya. Namun kemajuan pembangunan secara fisik
tersebut belum diikuti kemajuan pembangunan karakter sumber daya manusianya.
Menurut Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) yang
tercantum dalam "Human Development
Report 2001" (2001), Indonesia hanya berhasil menempati peringkat 102 dari
162 negara. Dalam hal ini, peringkat Indonesia berada di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia,
Singapura, Brunai Darussalam, Filipina, dan Australia. Oleh karena HDI
terbangun atas indikator ekonomi pendidikan, kesehatan, dan kependudukan, hal
itu menunjukkan bahwa tingkat ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kependudukan
manusia Indonesia masih berada di bawah kelima negara tersebut..
PENDIDIKAN
Kata “pendidikan”
dalam bahasa Yunani berarti paedagogie yang berasal dari kata “paid”
yang berarti anak dan “agogos” yang berarti membimbing. Dengan kata lain,
paedagogie dapat diartikan sebagai seni mengajar anak atau dapat diartikan
sebagai bimbingan yang diberikan pada
anak; sedangkan orang yang membimbing disebut paedagoog. Dalam perkembangan
selanjutnya, pendidikan atau paedagogie diberi makna bimbingan atau pertolongan
yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada orang lain yang belum
dewasa agar menjadi dewasa (Rohman, 1979: 6).
Menurut kamus Bahasa Indonesia, 1991:232, kata “pendidikan”
berasal dari kata "didik". Lalu kata ini mendapat awalan kata
"me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan
memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran,
tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran, sehingga lebih
terarah dan terencana. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi
pengajaran keahlian khusus dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi
lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan, dan kebijaksanaan.
Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajarkan kebudayaan
melalui generasi.
Pendidikan merupakan upaya nyata untuk memfasilitasi
individu lain, dalam mencapai kemandirian serta kematangan mentalnya sehingga
dapat survive di dalam kompetisi kehidupannya. Pendidikan merupakan pengaruh
bimbingan dan arahan dari orang dewasa kepada orang lain, untuk menuju kearah
kedewasaan, kemandirian serta kematangan mentalnya. Selain itu, pendidikan merupakan
aktivitas untuk melayani orang lain dalam mengeksplorasi segenap potensi
dirinya, sehingga terjadi proses perkembangan kemanusiaannya agar mampu
berkompetisi di dalam lingkup kehidupannya (Insan Cerdas dan Kompetitif).
Menurut Noeng Muhadjir (1987: 1), untuk mencari makna pendidikan secara
analitis perlu dicari cirri-ciri esensial aktifitas pendidikan, sehingga dapat
dipilahkan dari aktivitas yang bukan pendidikan. Sebelum sampai pada kesimpulan
tentang makna pendidikan, pertama perlu dicari unsur dasarnya, baru kemudian
komponen pokoknya.
Aktivitas pendidikan tidak dapat berlangsung bila tidak ada
dua unsur utama, yaitu yang memberi dan yang menerima. Kedua unsur tersebut
belum memberi rona pendidikan, sehingga dipersyaratkan unsur ketiga, yaitu “tujuan
baik” dari yang memberi bagi kepentingan yang menerima. Agar anak menjadi
pandai, ahli, bertambah cerdas, berkepribadian luhur, serta toleran, diperlukan
kemampuan membaca “tujuan baik”
sebagai unsur ketiga dari pendidikan. Berkepribadian luhur menunjuk
nilai yang berada di luar subyek. Berdasarkan pemahaman di diatas tujuan baik
berfungsi sebagai alat mencapai tujuan lain dan sebagai nilai hidup.
PENDIDIKAN JASMANI
Pendidikan Jasmani sebagai komponen pendidikan secara
keseluruhan telah disadari oleh banyak kalangan. Namun, dalam pelaksanaannya
pengajaran pendidikan jasmani berjalan belum efektif seperti yang diharapkan.
Pembelajaran pendidikan jasmani cenderung tradisional. Pengertian pendidikan
jasmani sering dikaburkan dengan konsep lain, yaitu menyamakan pendidikan jasmani dengan setiap
usaha atau kegiatan yang mengarah pada pengembangan organ-organ tubuh manusia
(body building), kesegaran jasmani (physical fitness), kegiatan fisik (physical
activities), dan pengembangan keterampilan (skill development). Pengertian itu
memberikan pandangan yang sempit dan menyesatkan arti pendidikan jasmani yang
sebenarnya.
Walaupun memang benar aktivitas fisik itu mempunyai tujuan
tertentu, namun karena tidak dikaitkan dengan tujuan pendidikan, maka kegiatan itu
tidak mengandung unsur-unsur pedagogik. Pendidikan jasmani bukan hanya
merupakan aktivitas pengembangan fisik secara terisolasi, akan tetapi harus
berada dalam konteks pendidikan secara umum (general education). Sudah barang
tentu proses tersebut dilakukan dengan sadar dan melibatkan interaksi
sistematik antar pelakunya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan seseorang
sebagai perorangan atau anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan
sistematik melalui berbagai kegiatan jasmani untuk memperoleh pertumbuhan
jasmani, kesehatan dan kesegaran jasmani, kemampuan dan keterampilan,
kecerdasan dan perkembangan watak serta kepribadian yang harmonis dalam rangka
pembentukan manusia Indonesia berkualitas berdasarkan Pancasila.
Secara eksplisit istilah pendidikan jasmani dibedakan dengan
olahraga. Dalam arti sempit olahraga diidentikkan sebagai gerak badan. Olahraga
ditilik dari asal katanya dari bahasa jawa olah yang berarti melatih diri dan
rogo (raga) berarti badan. Secara luas olahraga dapat diartikan sebagai segala
kegiatan atau usaha untuk mendorong, membangkitkan, mengembangkan dan membina
kekuatan-kekuatan jasmaniah maupun rokhaniah pada setiap manusia. Definisi lain
yang dilontarkan pada Lokakarya Nasional Pembangunan Olahraga (Abdul Gafur,
1983:8-9) secara eksplisit berbeda dengan pendidikan jasmani. Definisi tersebut
dikembangkan penulis (Cholik Mutohir, 1992). ?????????
Menurut Baley (1974: 4), pendidikan jasmani merupakan suatu
proses yang mana adaptasi dan pembelajaran tubuh (organik), syaraf dan otot,
intelektual, sosial, emosional dan estetika dapat dicapai dan dilakukan melalui
aktivitas fisik yang penuh semangat.
Sedangkan menurut Hetherington, yang dikutip oleh Kroll (1982: 67),
pendidikan jasmani adalah pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas jasmani,
bukan pendidikan dari jasmani. Dikatakan pula oleh Rijsdorp (1971: 30) bahwa
aktivitas jasmani bermain merupakan bagian dari pendidikan jasmani, oleh sebab
itu tujuan pendidikan juga merupakan tujuan bermain. Selanjutnya di katakan
bahwa pendidikan jasmani bukanlah “education of the body” dan bukan problem
jasmani, akan tetapi merupakan problem kemanusiaan.
Sedangkan olahraga adalah proses sistematik yang berupa
segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina
potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau
anggota masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan/ pertandingan, dan
kegiatan jasmani yang intensif untuk memperoleh rekreasi, kemenangan, dan
prestasi puncak dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang
berkualitas berdasarkan Pancasila. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan jasmani
merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani dan
direncanakan secara sistematik dengan rtujuan untuk meningkatkan individu
secara organik, neuromoskuler, perseptual, kognitif, sosial dan emosional.
Tujuan pendidikan jasmani adalah mengembangkan kesegaran
jasmani, keterampilan motorik, pengetahuan, sosial dan keindahan (Seaton, 1974:
1). Kesegaran jasmani menyangkut fisik, kesegaran organik dan kesegaran
motorik. Fisik menyangkut proporsi tubuh, hubungan antar tulang, lemak, otot,
tinggi dan berat badan. Sedangkan kesegaran organik meliputi efisinsi peralatan
tubuh seperti jantung, paru, hati, ginjal dan sebagainya. Kelincahan, kekuatan,
keseimbangan dan kelentukan berhubungan
dengan kesegaran motorik seseorang. Drowatzky (1984: 16-17) merinci tujuan
pendidikan jasmani sebagai berikut: (1) perkembangan individu, menyangkut
efisiensi fisiologis dan keseimbangan fisik; (2) mengatasi lingkungan yang
menekankan pada orientasi spisial dan manipulasi obyek; dan, (3) interaksi
sosial yang meliputi: komunikasi, interaksi antar kelompok dan budaya.
Dalam Kurikulum Sekolah Dasar 2004 (2003: 4), disebutkan bahwa Pendidikan
Jasmani mempunyai berbagai fungsi berdasarkan lima aspek berikut ini: Organik,
Neuromuskuler, Perseptual, Kognitif, dan Sosial.
Aspek Organik: (1)
Untuk menjadikan fungsi sistem tubuh menjadi lebih baik sehingga individu dapat
memenuhi tuntutan lingkungannya secara memadai serta memiliki landasan untuk
pengembangan keterampilan; (2) Meningkatkan kekuatan otot, yaitu jumlah tenaga
maksimum yang dikeluarkan oleh otot atau kelompok otot; (3) Meningkatkan daya
tahan otot, yaitu kemampuan otot atau kelompok otot untuk menahan kerja dalam
waktu yang lama; (4) Meningkatkan daya tahan kardiofaskuler, kapasitas individu
untuk melakukan aktivitas secara terus menerus dalam waktu relatif lama; dan,
(5) Meningkatkan fleksibelitas, yaitu rentang gerak dalam persendian yang
diperlukan untuk menghasilkan gerakan yang efisien dan mengurangi cidera.
Aspek Neuromuskuler; (1) Meningkatkan keharmonisan antara
fungsi saraf dan otot,; (2) Mengembangkan keterampilan lokomotor, seperti berjalan,
berlari, melompat, meloncat, meluncur, melangkah, mendorong, menderap
mencongklang, bergulir, menarik; (3) Mengembangkan keterampilan non-lokomotor,
seperti mengayun, melengok, meliuk, bergoyang, meregang, menekuk, menggantung,
membongkok; (4) Mengembangkan keterampilan dasar manipulatif, seperti memukul,
menendang, menangkap, memberhentikan, melempar, mengubah arah, memantulkan,
bergulir, memvoli; (5) Mengembangkan faktor-faktor gerak, seperti ketepatan,
irama, rasa gerak, power, waktu reaksi, kelincahan; (6) Mengembangkan
keterampilan olahraga, seperti sepak bola, softball, bola voli, bola basket,
baseball, kasti, rounders, atletik, tennis, tennis meja, beladiri dan lain
sebagainya; dan, (7) Mengembangkan keterampilan
rekreasi, seperti menjelajah, mendaki, berkemah, berenang dan lainnnya.
Aspek Perseptual: (1) Mengembangkan kemampuan menerima dan
membedakan isyarat; (2) Mengembangkan hubungan-hubungan yang berkaitan dengan
tempat atau ruang, yaitu kemampuan mengenali objek yang berada di depan, belakang,
bawah, sebelah kanan, atau di sebelah kiri dari dirinya; (3) Mengembangkan
koordinasi gerak visual, yaitu kemampuan mengkoordinasikan pandangan dengan
keterampilan gerak yang melibatkan tangan, tubuh,. dan atau kaki; (4)
Mengembangkan keseimbangan tubuh (statis dan dinamis), yaitu kemampuan
mempertahankan keseimbangan statis dan dinamis; (5) Mengembangkan dominansi
(dominancy), yaitu konsistensi dalam menggunakan tangan atau kaki kanan dan
kiri dalam melempar atau menendang; dan, (6) Mengembangkan lateralitas
(laterility), yaitu kemampuan membedakan antara sisi kanan atau sisi kiri tubuh
dan di antara bagian dalam kanan atau kiri tubuhnya sendiri.
Aspek Kognitif: (1) Mengembangkan kemampuan menemukan
sesuatu, memahami, memperoleh pengetahuan dan mengambil keputusan; (2)
Meningkatkan pengetahuan tentang peraturan permainan, keselamatan, dan etika;
(3) Mengembangkan kemampuan penggunaan taktik dan strategi dalam aktivitas yang
terorganisasi; (4) Meningkatkan pengetahuan bagaimana fungsi tubuh dan hubungannya
dengan aktivitas jasmani; dan, (5) Menghargai kinerja tubuh; penggunaan
pertimbangan yang berhubungan dengan jarak, waktu, tempat, bentuk, kecepatan,
dan arah yang digunakan dalam mengimplementasikan aktivitas dan dirinya.
Aspek Sosial: (1) Menyesuaikan diri dengan orang lain dan
lingkungan di mana seseorang berada; (2) Mengembangkan kemampuan membuat
pertimbangan dan keputusan dalam kelompok; (3) Belajar berkomunikasi dengan
orang lain; (4) Mengembangkan kemampuan bertukar pikiran dan mengevaluasi ide
dalam kelompok; dan, (5) Mengembangkan kepribadian, sikap, dan nilai agar dapat
berfungsi sebagai anggota.
PEMBANGUNAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA
Menurut Jim lfe (1997), pembangunan masyarakat merupakan
upaya membantu masyarakat agar memiliki kemampuan mengidentifikasi kebutuhannya
dan memanfaatkan sumber daya yang ada serta memberdayakan masyarakat secara
keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sasaran pokok pembangunan, meliputi sasaran individu,
kelompok dan lingkungan sosial. Pada sasaran individu, terutama diarahkan pada
peningkatan pengetahuan, menanamkan sikap dan nilai serta peningkatan
ketrampilan untuk memperoleh pendapatan, pada sasaran kelompok diarahkan agar
memiliki kemampuan berorganisasi, berdiskusi bermusyawarah untuk memecahkan maslah
serta kehidupan kelompok yang dinamis. Sedangkan sasaran lingkungan sosial
diarahkan agar tercipta iklim yang kondusif bagi terjadinya proses pembangunan
dan pengembangan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan analisa quiddtatif (filosofis), manusia jelas
berbeda secara hakiki dengan faktor-faktor pembangunan lainnya. Perbedaan yang
dimaksud terletak pada eksistensi manusia itu sendiri selaku mahluk sadar diri,
sadar tujuan dan sadar lingkungannya.
Kesadaran ini merupakan modal , dalam pemikiran, perencanaan, dan , pengembangan pembangunan nasional Tanpa
adanya modal kemampuan dan kepribadian yang tangguh dari para pemikir dan
perencana pengembangan pembangunan
nasional, dapat dibayangkan bagaimana
jadinya gerakan pembangunan nasional yang berlangsung.
Menurut Margono Slamet, keberhasilan pembangunan masyarakat
memerlukan persyaratan, antara lain: (1) kemampuan masyarakat untuk
menganalisis situasi guna merumuskan kebutuhan dan masalah yang dihadapi serta
mengidentifikasi potensi yang ada untuk dikembangkan; (2) kemampuan untuk
mencetuskan ide/gagasan prakarsa pembanguan; (3) tersedia dan dikuasainya
teknologi; (4) dimilikinya modal (termasuk sarana dan prasarana), dimilikinya
keahlian dan ketrampilan mengelola pembangunan; dan, (5) kepemimpinan yang
mampu mengarahkan dan menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan pembangunan.
PERAN PENDIDIKAN JASMANI DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter merupakan sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut,
baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan,
maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen
pemangku (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan
itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu
pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design
pendidikan karakter untuk setiap jalur,
jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan
konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap
jalur dan jenjang pendidikan.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural tersebut dikelompokkan dalam: (1) Olah Hati (Spiritual and
emotional development), Olah Pikir (intellectual development); (2) Olah Raga
dan Kinestetik (Physical and kinestetic
development); dan, (3) Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan
dengan mengacu pada grand design tersebut.
Membangun karakter peserta didik dapat diintegrasikan dalam
pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan
dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan,
dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif,
tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan
peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan
sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan
peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan
kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta
didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui
kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga
kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan
ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung
jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter
seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif,
penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara
nyata. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan
dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan
karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang,
sesuai standar kompetensi lulusan.
Pendidikan Jasmani merupakan bagian integrasi dari sistem
pendidikan nasional, untuk itu harus mampu tampil menyiapkan manusia yang
berkualitas, sehat dan bugar sebagi kader-kader pembangunan nasional. Menurut
Aip Syarifuddin (1992: 8-14), pendidikan jasmani dapat berperan, antara lain:
(1) pembentukan tubuh--dengan melakukan pendidikan jasmani yang teratur, maka
organ tubuh pun akan bekerja sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya, hal
ini akan berpengaruh terhadap kesehatan baik jasmani maupun rohani; (2)
pembentukan prestasi—dengan
ditanamkannya pembentukan prestasi diharapkan dapat mengembangkannya
serta dapat mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi kelompok dilingkungannya; (3) pembentukan sosial--melalui pendidikan jasmani anak akan mendapatkan
bimbingan pergaulan hidup yang sesuai dengan norma dan ketentuan dengan
unsur-unsur sosial; (4) keseimbangan mental, di mana pemupukan terhadap
kestabilan emosi anak akan diperoleh secara efektif melalui pengalaman langsung
dalam dunia kenyataan, karena mereka terjun langsung di lapangan dalam suasana
yang penuh rangsangan; (5) meningkatkan kecepatan proses berpikir di mana dalam
pendidikan jasmani anak dituntut untuk memiliki daya sensitifitas yang tinggi terhadap
situasi yang dihadapinya. Mereka dituntut untuk memiliki kecepatan dalam proses
berpikir dan kemampuan pengambilan keputusan
dengan cepat dan tepat agar tidak tertinggal dengan lawannya; (6)
pembentukan kepribadian anak di mana pendidikan jasmani berperan sebagai sarana
untuk membentuk dan mengembangkan sifat-sifat kepribadian anak secara positif.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
kader-kader bangsa yang akan memegang tampuk pimpinan baik sebagai pemikir,
pengelola dan perencana akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya apabila
didukung dengan kondisi badan sehat dan prima.
Pendidikan jasmani dapat memberikan sumbangan dalam membangun karakter suatu bangsa dengan
cara penggemblengan pada manusianya sebagai pelaku pembangunan melalui mata
pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan yang diberikan di sekolah dalam
kurun waktu 12 tahun, yaitu sejak di bangku sekolah dasar hingga sekolah
menengah atas. Hal ini merupakan modal dasar yang kokoh untuk menciptakan
kader-kader bangsa yang tangguh seperti dalam semboyan ”Mens sana en corpore
sano” yang artinya di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
PENUTUP
Dalam pembangunan karakter individu, pendidikan jasmani
mempunyai peran yang sangat penting terutama dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia yang dilakukan dengan berbagai aktivitas jasmani, sehingga
diperoleh kesehatan dan kebugaran tubuh. Melalui pendidikan jasmani, baik aspek
fisik (kualitas fisik) maupun aspek non-fisik (kualitas non-fisik) yang
menyangkut kemampuan kerja, berfikir dan keterampilan dapat teratasi. Oleh
sebab itu, keduanya harus saling terkait dan mendukung, sehingga peningkatan
kualitas sumber daya manusia yang tangguh dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Seaton, D.O. et.al. (1974). Physical Education Hand
Book. Englewood Cliffs, N.J. : Prentice
Hall Inc.
Rohman,N. (1979). Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdikbud.
Rijdorp, K. (1971). Gymnologye. Utrecht, Antwerpen: Het
Spectrum N.V.
Noeng Muhadjir. (1987). Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial
Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Kroll. W.P. (1982). Graduate Study and Reseach in Physical
Education. Champaign IIIionis: Human Kinetics Publisher.
Aip Syarifuddin dan Muhadi. (1992). Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan. Jakarta: Depdikbud.
Baley, J.A. and Field, D.A. (1976). Pysical Education and
Physical Educator. Boston: Allyn and Bacon Inc.
Dei Supriadi. (1993). “Pendidikan Untuk Anak Miskin”. Suara
Karya, 19 Juni.
Drowazky, J.V.et.al. (1984). Physical Education Career
Oerspectives and Profesional Foundations. Englewood Cliff, N.J. : Prentice Hall
Inc.
Depdikbud, (1995). Kurikulum Sekolah Menegah Umum GBPP Mata
Pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Kelas I, II, II. Jakarta: Proyek
Sekolah Menengah Umum DIY.
Jim Ife. (1997). Community Development: Creating Community
Alternatives-Vision, Analysis and Practice. South Melbourne.
Senin, 16 Juni 2014
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM OLAHRAGA
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Partisipasi dalam olahraga selalu menjadi bagian
penting di lingkungan manusia. Pada zaman kehidupan modern sekarang ini manusia
tidak bisa dipisahkan dari kegiatan olahraga. Orang-orang mengikuti kegiatan
olahraga dengan alasan kesehatan dan kebugaran, namun ada pula dengan maksud
untuk membangun karakter dan sosialisasi. Olahraga dapat membentuk manusia yang
sehat jasmani dan rohani serta mempunyai watak disiplin dan pada akhirnya akan
terbentuk manusia yang berkualitas, karena pembangunan manusia pada
hakikatnya menuju manusia seutuhnya yang sehat jasmani dan rohani. Olahraga
menjadi bagian penting secara sosial di seluruh dunia. Olahraga dilakukan oleh
seluruh tingkatan mulai usia yang sangat muda sampai usia yang sangat tua,
dengan tujuan dari sekedar kesenangan, rekreasi sampai untuk tujuan profesional.
Dewasa ini perkembangan sosial di dalam olahraga
semakin maju, banyak fenomena yang berpengaruh terhadap dinamika interaksi
sosial masyarakat. Sejalan dengan perkembangannya olahraga akan terus mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan sosial. Banyak pendapat para tokoh
pendidikan yang kemudian berdampak terhadap peradaban manusia terkait tentang
arti pentingnya pendidikan olahraga bagi manusia yang mempunyai kesehatan
secara lahiriah maupun rohaniah. Pendidikan sebagai suatu proses pembinaan
manusia yang berlangsung seumur hidup, pendidikan jasmani, olahraga dan psikologi
olahraga jika dipahami dan dimengerti bagi masyarakat luas maka akan memiliki
peranan sangat penting, yaitu memberikan kesempatan kepada semua lapisan
masyarakat untuk terlibat langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui
aktivitas jasmani, olahraga dan bersosial antar masyarakat yang satu dengan
masyarkat yang lain. Pembekalan pengalaman belajar itu diarahkan untuk membina
pertumbuhan fisik dan pengembangan psikologi yang lebih baik, sekaligus
membentuk pola hidup sehat dan bugar sepanjang hayat. Pendidikan memiliki
sasaran pedagogis, oleh karena itu pendidikan kurang lengkap tanpa adanya
pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, karena gerak sebagai aktivitas
jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang
secara alami berkembang searah dengan perkembangan zaman.
Olahraga bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia, menanamkam nilai moral dan
akhlak mulia, sportifitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan
kesatuan bangsa, memperkokoh ketahanan nasional, serta mengangkat harkat,
martabat, dan kehormatan bangsa.Olahraga dengan segala aspek dan dimensi
kegiatannya yang mengandung unsur pertandingan atau kompetisi, harus disertai
dengan sikap dan perilaku yang didasarkan pada kesadaran moral. Sikap itu
menyatakan kesiapan untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan peraturan.
Kesiapan di dalam olahraga tidak hanya loyal terhadap ketentuan yang tersirat,
tetapi juga kesanggupan untuk membaca dan memutuskan pertimbangan berdasarkan
kata hati terhadap kepatutan tindakan itu yang bersumber dari batiniah.
Olahraga merupakan sebuah cerminan dan sekaligus
menjadi wahana bagi pelumatan nilai-nilai sosial yang mencerminkan potensi dan
keterbatasan masyarakat sekaligus. Manusia mengartikan kepedulian terhadap
olahraga adalah semata-mata menelaah secara kritis tentang potensi olahraga
untuk membeberkan konsep dan fakta bahwa olahraga sebagai aktivitas jasmani
yang berisikan permainan sebagai arena bagi penerapan tindakan moral, oleh
karena itu penghampiran yang digunakan dalam naskah ini terutama pendekatan
psikologis.
Sebagai pendidik harus menyadari bahwa olahraga
penuh dengan masalah, silang pendapat, dan lebih-lebih di lingkungan olahraga
kompetitif, sering ditandai dengan persaingan yang tidak sehat. Seperti halnya
dalam konteks pendidikan jasmani yang mengemban misi kependidikan, olahraga
pada umumnya menyediakan kesempatan yang melimpah bagi setiap individu untuk
berinteraksi, belajar, mengalihkan dan menegakkan nilai moral. Ketegangan moral
yang dialami para pelaku ketika menghadapi situasi yang serba dilematis,
misalnya: konflik antara kepentingan untuk memenangkan pertandingan dan norma
fair play yang secara bersamaan melahirkan konflik moral.
Kegiatan
berolahraga adalah sebagai gambaran kecil seseorang dihadapkan dengan
replika kehidupan yang sesungguhnya, oleh karena itu kegiatan berolahraga
sangat potensial untuk melaksanakan pendidikan moral, apabila dikelola dan
dilaksanakan sebaik-baiknya. Persoalan yang paling menonjol dewasa ini adalah
pengembangan karakter penerapan fair play atau sportifitas sebagai nilai inti
dalam bidang olahraga, sehingga dalam kesempatan berolahraga seseorang
dihadapkan dengan struktur sosial yang dapat diterima dan dinilai adil dan dalam
kesempatan tersebut peraturan yang diterapkan dipandang lebih fair dari
kehidupan yang sesungguhnya.
Dalam kenyataannya, pelaku olahraga dihadapkan
dengan keterbatasan waktu untuk membuat keputusan, karena itu faktor pengalaman
dan konteks kegiatan (misalnya: taraf kompetisi yang sedang dijalani) ikut
mempengaruhi. Bahkan suara dari dalam sering dominan peranannya, sehingga
keputusan-keputusan yang selanjutnya digolongkan sebagai pengembangan karakter,
perilaku fair play yang luar biasa, seperti berlangsung diluar kesadaran sang
pelaku. Karena itu harus disoroti dari sistem nilai yang kita sebut sportifitas
atau fair play. Agar dapat memperagakan perilaku sportif seseorang bukan hanya
mematuhi peraturan yang tertulis tetapi juga harus dapat berbuat sesuai dengan
keputusan hati nurani.
Keprihatinan terhadap fenomena degradasi moral dan
karakter bangsa makin terasa akut dari masa ke masa. Pada kalangan masyarakat
makin mewabah patologi sosial dan penyalah artian praktik kehidupan demokrasi
dengan kebebasan tanpa aturan, disamping hal itu juga ada perkembangan sentimen
ke daerahan dan kesukubangsaan yang makin meluncurkan semangat nasionalisme
sehingga maraknya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, terjadinya
degradasi lingkungan, radikalisme dan otensitas agama. Banyak kalangan
berpandangan bahwa masalah multi dimensional ini harus dipikul oleh institusi
pendidikan. Berbeda dengan peran pendidikan di negara-negara maju yang lebih
terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, pendidikan di Indonesia memikul beban
ganda. Beban ganda itu adalah tidak saja transformasi pengetahuan, tetapi
ditambah lagi dengan enkulturasi berbagai bidang kehidupan, termasuk
pembentukan karakter, fair play dan kepribadian perilaku sportif dalam kerangka nation andcharacter building. Meskipun secara konseptual pokok
pikiran ini relatif lebih mudah dirumuskan, tetapi pada praktiknya sungguh rumit.
Moral karakter berhubungan erat dengan perilaku dan nilai-nilai yang dapat
didefinisikan sebagai sikap yang konsisten untuk merespons situasi melalui
ciri-ciri seperti kebaikan hati, kejujuran, sportifitas, tanggung jawab, fair
play dan penghargaan kepada orang lain.
Pendidikan olahraga yang selama ini banyak dipandang
sebelah mata ternyata banyak mendidik nilai perilaku yang secara riil
dapat diwujudkan apabila direncanakan secara sistematis. Nilai
dasar dalam kehidupan sehari-hari olahraga sering disikapi
sebagai media hiburan, pengisi waktu luang, senam, rekreasi, kegiatan
sosialisasi, dan meningkatkan derajat kesehatan. Secara
fisik olahraga memang terbukti dapat mengurangi risiko terserang penyakit,
meningkatkan kebugaran, memperkuat tulang, mengatur berat badan, dan
mengembangkan keterampilan. Hal itu berbanding terbalik dengan kenyataannya,
nilai-nilai yang lebih penting dalam konteks pendidikanolahraga dan psikologi,
yaitu pembentukan karakter dan kepribadian, masih kurang disadari.
Kepribadian, sosialisasi, dan pendidikan kesehatan, serta kewarganegaraan
hakikatnya adalah agenda penting dalam proses pendidikan. Sebagaimana
pentingnya membaca, menulis, dan berhitung, saat ini perlu ditambahkan lagi
dengan respect and responsibility mengapa, sebab,
sesungguhnya dalam perspektif sejarah sudah sejak lama pendidikan jasmani dan
olahraga dijadikan andalan sebagai wahana yang efektif untuk pembentukan watak,
karakter, dan kepribadian. Bahkan pembentukan sifat kepemimpinan seseorang
dapat dicapai melalui media ini.
Dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat
mengharapkan generasi baru memahami norma salah benar, kearifan dalam hidup
bermasyarakat, memiliki sikap sportif, disiplin, serta taat asas dalam tata
pergaulan. Hidup bersama melalui aktivitas olahraga dapat memberi pelajaran
bahwa permainan dengan tata aturan tertentu dapat menguntungkan semua pihak dan
mencegah konflik perbedaan pandangan. Melalui olahraga juga dapat belajar
bersosialisasi melalui peranannya dan fasilitas seperti ini nyaris luput dari
perhatian layanan publik. Melalui aktivitas seperti ini, pelaku olahraga
memiliki minat sejenis dapat berbagi pengalaman yang dapat ditransformasikan
melalui komunikasi dan interaksi yang kohesif. Peran olahraga sangat penting
dan strategis dalam konteks pengembangankualitas sumber daya manusia yang
sehat, mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki sifat kompetitif yang
tinggi. Selain itu juga penting dalam pengembangan identitas, nasionalisme, dan
kemandirian bangsa.Olahraga yang dikelola secara profesional akan mampu
mengangkat martabat bangsa dalam dunia internasional.
Makalah ini akan membahas tentang memahami
pengembangan karakter dan perilaku sportif dalam olahraga, dengan mengkaji
beberapa sub bahasan antara lain: (1) pengertian karakter, fair play, perilaku
sportif; (2) tiga pengembangan karakter; (3) memahami hubungan antara alasan
dan perilaku moral; (4) panduan latihan dalam pengembangan karakter.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Karakter, Fair Playdan Perilaku Sportif
Mengartikan karakter, fair play dan perilaku sportif
tidaklah mudah dalam olahraga, masing-masing cabang olahraga memiliki arti yang
berbeda-beda, dicontohkan seorang atlet golf mungkin saja mengartikannya dengan
tidak berbicara dengan lawan selama pertandingan, namun lain halnya dengan seorang
pemain baseball yang menganggap berbicara dengan pemain lawan dalam lapangan
bukanlah sebuah masalah. Dengan demikian sesungguhnya tidak ada pengertian
secara umum yang dapat diterima oleh setiap cabang olahraga tentang perilaku
positif dalam olahraga.
Karakter dan perilaku sportif dalam olahraga sulit
diartikan, keduanya berkaitan dengan konteks umum moral dalam lingkup olahraga.
Karakter dan perilaku sportif dalam olahraga berkaitan dengan kepercayaan,
keputusan, dan tindakan yang mempertimbangkan hal mana yang baik dan etis serta
hal mana yang salah dan tidak etis dalam dunia olahraga. Moral dalam olahraga
berkaitan erat dengan 3 hal, yakni fair play, perilaku sportif, dan karakter.
1.
Fair Play
Olahraga
dengan segala aspek dan dimensinya yaitu mengandung unsur pertandingan dan
kompetisi, harus disertai dengan sikap dan perilaku berdasarkan kesadaran
moral. Implementasi pertandingan tidak terbatas pada ketentuan yang
tersurat, tetapi juga kesanggupan mental menggunakan akal sehat. Kepatutan
tindakan itu bersumber dari hati nurani yang disebut dengan istilah fair play.
Model kompetisi yang dijiwai fair play telah diimplementasikan pada
kompetisi nasional dalam forum Olimpiade Olahraga Sekolah Nasional (O2SN) dan
forum internasional, yaitu ASEAN Primary School Sport Olympiade (APSSO).
Hasilnya berpengaruh positif dan menggembirakan karena penerapan tersebut
berimplikasi pada perilaku peserta kompetisi yang lebih mencerminkan jiwa
sportivitas, kejujuran, persahabatan, rasa hormat, dan tanggung jawab dengan
segala dimensinya. Istilah fair play terkandung makna bahwa setiap
penyelenggaraan olahraga harus dijiwai oleh semangat kejujuran dan
tunduk pada tata aturan, baik yang tersurat maupun tersirat. Setiap
pertandingan harus menjunjung tinggi sportifitas, menghormati keputusan
wasit/juri, serta menghargai lawan, baik saat bertanding maupun di luar arena
pertandingan. Kemenangan dalam suatu pertandingan sangat penting, tetapi
ada hal yang lebih penting lagi yaitu menampilkan keterampilan terbaik dengan
semangat persahabatan. Lawan bertanding sejatinya adalah juga kawan bermain.
Pendidikan olahraga adalah wahana yang sangat ampuh bagi persemaian karakter
dan kepribadian anak bangsa apabila dikembangkan secara sistematis. Olahraga
mengandung dimensi nilai dan perilaku sportif yang multi dimensional. Pertama,
sikap sportif, kejujuran, menghargai teman dan saling mendukung, membantu dan
penuh semangat kompetitif. Kedua, sikap kerja sama, team work, saling percaya, berbagi, saling ketergantungan, dan
kecakapan membuat keputusan bertindak. Ketiga, sikap dan watak yang senantiasa
optimistis, antusias, partisipasi, gembira, dan humoris. Keempat, pengembangan
individu yang kreatif, penuh inisiatif, kepemimpinan, determinasi, kerja keras,
kepercayaan diri, kebebasan bertindak, dan kepuasan diri. Keunggulan pendidikan
olahraga dalam pembentukan karakter terletak pada konkretisasi nilai-nilai ke
dalam perilaku yang merupakan suatu ciri yang tidak mudah dilakukan pada
substansi yang lain dalam kurikulum dan pembelajaran yang cenderung
teoristik, abstrak, dan verbalistik. Moral karakter berhubungan erat dengan
perilaku dan nilai-nilai yang dapat didefinisikan sebagai sikap yang konsisten
untuk merespons situasi melalui ciri-ciri seperti kebaikan hati, kejujuran,
sportifitas, tanggung jawab, dan penghargaan kepada orang lain tetapi
nilai-nilai yang lebih penting dalam konteks pendidikan dan psikologi, yaitu
pembentukan karakter dan kepribadian, masih kurang disadari. Peran olahraga
kian penting dan strategis dalam konteks pengembangan kualitas sumber daya
manusia yang sehat, mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki sifat kompetitif
yang tinggi.
Fair
play adalah kebesaran hati terhadap lawan yang menimbulkan perhubungan
kemanusian yang akrab dan hangat dan mesra. Fair play merupakan kesadaran yang
selalu melekat, bahwa lawan bertanding adalah kawan bertanding yang diikat oleh
pesaudaraan olahraga. Jadi fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan
martabat ksatria pada olahraga. Nilai fair play melandasi pembentukan sikap,
dan selanjutnya sikap menjadi landasan perilaku. Sebagai konsep moral fair play
berisi penghargaan terhadap lawan serta harga diri yang berkaitan antara kedua
belah pihak memandang lawannya sebagai mitranya. Keseluruhan dan upaya dan
perjuangan itu dilaksanakan dengan bertumpu pada standar moral yang di hayati
oleh masing-masing belah pihak. Fair play adalah suatu bentuk harga diri yang
tercermin dari : (1) Kejujuran dan rasa keadilan; (2) Rasa hormat kepada lawan,
baik dalam kekalahan maupun dalam kemenangan; (3) Sikap dan perbuatan ksatria,
tanpa pamrih; (4)Sikap tegas dan berwibawa, apabila terjadi apabila lawan atau
penonton tidak berbuat fair play; (5) Kerendahan hati dalam kemenangan, dan
ketenangan pengendalian diri dalam kekalahan.
Fair
play itu menyatu dengan konsep persahabatan dan menghormati yang lain dan
selalu bermain dalam semangat sejati. Fair play dimaknakan sebagai bukan hanya
unjuk perilaku dan menyatu dengan persoalan yang berkenaan dengan dihindarinya
ulah penipuan, main berpura-pura atau, doping, kekerasan (baik fisik maupun
ungkapan kata-kata), eksploitasi, memanfaatkan peluang, komersialisasi yang
berlebih-lebihan atau melampui batas korupsi. Fairplay dapat digambarkan dengan
istilah” semangat olahragawan sejati”, yang mengungkapkan bagaimana seseorang
bermain serta bagaimana cara bersikap dan bertindak terhadap orang lain baik
pada saat bermain maupun pada saat lainnya yang masih berkaitan dengan situasi
pertandingan. Fair play akan terwujud apabila terpenuhi perilaku tersebut di
atas, dan sangat dibutuhkan kesungguhan keberanian moral dan keberanian untuk
menanggung resiko. Dalam kaitan ini dibutuhkan sikap ksatria yang menolak
kemenangan dengan segala cara.
Nilai
dalam fair play merupakan rujukan perilaku, sesuatu yang dianggap “luhur” dan
menjadi pedoman hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam bidang
keolahragaan, persoalan ini kian relevan untuk dibahas. Kecenderungan sikap dan
partisipasi dalam tindakan dari sekelompok warga masyarakat, termasuk
organisasi induk olahraga, yang berusaha untuk meningkatkan prestasi,
membangkitkan masalah yang semakin kompleks dan mendalam, hal ini dikarenakan
nilai-nilai ideal olahraga makin luhur, di geser oleh nilai “baru” sebagai
konsekuensi dari perubahan sosial. Kegiatan dalam keolahragaan merupakan
cerminan dalam lingkup kecil dari tatanan masyarakat yang lebih luas. Nilai
dalam masyarakat telah berubah, dan hal itu juga berdampak nyata ke dalam
olahraga.
Penerapan
fair play atau sportifitas sebagai nilai inti dalam bidang olahraga menjadi
persoalan yang menonjol dewasa ini. Tantangannya muncul dalam aneka perilaku
atlet, pelatih,ofisial, dan bahkan juga dari kalangan insan pers. Permasalahan
yang paling menonjol adalah upaya
memperoleh kemenangan yang disertai dengan upaya bukan mengandalkan keunggulan
teknik dan taktik dan yang diperagakan adalah gejala kekerasan dalam olahraga
dan kecendrungan untuk memaksakan kehendak, seperti mencampuri keputusan wasit.
Sebaliknya, wasit itu sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk
berdiri sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri di
tengah-tengah, tanpa memihak, sesuai dengan fungsinya.
Olahraga dieksploitasi oleh politik, ideologi, dan
dagang karena olahraga sangat tenar dan digemari. Bahkan sekarang ini, sejak
logika politik berubah menjadi logika ekonomi, pengelolaan olahraga dengan
tujuan yang bersifat komerssialisasi sangat menonjol, dan bila kita tidak
waspada, ancaman terhadap fair play semakin besar. Olahraga mengalami bahaya
untuk kehilangan sifat-sifatnya yang murni, yang semestinya olahraga berisi
pertandingan yang bersifat ksatria dan membentuk kepribadian, dapat berubah
menjadi perjuangan yang tidak kenal ampun, yang dikuasai oleh pikiran prestise,
popularitas dan uang. Keadaan demikian perlu disosialisasikan sejak dini, sejak
seseorang mulai belajar olahraga dengan maksud untuk melindungi olahraga dari
bahaya-bahaya yang mengancamnya. Berkenaan dengan hal ini kiranya perlu
disebarluaskan di Indonesia, gagasan dan praktik berolahraga yang dijiwai oleh
semangat sportifitas dan alangkah baiknya jika selalu dapat diterapkan
praktik-praktik yang memperkokoh pengalaman prilaku yang adil dan jujur. Sangat
tepat apabila dilembagakan pemberian penghargaan kepada berbagai pihak yang
menjadi pelaku olahraga yang menunjukkan perilaku yang terpuji yang meliputi
dalam konsep fair play.
Tindakan
fair play diperlukan pada kompetisi-kompetisi olahraga dimana semua peserta
memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi pemenang. Tindakan fair
play tidak hanya membutuhkan pemahaman dan ketaatan pada peraturan-peraturan
formal suatu permainan, tetapi juga pada semangat kerjasama dan peraturan tidak
tertulis yang ada untuk membuat sebuah permainan atau pertandingan bersifat
adil. Dalam hal inilah peran orangtua, pelatih, dan official untuk mengenalkan
secara intensif tindakan fair play sejak dini selama jenjang karir peserta
didik.
2.
Perilaku Sportif
Perilaku
sportif dalam olahraga melibatkan sebuah kerja keras menuju sukses yang
berkelanjutan yang didukung dengan sifat dan komitmen pada semangat permainan,
sehingga etika-etika standar dalam olahraga tersebut dapat lebih dipentingkan
daripada kepentingan strategi permainan ketika keduanya berselisih, dengan kata
lain seorang atlet akan berlaku sportif meskipun itu bisa menyebabkan kekalahan
dalam suatu pertandingan. Juara tenis terbuka Patrick Raffer menunjukkan
Perilaku sportif dalam olahraga pada saat dia menerima saat diberitahu bahwa
keputusan hakim garis tidak benar, meskipun itu berarti kekalahan baginya.
Perilaku
sportif olahraga berdasarkan pada pemahaman dasar konsep olahraga para atlet.
Seorang psikolog olahraga asal Canada, Robert Vallerand dan rekan-rekannya
mengadakan sebuah penelitian yang bertujuan untuk memahami bagaimana para atlet
itu sendiri memahami Perilaku sportif olahraga. Secara khusus penelitian
tersebut mengadakan survey terhadap 1.056 atlet Perancis dan Canada yang
berusia antara 10-18 tahun yang mewakili tujuh cabang olahraga yang berbeda.
Penelitian ini meneliti tentang Perilaku sportif olahraga dengan melakukan
survei langsung pada para atlet. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi
Perilaku sportif dalam olahraga terungkap dalam penelitian ini. Kelima faktor
tersebut adalah: (1) Komitmen penuh pada keikutsertaan (berpartisipasi dan
bekerja keras selama latihan dan pertandingan, mempelajari kesalahan dan
berusaha untuk memperbaiki); (2) Menghormati dan memperhatikan peraturan dan
ofisial (bahkan saat offisial tampak kurang kompeten); (3) Menghormati dan
memperhatikan kebiasaan-kebiasaan sosial (berjabat tangan setelah pertandingan,
mengakui penampilan baik dari lawan, menjadi pihak kalah yang baik); (4)
Menghormati dan memperhatikan lawan (meminjamkan peralatan pada lawan, setuju
untuk tetap bertanding meskipun tim lawan dating terlambat, menolak untuk
mengambil keuntungan saat lawan cedera); (5) Mencegah perilaku dan sifat-sifat
buruk dalam keikutsertaan (menolak sebuah pendekatan untuk menang dengan cara
apapun, tidak menunjukkan kemarahan setelah membuat kesalahan, tidak
berkompetisi hanya untuk penghargaan dan hadiah perorangan).
Kesimpulan
penelitian tersebut adalah mengisyaratkan bahwa para atlet mengartikan perilaku
sportif olahraga sebagai “menghormati dan memperhatikan peraturan-peraturan,
kebiasaan sosial, pihak lawan, serta komitmen penuh seseorang pada sebuah
olahraga dan ketiadaan pendekatan-pendekatan negatif dalam keikutsertaan
olahraga.
Dapat
disimpulkan bahwa perilaku sportif olahraga bisa diterima secara luas dalam
semua cabang olahraga. Perilaku sportif dalam olahraga harus diklasifikasikan
secara spesifik, karena hal tersebut berkaitan dengan jenis olahraga, level
pertandingan, dan umur peserta. Namun meskipun tidak terdapat pengertian secara
umum tentang perilaku sportif olahraga, sangat penting bagi kita untuk
mengidentifikasi setiap perilaku sportif olahraga dan berusaha untuk
mengembangkan pengertian spesifik dari hal tersebut karena kita bekerja secara
profesional dalam olahraga, pendidikan olahraga, dan lingkup kepelatihan.
3.
Karakter
Menurut
bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli
psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang
mengarahkan tindakan seorang individu, oleh karena itu apabila pengetahuan
mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula
bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.
Karakter
didefinisikan sebagai suatu
tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam
pikiran, dandapat disebut dengan kebiasaan. Unsur terpenting dalam
pembentukan karakter adalah pikiran, karena di dalamnya terdapat seluruh
program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya dan merupakan pelopor
segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya
dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Program
yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka
perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam dan hasil dari perilaku tersebut
membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, apabila program tersebut tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa
kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Dari hal di atas dapat di kaji bahwa
pikiran harus mendapatkan perhatian serius, dengan memahami cara kerja pikiran,
seseorang akan memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Kemampuan
seseorang dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, maka seseorang juga
akan mudah mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya,
jika pikiran seseorang lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan
kejahatan, maka akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan yang disadari
maupun tidak. Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem
kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan,
kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Setiap individu
akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image),
dan kebiasaan (habit) yang unik. Apabila sistem kepercayaannya benar dan
selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan
terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, apabila sistem kepercayaannya
tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka
kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Karakter
dalam olahraga merujuk pada sebuah kesatuan karakteristik yang dapat
dikembangkan dalam olahraga (pada umumnya mengandung nilai-nilai moral bahwa
kita semua menginginkan para atlet untuk mengembangkan karakter yang baik dalam
olahraga). Pihak-pihak yang mendukung adanya manfaat-manfaat pengembangan
karakter dalam olahraga berpendapat bahwa atlet (peserta) belajar untuk
mengatasi segala rintangan, bekerjasama dengan rekan satu tim, mengembangkan
kemampuan kontrol diri, dan tahan terhadap kekalahan. Karakter dapat dilihat
sebagai sebuah konsep menyeluruh yang memadukan antara fair play dan perilaku positif
dalam olahraga dengan dua nilai penting lain yaitu perasaan dan integritas,
oleh karena itu karakter dalam olahraga menggabungkan empat nilai yang saling
terkait: perasaan, keadilan, perilaku sportif dalam olahraga, dan integritas. Perasaan
dalam hal ini berkaitan dengan empati, yaitu sebuah kemampuan untuk memahami
dan menghargai perasaan orang lain. Pada saat seseorang menggunakan perasaan
kepada orang lain, maka akan berusaha untuk memahami sudut pandang atau pendapat-pendapat
orang lain. Integritasadalah kemampuan untuk mempertahankan moral dan keadilan
seseorang berdampingan dengan keyakinan bahwa seseorang akan bisa memenuhi
tujuan moral seseorang. Pada intinya, hal tersebut merupakan kesadaran moral
seorang atlet atau pelatih dan merupakan sebuah keyakinan bahwa seseorang akan
melakukan hal yang benar dan baik saat dihadapkan dengan sebuah dilema moral.
Kesimpulan
dari paparan di atas adalah pada saat membicarakan karakter dalam olahraga akan
merujuk pada usaha untuk memahami peraturan dan dasar-dasar perilaku olahraga yang
diharapkan dari peserta (perilaku sportif dalam olahraga), mematuhi peraturan
dan semangat peraturan pada saat bertanding (keadilan), memiliki kepekaan rasa
atau mampu untuk memahami perasaan-perasaan orang lain dan memiliki integritas
atau menjadi percaya diri bahwa seseorang akan tahu mana yang benar dan akan
menerapkan hal yang benar, walaupun pada saat pilihan tersebut merupakan
alternatif yang sangat sulit.
B.
PENGEMBANGAN
KARAKTER DAN PERILAKU POSITIF OLAHRAGA: TIGA PENDEKATAN PENGEMBANGAN
1. Pendekatan
Pembelajaran Sosial
Teori
pendekatan pembelajaran sosial diperkenalkan oleh Albert Bandura. Menurut teori
pendekatan pembelajaran perkembangan karakter, sikap dan perilaku positif
olahraga tertentu yang dianggap sesuai oleh masyarakat dipelajari melalui “modelling”(percontohan) dan pembelajaran
observasi, penguatan, dan perbandingan sosial untuk selanjutanya diterima dan
digunakan untuk membimbing perilaku. Pendekatan pembelajaran sosial
mengemukakan bahwa sejarah pembelajaran sosial masyarakat menentukan tingkatan
perilaku positif olahraga mereka, meskipun pada saat ini menekankan bahwa
perilaku juga dipengaruhi oleh interaksi personal dan faktor-faktor
situasional. Sebagai contoh, suatu kelas olahraga mendapatkan pembelajaran
dengan materi kebugaran, dengan mengetahui bahwa anak-anak akan mendapatkan
hadiah pada saat melaporkan sit-up yang salah pada gurunya. Arif belajar di
kelas olahraga tersebut dan bukan merupakan suatu masalah untuk melakukan
kecurangan pada latihan-latihan kebugaran, karena menginginkan hadiah dan
perhatian dari gurunya, Arif meniru perilaku siswa lain yang dibandingkan
dengan dirinya dan mulai melaporkan nilai sit-up lebih banyak daripada yang
sebenarnya dilakukan. Dari peningkatan nilai sit-upnya, kemudian Arif mendapatkan hadiah. Hal itulah yang
dipelajarinya dari hasil observasinya terhadap teman-teman lain dan
pengalamannya sendiri, jika Arif berbohong tentang jumlah sit-upnya maka Arif
menerima bantuan yang tidak seharusnya didapatkan dalam pembelajaran olahraga
tersebut, di lain pihak seorang anak yang egois mungkin saja belajar untuk
berbagi dan lebih perhatian dengan mengetahui bahwa teman sekelasnya menerima
hadiah dan perhatian dengan membantu. Setelah itu saat anak ini meniru tindakan
tersebut (membantu yang lain), juga akan mendapatkan hadiah berupa perasaan sosialnya
dikuatkan, oleh karena itu, baik sifat positif maupun negatif dipengaruhi oleh
proses pembelajaran sosial.
Dalam
sebuah teori pembelajaran sosial, anak-anak laki-laki kelas lima yang berlaku
tidak sportif (seperti mengejek) menerima instruksi tentang perilaku tidak
patutnya, melihat perilaku positif yang dipertontonkan dan terlibat dalam
sistem penguatan. Setelah beberapa waktu, sistem penguatan tersebut bekerja
efektif, meskipun mereka cenderung hanya mengurangi perilaku
kurang patutnya daripada menerapkan perilaku-perilaku positif yang diharapkan.
Mantan
petenis Bjon Borg dikenal atas perilaku positifnya, tetapi juga tidak selalu
bertindak dengan perilaku positifnya. Pada saat umurnya 12 tahun, Borg melempar
raketnya dengan kesal, menunjukkn rasa kemarahan dalam lapangan. Tindakan
seperti itu dikuranginya dengan cepat karena ibunya tidak akan mentolerir
hal-hal demikian. Raket Borg akhirnya disita dan dilarang bermain tennis selama
6 bulan.
2.
Pendekatan Pengembangan
Struktural
Pendekatan
ini tidak berfokus pada modeling,
penguatan, dan pembandingan sosial, melainkan berfokus pada bagaimana
perkembangan psikologi dan perkembangan perubahan-perubahan pola pikir dan
keputusan pada perilaku anak yang berinteraksi dengan pengalaman lingkungan
untuk membentuk pertimbangan moral. Para psikolog olahraga telah menarik
pengertian-pengertian spesifik tentang perkembangan moral, pertimbangan moral,
dan perilaku moral. Moral dalam pendekatan pengembangan struktural ini bukan
berarti moral dalam nilai-nilai religius. (1) Pertimbangan moral diartikan
sebagai proses keputusan di mana seseorang menentukan kebenaran dan kesalahan
dalam sebuah tujuan tindakan, oleh karena itu pertimbangan moral berhubungan
dengan bagaimana seseorang memutuskan apakah beberapa tujuan tindakan, contoh:
jika seorang pelatih melanggar peraturan dari Asosiasi Persatuan atlet Nasional
dengan membayarkan penerbangan seorang atlet untuk melihat kematian ibunya)
merupakan suatu tindakan yang benar atau salah. (2) Perkembangan moral adalah
sebuah proses pengalaman dan pertumbuhan saat seseorang mengembangkan
kapasitasnya untuk berpikir dengan moralnya, contoh: pada penyusunan sebuah
kurikulum pendidikan olahraga yang berjangkauan luas, seorang koordinator
wilayah ingin memahami pengalaman dan perkembangan kognitif apakah yang paling
tepat untuk meningkatkan kemampuan anak-anak untuk menentukan kebenaran dan
kesalahan dalam sebuah tindakan. (3) Perilaku moral adalah melakukan sebuah
tindakan yang dianggap benar atau salah.
Pertimbangan
moral dihasilkan dari pengalaman individu, perkembangan psikologis, dan
perkembangan anak. Pertimbangan moral dianggap mampu untuk membimbing perilaku
moraldan dilihat sebagai serangkaian dari prinsip-prinsip etik umum yang
mendasari perilaku-perilaku situasional tertentu dari perilaku positif
olahraga.
Para
ahli dari pendekatan ini berpendapat bahwa kemampuan untuk berfikir secara
moral bergantung pada tingkatan perkembangan kognitif atau mental seseorang.
Seorang anak berusia 4tahun hanya mampu untuk berfikir tentang benda-benda
konkret, secara tidak sengaja didorong di sekolah dan anak akan merespon dengan
memukul anak yang mendorongnya. Anak ini tidak mampu untuk memahami maksud yang
di pahami hanya ada anak yang mendorongnya, akan tetapi apabila hal yang sama
diperlakukan pada anak berusia 11 tahun yang berkembang normal secara kognitif
dalam pertumbuhannya, anak terseebut tidak akan merespon dengan hal yang sama
karena ia telah memahami maksud dan memahami bahwa temannya tidak sengaja
mendorongnya. Para ahli melihat pendekatan ini sebagai pertimbangan moral
sebagai sesuatu yang bergantung pada perkembangan kognitif dan moral seseorang.
Tahapan perkembangan moral pada manusia:
1)
Level 1. External control stage (tahap kontrol
external).
Pada level ini anak-anak memutuskan benar atau salah
berdasarkan pada kepentingan dirinya sendiri dan secara khusus pada hasil dari
tindakannya sendiri.
2)
Level 2. An eye-for-an-eye orientation.
Pada level ini, anak masih berfokus pada
memaksimalkan kepentingan diri sendiri, tetapi pada tahap ini anak tidak lagi
hanya melihat pada tindakan yang dihasilkan. Pada tahap ini anak mulai bisa
berkompromi dan melakukakan perbandingan untuk mencapai kepentingannya.
Misalnya: seorang anak yang mencurangi lawannya dalam permainan, anak tersebut
melakukan hal itu karena melihat lawannya mencurangi temannya dan dianggap
tidak masalah.
3)
Level 3. The “golden rule” or “altruistic view”-treat
others like you would like to be treated.
Pada tahap
ini, seseorang memperlakukan orang lain seperti bagaimana dirinya ingin
diperlakukan hal yang sama oleh orang lain. Level ini sudah berbeda dari dua
level sebelumnya karena kepentingan diri sendiri bukan lagi sebuah fokus utama.
4)
Level 4. Following external rules and regulations.
Pada level
ini, seseoorang berfokus pada mematuhi peraturan-peraturan dari luar. seseorang
telah belajar bahwa tidak semua orang bisa dipercaya untuk melakukan hal yang
benar dan juga telah menyadari bahwa aturan-aturan resmi juga dibuat untuk
kepentingan umum.
5)
Level 5. What is best for all involved.
Level ini berfokus pada apa yang terbaik bagi semua
orang yang terlibat, apakah sesuai atau tidak dengan aturan resmi dan
peraturan-peraturan lain. Tahap pemikiran ini dianggap sebagai pola pikir yang
paling dewasa karena setiap individu berusaha mencapai kepentingan bersama
melalui kesepakatan bersama atau keseimbangan moral.
3.
Pendekatan
Pikologi Sosial
Pendekatan
dalam Psikologi Sosial adalah pendekatan untuk memahami perilaku seseorang.
Pendekatan-pendekatan dalam psikologi sosial antara lain:
1)
Model Pendekatan disposisi
kepribadian (traits
personality approach).
Pendekatan disposisi kepribadian
dikembangkan behaviorisme dan
conceptualisme. Asumsi yang menjadi
penyebab perilaku sosial dikarenakan sifat-sifat kepribadian yang melekat
pada diri individu dan seperti sudah built
in dalam diri yang bersifat permanen dan resisten. Kesimpulannya
menjelaskan penyebab dari perilaku sosial dikarenakan factor-faktor sifat
kepribadian yang sifatnya bawaan bersifat permanen sehingga membentuk
karakter.
2)
Model pendekatan situasi
lingkungan (Situational
Enviroment Approach).
Pendekatan
dianut dan dikembangkan oleh Empirisme dan Humanisme. Perilaku berubah dari satu
situasi ke situasi yang lain. Kesimpulannya situasi mendominasi pengaruh
perilaku sosial
3)
Model Pendekatan Interaksi (Interaction Approach).
Pendekatan ini adalah konvergen
antara model pendekatan disposisi kepribadian dan situasi lingkungan
dengan memberikan win win solutions.
Bawaan dan situasi saling berinteraksi sehingga membentuk kontribusi pengaruh
perilaku sosial dan yang mendominasi tergantung intensitas antara
keduannya.
Pendekatan
psikologi sosial harus dilihat dan dikaji secara luas, yakni pada moral dan karakter yang menjadi
pertimbangan dalam unsur-unsur kepribadian pada pendekatan pengembangan
struktural ditambah dengan jangkauan yang luas dari faktor-faktor sosial yang
melampaui batas dari bagian-bagian perbandingan sebuah pendekatan pembelajaran
sosial. Salah satu bagian penting dari sudut pandang ini adalah gagasan bahwa
agen sosial seperti orang tua dan pelatih mengartikan dan menerapkan perilaku
positif dalam olahraga. Dalan hal ini bertujuan untuk menilik dalam hal yang
lebih kompleks, sudut pandang seseorang yang dipengaruhi oleh situasi yang
mempertimbangkan keberagaman dari factor-faktor personal dan situasional dalam
penetapan perilaku positif dalam olahraga.
Perkembangan
karakter mengalami kemajuan berdasarkan dari pengambilan keputusan seseorang
tentang kebaikan dan keburukan sebuah tindakan yang awalnya didasarkan pada
kepentingan diri sendiri menjadi tindakan yang didasarkan pada kepentingan
bersama bagi semua orang yang terlibat. Cara untuk memahami bagaimana cara
untuk meningkatkan perkembangan karakter dan perilaku sportif olahraga, penting
bagi kita untuk memperhatikan sikap-sikap, nilai-nilai, dan norma-norma budaya
dari tiap-tiap individu maupun kelompok.
C.
PERKEMBANGAN
MORAL
Beberapa konsep yang memerlukan penjelasan, antara
lain: perilaku moral (moral behavior),
perilaku tidak bermoral (immoral behavior), perilaku
di luar kesadaran
moral (unmoral behavior), dan
perkembangan moral (moral development)
itu sendiri. Perilaku moral adalah perilaku yang mengikuti kode moral kelompok
masyarakat tertentu. Moral dalam hal ini berarti adat kebiasaan atau tradisi.
Perilaku tidak bermoral berarti perilaku yang gagal mematuhi harapan kelompok
sosial tersebut. Ketidakpatuhan ini bukan karena ketidakmampuan memahami
harapan kelompok tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidaksetujuan
terhadap harapan kelompok sosial tersebut, atau karena kurang merasa wajib
untuk mematuhinya. Perilaku di luar kesadaran moral adalah perilaku yang
menyimpang dari harapan kelompok sosial yang lebih disebabkan oleh ketidakmampuan
yang bersangkutan dalam memahami harapan kelompok sosial. Perkembangan moral
bergantung pada perkembangan intelektual seseorang. Ada hubungan tetap antara
agresi dan orang-orang dengan kedewasaan penalaran moral yang kurang. Orang
yang memiliki tingkat kedewasaan penalaran moral yang kurang akan bertindak
agresif pada suatu ketika atau waktu-waktu tertentu, tetapi meskipun agresi
dihubungkan dengan ketidakdewasaan penalaran moral, hubungan antara alasan dan
perilaku tidak dimengerti dengan sempurna.
Alasan bahwa hubungan antara penalaran moral dan
perilaku moral tidak mutlak adalah bahwa beberapa langkah harus diambil untuk
mengartikan penalaran moral menjadi tindakan moral. Empat tahapan tindakan
moral pada hubungan penalaran moral dan perilaku:
1) Mengartikan
situasi sebagai salah satu yang melibatkan beberapa macam penalaran moral.
2) Memutuskan
tujuan terbaik dari tindakan moral
3) Membuat
pilihan untuk bertindak dengan moral.
4) Menerapkan
sebuah tanggapan moral.
Sebagai contoh Brian sebagai seorang kapten tim
tenis yang harus menentukan servis lawan dalam sebuah pertandingan apakah masuk
atau keluar. Jika brian berkata keluar maka timnya menang dan jika brian
berkata masuk, maka timnya kalah. Merujuk pada keempat tahapan di atas, Brian
harus mampu untuk menganalisis situasi dalam kejadian ini yang melibatkan
sebuah pilihan moral. Kemampuannya untuk melihat perasaan orang lain sangat
penting di sini. Karena tentu saja brian akan merasakan hal yang sama jika dia
dicurangi oleh lawannya.
Oleh karena itu, brian harus mempertimbangkan
berbagai pilihan moral yang berat (membuat keputusan yang baik, berbohong, atau
hanya dengan mengatakan tidak tahu apakah servis itu masuk atau tidak). Dalam
hal ini brian harus menggunakan penalaran moralnya dengan baik untuk
mengartikan sebuah tujuan dari tindakan moralnya. Brian kemudian terlibat dalam
situasi dimana harus memilih antara prioritas pada nilai-nilai moral atau
keuntungan diri sendiri. Apakah mau jujur atau berbohong dan keterkaitan
keputusannya dengan sebuah kemenangan bagi timnya mungkin mempengaruhi
keputusannya.
Pada akhirnya Brian harus memimpin sumber daya fisik
dan psikologisnya untuk menerjemahkan keputusan moralnya ke dalam sebuah
tindakan moral. Sebagai contoh, Brian harus percaya diri bahwa dia akan mampu
mengatasi rekan-rekan timnya yang mungkin saja tidak menerima jika memutuskan
servis tersebut masuk dan membuat timnya kalah. Mengetahui bagaimana seseorang
beralasan secara moral dan bagaimana mereka menerjemahkan ke dalam sebuah
tindakan sangatlah penting, tidak hanya dengan rekan kerja disekitar, namun
juga untuk membimbing kepelatihannya.
D.
STRATEGI
UNTUK MENINGKATKAN PENGEMBANGAN KARAKTER
1)
Menetapkan perilaku sportif dalam
olahraga dalam program.
Seperti yang telah
diketahui bahwa tidak ada pengertian umum dari perilaku
sportifdalam olahraga,
oleh karena itu akan sulit untuk menerjemahkan hal apa yang
dianggap patut dan tidak.
Tabel dibawah ini bisa menjadi contoh dari peraturan tertulis dalam
program kepelatihan anak.
Bidang Perhatian
|
Perilaku positif
|
Perilaku negative
|
Perilaku pada offisial
|
Bertanya pada offisial dengan cara yang pantas
|
Beradu pendapat dengan offisial, mengejek official
|
Perilaku pada lawan
|
Memperlakukan semua lawan dengan hormat dan penuh
martabat setiap waktu
|
Beradu pendapat dengan lawan, bertindak kasar,
bertindak agresif pada lawan
|
Perilaku pada rekan tim
|
Hanya memberikan kritik yang membangun dan dorongan
positif
|
Berkomentar negatif atau kasar, mengejek atau berdebat dengan rekan
kerja
|
Perilaku terhadap penonton
|
Hanya berkomentar positif pada penonton
|
Berdebat dengan penonton, mengejek, membuat kesan
buruk pada penonton
|
Penerimaan peraturan dan pelanggaran
|
Menaati semua peraturan
|
Membuat keuntungan pada celah peraturan (misalnya,
saat setiap anak harus bermain, pelatih member tahu anak yang kurang memiliki
kemampuan untuk berpura-pura sakit saat hari pertandingan penting)
|
2)
Memperkuat dan mendorong perilaku sportif dalam
olahraga.
Memperkuat dan mendorong kebiasaan-kebiasaan dan
perilaku-perilaku yang
diterapkan dalam program sebagai perilaku sportif dalam olahraga. Menghukum dan
melarang perilaku yang tidak patut, dalam hal ini tindakan yang konsisten
sangat diperlukan.
3)
Mencontohkan perilaku yang sesuai.
Banyak orang
yang meniru tindakan dari para atlet professional karena banyak dari mereka
yang mempertontonkan perilaku sportif dalam
olahraga dan tidak jarang
terdapat para professional yang menunjukkan perilaku negatif, disinilah
peran para pelatih untuk menerjemahkan pesan yang dimaksud atas perilaku
tersebut pada para atlet.
4)
Menjelaskan kenapa tindakan tertetu
dianggap sesuai.
Hanya orang-orang yang telah
menyerap prinsip-prinsip moral
dengan baik yang mampu memutuskan yang mana yang benar dan salah.Pada orang-orang seperti
itulah kita bisa berharap
mereka bisa bersikap
baik dalam berbagai situasi.Sebagai
pelaku olahraga harus memiliki sebuah dasar dalam berbagai komponen
yang ada dalam kriteria
perilaku sportifdalam olahraga. Dasar-dasar tersebut menyediakan penjelasan-penjelasan berdasar
pada unsur-unsur penting
yang mendasari tingkatan-tingkatan
pertimbangan moral, yaitu altruism (tindakan
suka rela yang dilakukan oleh seseorang atau pun kelompok orang untuk menolong
orang lain tanpa
mengharapkan imbalan apa pun),aturan yang
tidak memihak, dan keseimbangan
moralberdasarkan kesepakatan bersama yang ditentukanharus secara
berkelanjutan menyampaikan dasar-dasar tersebut.
5)
Membahas dilema moral dan
pilihan-pilihan.
Untuk sebuah pendidikan moral yang
efektif, peserta harus terlibat dalam dialog dan diskusi kelompok tentang
pilihan-pilihan dan dilema
moral.Dilema Moral mengharuskan untuk memutuskan mana yang betul dan salah
secara moral.Pelanggaran aturan, kapan dan kenapa atlet yang cedera
harus bermain, dan siapa yang sebaiknya bermain merupakan contoh-contoh dari dilema
moral.Membahas zona abu-abu dalam
keputusan benar dan salah yang mungkin atau tidak melanggar aturan.
6)
Membangun dilemma moral dan pilihan
dalam latihan.
Beberapa
dilema yang mungkin bisa diterapkan
dalam latihan atlet meliputi:
(1)
Tidak menyediakan peralatan terbaik
yang mencukupi bagi semua atlet.
(2)
Merancang pengulangan dengan
kesempatan yang tidak berimbang untuk latihan, contohnya seorang atlet selalu
menjadi pemain bertahan.
(3)
Merancang pengulangan dimana para
pemain diuji dengan kata-kata (ketawaan,
ejekan) seperti menyuruh sesorang untuk memperagakan kemampuan yang rendah atau
menjadi rekan yang tidak fair
play.
(4)
Merancang pengulangan yang
menyediakan kesempatan untuk permainan kasar.
Setelah para
atlet berusaha untuk
menyelesaikan permasalahan, diikuti dengan diskusi yang mendasari pertimbangan
moral.Strategi untuk meningkatkan
perkembangan moral dan
perilaku sportifolahraga ini membutuhkan waktu, perencanaan, dan usaha. Untuk
hasil yang maksimal,hal ini harus diterapkan berkali-kalidan tidak hanya
sekalilatihan.
7)
Mengajari strategi pembelajaran
kooperatif.
Kebanyakan anak di budaya barat lebih dituntut
untuk berkompetisi daripada untuk bekerjasama, oleh karena itu, pengajaran tentang
strategi belajar secara kooperatif diperlukan untuk pembangunan pencapaian
motivasi secara optimal. Para peneliti juga telah sependapat bahwa kemampuan
untuk belajar bagaimana cara bekerja sama sangat penting bagi perkembangan
karakter.
8)
Menciptakan iklim yang berorientasi
pada tugas.
Cara ini menekankan pada membuat
atlet memperhatikan hasil-hasil tugas daripada ego, sehingga mereka bisa menilai
kemampuan mereka dari hasil penampilan mereka daripada perbandingan pencapaian
secara sosial.Atlet
yang merasakan lingkungan yang bermotivasikan ego dikategorikan sebagai orang
yang memiliki kepekaan moral lebih rendah dan juga memiliki kecenderungan lebih
tinggi untuk
mengintimidasi.Akan lebih mudah untuk mengajari perilaku sportifdalam olahraga
dan membangun karakter ketika perbandingan dan kompetisi sosial tidak
ditekankan dan peningkatan dan pembelajaran individu lebih ditekankan.Hal ini tidak
berarti bahwa karakter tidak bisa dibangun dalam iklim yang kompetitif, hanya jika
terdapat keuntungan besar yang diperoleh jika usaha menggunakan iklim yang
berorientasi pada tugas ini diterapkan.
9)
Memindah kewenangan dari pemimpin
pada peserta.
Pengembangan
karakter yang paling baik
dalam lingkungan yang secara progresif memindahkan kewenangan dari pemimpin
pada atlet.Sebagai
contoh, suatu kurikulum pendidikan olahraga yang dirancang untuk membantu siswa
menumbuhkan sikap tanggung jawab pribadi dan sosialnya.Kurikulum ini pertama-tama difokuskan
pada siswa yang bertindak secara tidak bertanggung jawab, membantu mereka untuk
menumbuhkan kontrol diri
mereka dengan mengeluarkan mereka dari kelas sehingga mereka tidak mengganggu
temannya.Kontrol diri selanjutnya berkembang, diikuti dengan perkembangan-perkembangan selanjutnya
seperti keterlibatan, pengarahan diri, dan perhatian.
E.
PANDUAN
LATIHAN DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
Dalam
mendukung pola latihan harus memperhatikan beberapa hal berkaitan dengan
orientasi fisik yang mempunyai cakupan sangat luas. Hal-hal tersebut meliputi
peranan dari guru olahraga dan pelatih dalam pengembangan moral dan membuat
pengembangan moral merupakan sebuah pola pikir dibandingkan dengan sebuah
kegiatan yang terbatas, selain itu juga harus memperhatikan peranan dari
kemenangan dan cara-cara di mana belajar dan mengajar perilaku moral yang dapat
dimengerti lebih dari hanya sekedar bermain di lapangan dan mengenali sifat
yang tidak sempurna dalam pengembangan karakter. Hellison membuat sebuah
program olahraga yang bertujuan untuk membantu anak-anak menumbuhkan rasa
tanggung jawab mereka:
1) Level 0-
Irresponsibility (tidak
bertanggung jawab).
Pada level ini
mengelompokkan anak-anak yang tidak termotivasi dan berperilaku yang bersifat
mengganggu. Tugas dari guru olahraga dalam hal ini dalah untuk mengontrol
perilaku mereka tersebut atau bahkan menghilangkannya agar tidak mengganggu
yang lainnya.
2) Level 1 - Self
control (Kontrol diri).
Siswa pada level
ini adalah sering tidak berpartisipasi pada kegiatan belajar, namun mereka bisa
mengontrol perilakunya sehingga siswa pada level ini tidak perlu sampai dihukum
keluar dari kelas. Hal yang perlu dilakukan oleh para guru olahraga adalah
membantunya untuk bisa terlibat dalam kegiatan atau mengajarinya untuk
menghargai perasaan orang lain dan memberi tahu mereka bahwa sikap dan
perilakunya menganggu proses pembelajaran di sekolah.
3) Level 2 -
Involvement (keterlibatan).
Banyak bentuk
yang bisa dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam pelajaran olahraga dan
yang harus dilakukan oleh guru olahraga adalah mendorong siswa untuk lebih
bertanggung jawab pada perkembangan dirinya sendiri dan pengertian dari
keberhasilan.
4) Level 3 - Self
direction (Pengarahan diri).
Level ini mengelompokkan siswa yang dapat
bekerja secara efektif dan mandiri dalam lingkup perkembangan diri dengan
kebutuhan yang dimengerti atau aspirasi. Tugas guru olahraga adalah untuk
membuatnya untuk bisa memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja
secara mendiri dan mematok tujuan-tujuan yang realistis.
5)
Level 4 - Caring
(Membantu).
Pada level ini, satu satunya perhatian bagi
orang lain adalah rasa hormat pada hak-hak dasar siswa. Pada level ini, siswa
tidak hanya sekedar berfokus pada orientasi diri sendiri dan telah termotivasi
oleh orientasi prososialnya. Tugas dari guru olahraga dalam hal ini adalah
memberikan kesempatan yang cukup bagi siswa untuk bekerjasama, memberikan
bantuan, memperlihatkan perhatian, dan membantu orang lain.
F.
PERANAN
PENDIDIK DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
Banyak orang
beranggapan bahwa tidak semestinya guru dan pelatih berperan dalam pengajaran
moral bagi anak-anak. Banyak
yang menganggap bahwa yang lebih berkompeten adalah para orang tua dan
ahli-ahli agama.Pada sisi lain guru olahraga, pelatih, dan pemimpin latihan benar-benar mempengaruhi banyak nilai-nilai, baik secara sengaja atau tidak. Selain permasalahan-permasalahan yang dikaitkan dengan olahraga yang kompetitif,
olahraga penuh dengan kesempatan untuk melawan, belajar, mengubah, dan
memerankan nilai-nilai moral.
1)
Pengembangan Karakter sebagai pola pikir dibandingkan sebagai
kegiatan yang terbatas.
Guruolahraga harus
mengedepankanpengembangan moral dan karakter dalam pengajaran mereka dan memiliki tujuan
dalam pengembangan karakter dari waktu ke waktu dengan menerapkan beberapa strategi dalam
pengembangan karakter.
Pengembangan moral dan perilaku sportif dalam olahraga haruslah menjadi
sebuah pola pikir bagi para instruktur atau pelatih dimana akan selalu berusaha
untuk menerapkan pada para pesertadidiknya. Sebagai instruktur atau pengajar harus beranggapan bahwa
perilaku sportif tersebut
akan muncul dengan seiring pada
strategi-strategi yang
diterapkan secara terus menerus. Moral dan karakter yang berkembang dengan
efektif pada anak didik
harus diajarkan
nilai-nilai moral dan
perilaku sportif.
Guru dan pelatih selalu berupaya untuk mengajarkan nilai-nilai moral kepada
anak didik, menjadi contoh terhadap nilai-nilai yang
terkandung dalam olahragadan
menyediakan mentor individu bagi peserta yang memiliki kesulitan dalam
masalah moral tersebut. Secara jelas, pengembangan moral dan perilaku sportif memerlukan
pemikiran dan kerja keras yang dilakukan secara konsisten oleh para guru olahraga
dan pelatih.Hal tersebut haruslah menjadi sebuah pola pikir, bukannya kegiatan
terbatas yang dilakukan terus menerus.
2)
Mengurangi resiko pada anak dengan
menguatkan daya tahan.
Selain strategi-strategi yang harus
diketahui oleh para guru dan pelatih untuk membangun karakter dan perilaku sportif, juga harus
memperhatikan lingkungan dimana seseorang tinggal yang mungkin saja memiliki
banyak pengaruh dan beresiko bagi perkembangan moral anak (misalnya, obat-obatan,
kehamilan usia dini, kegiatan geng, dsb). Terlebih lagi dengan ketiadaan peran
dari orang tua yang membuat tugas dari guru dan pelatih lebih berat.Hal yang
perlu dilakukan adalah menguatkan daya tahan anak tersebut sehingga mereka
dapat menghindari kemungkinan-kemungkinan negatif
yang mungkin timbul.Resiliency adalah kemampuan untuk bangkit
kembali dengan sukses setelah berhadapan dengan resiko yang tinggi atau stress.Resiliency berkaitan
dengan mengembalikan diri sendiri dalam kondisi-kondisi dimana seseorang biasanya dicegah. Tiga atribut
pokok yang berkaitan dengan daya tahan pada anak atau pemuda: kompetensi sosial,
kemandirian, serta optimisme dan harapan.
3)
Kompetensi
Sosial.
Kompetensi sosial adalah
kemampuan untuk berinteraksi secara sosial dengan orang lain dan membuat suatu hubungan atau
dukungan sosial yang
kuat. Fleksibilitas dan empati sangat penting dalam perkembangan kempampuan
ini.
4)
Otonomi.
Anak yang berdaya tahan kuat
memiliki keyakinan yang kuat akan siapa dirinya, percaya bahwa bisa
mengendalikan diri dalam lingkungannyadan percaya bisa bertindak mandiri. Pada
intinya, mereka bisa merasakan perasaan kemandirian dan kebebasannya untuk
mengontrol tindakannya sendiri.
5)
Optimisme
dan Harapan.
Rasa percaya akan adanya penghargaan
atau apresiasi atas apa yang diusahakan dan dilakukan oleh anak. Cara terbaik
untuk meningkatkan daya tahan pada anak-anak:
(1)
Fokus pada kelebihan atlet, bukan
pada kekurangannya, untuk membangun rasa percaya dirinya.
(2)
Jangan hanya berfokus pada kegiatan
olahraga atau fisik. Fokus pada semua aspek yang ada pada anak, emosi, sosial,
ekonomi, dan kebutuhan pendidikan mereka.
(3)
Lebih sensitif kepada para
anak muda secara individu dan juga pada perbedaan kebudayannya dan mengenali
tentang dia sebagai seorang individu.
(4)
Mendorong kemandirian dan kontrol
terhadap kehidupan seseorang dengan menyediakan atlet dengan pembelajaran
tentang program kepemimpinan dan tanggung jawab.
(5)
Melibatkan nilai-nilai yang kuat
dan harapan yang jelas dalam program. Pastikan semua atlet mengetahui nilai dan
harapan tersebut.
(6)
Membantu pemuda untuk melihat
tentang kemungkinan lapangan pekerjaan masa depan untuk mereka.
(7)
Menyediakan lingkungan yang aman
secara fisik dan psikis
(8)
Membuat
program yang tidak
terlalu beragam akan tetapi menyediakan keterlibatan dan pertisipasi dalam
jangka waktu lama.
(9)
Memberikan kepemimpinan yang menjaga
program berjalan tanpa gangguan.
(10)
Pastikan program berhubungan dengan
lingkungan dan kebersamaan.
(11)
Menyediakan hubungan dengan orang
dewasa yang mencontohkan kepedulian dan dukungan terhadap sesama.
KESIMPULAN
Partisipasi dalam
olahraga tidak secara otomatis mempunyai efek positif terhadap pembentukan
karakter. Pengalaman yang diperoleh melalui olahraga dapat membentuk karakter,
tetapi hal ini hanya dapat terjadi apabila lingkungan olahraga diciptakan dan
ditujukan untuk mengembangkan karakter. Olahraga dapat membentuk karakter
positif hanya jika kondisi-kondisi yang menyokong ke arah positif dipenuhi,
misalnya kepemimpinan dan perilaku pelatih yang baik. Dukungan dari pelatih,
orang tua, penonton, administrator, maupun dari pemain sendiri sangat
dibutuhkan untuk memperoleh manfaat positif dari partisipasi olahraga.
Karakter dapat
dipelajari dan dibentuk dalam olahraga. Pengalaman yang diperoleh melalui
olahraga dapat membentuk karakter, tetapi hal ini hanya dapat terjadi apabila
lingkungan olahraga diciptakan dan ditujukan untuk mengembangkan karakter. Karakter-karakter
positif diharapkan dapat dan harus dipelajari melalui olahraga atau aktivitas
fisik. Program olahraga dalam semua level dapat didesain untuk mengembangkan
gaya hidup aktif dan karakter positif. Melalui metode pengajaran dan pelatihan
yang tepat, serta usaha-usaha mengembangkan kualitas, olahraga
dan aktivitas fisik
dapat menjadi sarana
yang tepat untuk pembentukan karakter. Olahraga pada
level apapun sangat
potensial untuk mengembangkan
karakter positif.
Nilai-nilai karakter
sosial termasuk loyalitas, dedikasi, pengorbanan, dan kerjasama tim,sedangkan
nilai-nilai moral yaitu kejujuran, keadilan, sportifitas, kebenaran, dan
tanggungjawab. Olahraga mampu membantu perkembangan nilai-nilai sosial, maka
perkembangan karakter melalui olahraga seharusnya mampu membantu atlet belajar
untuk mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan moral dan kemudian bertindak
berdasarkan nilai nilai moral tersebut. Pengembangan karakter
moral adalah kombinasi
proses pembelajaran sepanjang kehidupan, baik formal maupun informal
dengan tiga dimensi, yaitu mengetahui, menilai, dan mengerjakan hal yang benar,
dengan hasil menjadi karakter moral.Pendidikan karakter seharusnya mampu
membawa seseorang ke pengenalan nilai secara
kognitif, penghayatan nilai
secara afektif, dan
akhirnya ke pengamalan nilai
secara nyata.
Olahraga menyediakan
lingkungan sosial, yang secara kultural memungkinkan untuk memperoleh
nilai-nilai dan perilaku positif. Hal ini mengimplikasikan bahwa hal-hal
positif yang dipelajari dalam olahraga dapat ditransfer ke dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam hal
ini olahraga menjadi
agen perkembangan sosial,
yang memungkinkan pelaku-pelakunya menumbuhkan sikap dan perilaku
positif. Pembentukan karakter merupakan
proses yang panjang,
holistik, yang terutama
dipengaruhi oleh variabel kontekstual sepanjang kehidupan seseorang. Jika
olahraga menjadi bagian dari kehidupan seseorang dan pengalaman dalam olahraga
akan mempengaruhi pembentukan karakternya, diharapkan yang muncul adalah
karakter positif.
Kemenangan dalam suatu
pertandingan adalah hal yang penting, tetapi ada yang lebih penting lagi, yaitu
menampilkan keterampilan terbaik dengan semangat persahabatan. Lawan bertanding
sejatinya adalah juga kawan bermain. Pendidikan olahraga adalah wahana yang
sangat ampuh bagi perkembangan karakter dan kepribadian anak bangsa apabila
dikembangkan secara sistematis. Olahraga mengandung dimensi nilai dan perilaku
sportif yang terbukti faktanya. Pertama, sikap sportif, kejujuran, menghargai
teman dan saling mendukung, membantu dan penuh semangat kompetitif. Kedua,
sikap kerja sama team, saling percaya, berbagi, saling ketergantungan, dan kecakapan
membuat keputusan bertindak. Ketiga, sikap dan watak yang senantiasa
optimistis, antusias, partisipasif, gembira, dan humoris. Keempat, pengembangan
individu yang kreatif, penuh inisiatif, kepemimpinan, kerja keras, kepercayaan
diri, dan kepuasan diri. Keunggulan pendidikan olahraga dalam pembentukan karakter
terletak pada perlengkapan nilai-nilai ke dalam perilaku. Itu suatu ciri yang
tidak mudah dilakukan pada pendidikan yang lain dalam kurikulum dan
pembelajaran yang cenderung ke arah teori, abstrak, dan lain sebagainya. Mari
kita budayakan pendidikan karakter melalui aktivitas olahraga di kalangan siswa
khususnya dan semua orang pada umumnya secara sistematis.
DAFTAR PUSTAKA
Agus
Sarengat. 2010. Pembentukan karakter
lewat olahraga. http://agustsarengat.blogspot.com.
Di unduh tanggal 4 Januari 2012
Akhmad
Sobarna. 2010. Benarkah olahraga
membangun karakter.http://sobarnasblog.blogspot.com.
Di unduh tanggal 4 Januari 2012.
Lutan,
Rusli. (2001). Olahraga dan etika fair
play. Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Olahraga, Direktorat Jendral Olahraga, Depertemen Pendidikan Nasional.
Weinberg,
Roberts S; Gould, Daniel. (2007). Foundations
of sport and exercises psychology.4thedition. Champaign II:
Human Kinetics Pubhlisers.Inc.
Langganan:
Postingan (Atom)