BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan di masyarakat terdapat adanya
kelompok-kelompok tertentu yang cukup banyak jumlahnya, kelompok yang satu
berbeda dengan kelompok yang lain. Sekumpulan individu-individu yang saling
mengadakan interaksi dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya akan
membentuk sebuah kelompok. Interaksi dapat berlangsung dengan secara fisik,
non-verbal, emosional dan sebagainya, yang merupakan salah satu sifat dari
kehidupan kelompok. Menurut Suryanto (2009) kelompok merupakan kumpulan dua
orang atau lebih yang berinteraksi dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya,
dan dibentuk bersama berdasarkan pada ketertarikan atau tujuan yang sama.
Orang yang tergabung dalam kelompok mempunyai
beberapa tujuan ataupu alasan yang mendasarinya. Tujuannya dapat bersifat dari
dalam diri, misalnya tergabung dalam kelompok karena mempunyai rasa senang.
Namun juga dapat bersifat dari luar seperti untuk mencapai suatu tujuan tidak
dapat dicapai secara sendiri, tetapi dapat dicapai dengan secara bersama-sama.
Hal ini merupakan tujuan bersama dari satu kelompok tersebut yang sering
dinamakan dengan common goals atau
faktor pemersatu dalam kelompok. Tujuan suatu kelompok akan berbeda-beda dengan
kelompok yang lain. Maka hal tersebut akan mempengaruhi struktur yang ada di dalam
kelompok tersebut dan juga akan mempengaruhi pola interaksi dalam suatu
kelopok. Karena itu suatu pola yang dapat diterapkan pada suatu kelompok belum
tentu dapat diterapkan pada kelompok lainnya.
Menurut Bimo (2003) kelompok mempunyai sebuah
struktur yang berarti adanya peran, norma, dan hubungan antar anggota. Peran
dari masing-masing anggota kelompok akan tergantung pada posisi ataupun
kemampuan individu masing-masing. Individu dalam suatu kelompok belum tentu
mempunyai peran yang sama pada kelompok yang lain. Hal tersebut terjadi karena
dalam kenyataan seseorang dapat menjadi anggota dari berbagai macam kelompok.
Misalnya, seseorang menjadi pemimpin pada suatu kelompok, tetapi menjadi
anggota kelompok pada kelompok yang lain. Dengan demikian seseorang mempunyai
peran dan status yang berbeda-beda dalam kelompok yang berbeda. Norma merupakan
aturan yang mengatur keberlangsungan hubungan perilaku anggota kelompok. Norma
kelompok akan memberikan arah ataupun batasan dari perilaku anggota kelompok.
Apabila norma kelompok telah menjadi normanya sendiri, maka yang terjadi adalah
hubungan internalisasi norma kelompok berjalan dengan baik.
Setiap individu menemukan suatu kenyamanan dengan
bergabung dan berinteraksi dalam suatu kelompok, karena di dalam kelompok
seseorang akan merasa bahwa dirinya disukai dan diterima. Perasaan disukai dan
diterima semacam ini sangat penting bagi semua usia dalam rentang kehidupan
manusia. Kohesi kelompok merupakan salah satu faktor yang penting dalam menjaga
keutuhan kelompok. Kelompok dengan kohesi yang lemah akan memiliki kemungkinan
perpecahan yang tinggi, dibandingkan dengan kelompok dengan kohesi yang tinggi.
Di dalam olahraga sebuah tim merupakan sekelompok
individu yang memiliki tujuan bersama untuk memenangkan kejuaraan,
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan yang didasari oleh interaksi dari
para pemain dan dan pelatih. Kohesivitas
tim atau kelompok mencerminkan sejauh
mana anggota tim saling menyukai dan menikmati keberadaan
tim tersebut. Dalam sebuah kelas olahraga,
misalnya tujuan bersama kelas tersebut adalah peningkatan
kebugaran dengan mematuhi program latihan yang diberikan
oleh pelatih, maka dengan mematuhi program latihan akan menghasilkan kebugaran
dan performa yang lebih baik, hal ini akan menimbulkan kohesivitas kelas
olahraga tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Kohesivitas
Kelompok
Konsep
kohesivitas kelompok pertama kali diungkapkan pada penelitian psikologi pada
tahun 1940. Lewin pada tahun 1943, menggunakan istilah cohesive untuk menggambarkan sebuah kekuatan yang menjaga kelompok
agar tetap utuh dengan cara menjaga kesatuan anggota-anggotanya. Pada tahun
1950 terdapat kritik terhadap definisi kohesivitas sehingga menyebabkan
terjadinya perbedaan cara pengukuran kohesivitas. Pada tahun 1965 Lott and B.
E. Lott mengkonsepkan kohesivitas sebagai daya tarik interpersonal karena penelitiannya di fokuskan pada
totalitas kekuatan. Konsep kohesivitas berkembang menjadi sebuah konsep yang
multidimensional pada tahun 1980 dan 1990.
Seiring berkembangnya dinamika kelompok pada tahun 2006 seorang peneliti
yang bernama Forsyth mengungkapkan bahwa kohesivitas terdiri dari cohesion is attraction, cohesion is unity,
cohesion as teamwork. Kemudian konsep kohesivitas ini dikembangkan lagi
pada tahun 2010 oleh Forsyth menjadi empat komponen diantaranya social cohesion, task cohesion, perceive
cohesion dan emotional cohesion. Keempat komponen merupakan kata kunci
untuk membentuk kelompok yang kohesif.
B.
Makna Kohesivitas
Kelompok
Beberapa
teori mempertimbangkan kohesivitas sebagai sebuah ketertarikan personal. Pada
level individu, anggota dalam kelompok yang kohesif saling menyukai satu sama
lain. Dalam level kelompok, anggota-anggota kelompok tertarik pada kelompok itu
sendiri. Anggota kelompok mungkin bukan merupakan teman, tetapi mereka
mempunyai pandangan positif terhadap kelompoknya. Menurut Michael Hogg yang
dikutip oleh Rianti Puspa (2010) membedakan antara ketertarikan personal dan
ketertarikan sosial. Jika antar anggota menyukai satu sama lain, maka disebut
sebagai ketertarikan personal, bukan kohesivitas kelompok. Sedangkan,
kohesivitas kelompok mengarah pada ketertarikan sosial, yaitu saling menyukai
antar anggota dalam satu kelompok berdasar pada status sebagai anggota kelompok
tersebut
Menurut
Eka Septiani (2011) kohesivitas
merupakan kekuatan interaksi dari anggota suatu kelompok. Kohesivitas
ditunjukkan dalam bentuk keramahtamahan antar anggota kelompok,
terdapat rasa senang untuk bersama-sama.
Masing-masing anggota merasa bebas untuk mengemukakan pendapat dan sarannya.
Anggota kelompok akan antusias terhadap apa yang dikerjakan dan akan mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan
kelompoknya. Merasa rela menerima tanggungjawab atas aktivitas yang dilakukan
untuk memenuhi kewajiban. Hal tersebut menunjukan adanya kesatuan, kereratan, dan saling menarik
dari anggota kelompok.
Carron
mendefinisikan kohesi sebagai suatu proses dinamis yang tercermin dalam
kecenderungan kelompok untuk tetap bersatu dan tetap bersatu dalam mengejar
tujuan instrumentalnya atau untuk pemenuhan kebutuhan afektif anggota (Weinberg
and Gould, 2007). Ini menggarisbawahi gagasan bahwa kohesi adalah (a) multidimensi
(banyak faktor yang terkait dengan mengapa suatu kelompok menempel
bersama-sama), (b) dinamis (kohesi dalam kelompok dapat berubah seiring waktu),
(c) instrumental (kelompok diciptakan untuk suatu tujuan ), dan (d) afektif
(interaksi sosial anggota menghasilkan perasaan di antara anggota kelompok).
Mengenai aspek multidimensi kohesi, definisi menyinggung kohesi sebagai
kombinasi dari tugas dan dimensi sosial. Kohesi tugas mencerminkan sejauh mana
anggota kelompok bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
C.
Komponen Kohesivitas
Kelompok
1.
Social
cohesion
Kekuatan sosial
yang mendorong individu untuk membentuk suatu kelompok.
2.
Task cohesion
Merupakan
kapasitas kinerja kelompok yang sukses sebagai unit koordinat dan sebagai
bagian dari kelompok. Kekuatan kelompok yang berfokus pada tugas akan
bergantung pada kerjasama yang diperlihatkan oleh setiap anggota kelompok.
3.
Perceive
cohesion
Merupakan
penguraian hubungan dalam sebuah kelompok, perasaan kebersamaan dan kesatuan
kelompok. Setiap anggota kelompok
memandang sebuah angggota kelompok sebagai suatu keseluruhan.
4.
Emotional
cohesion.
Merupakan
intensitas afektif dalam sebuah kelompok, dan sering dideskripsikan sebagai
perasaan kebersamaan, semangat kebersamaan dan perasaan afektif yang positif.
D.
Faktor yang
Mempengaruhi Kohesivitas Kelompok
1.
Kesamaan
nilai dan tujuan.
Kohesivitas akan terjadi bila anggota kelompok memiliki sikap, nilai dan
tujuan yang sama.
2.
Keberhasilan
dalam mencapai tujuan.
Keberhasilan dalam mencapai tujuan, dapat meningkatkan kesatuan
kelompok, kepuasan antar anggota kelompok dan membuat kelompok menjadi lebih
menarik bagi anggotanya.
3.
Status
kelompok.
Kelompok yang memiliki status atau kedudukan yang lebih tinggi lebih
menarik bagi para anggotanya.
4.
Penyelesaian
perbedaan.
Jika terjadi perbedaan tentang suatu masalah penting yang terjadi dalam
kelompok, maka diperlukan penyelesaian yang dapat memuaskan semua anggota.
5.
Kecocokan
terhadap norma-norma.
Norma
membantu dan mempermudah dalam meramalkan dan mengendalikan perilaku yang terjadi
dalam kelompok.
6.
Daya
tarik pribadi.
Kohesivitas atau kepaduan akan meningkat jika terdapat adanya daya tarik
dari para anggota yaitu adanya kepercayaan timbal balik dan saling memberikan
dukungan. Daya tarik ini
berfungsi untuk mengatasi hambatan dalam mencapai tujuan.
7.
Persaingan
antar kelompok.
Persaingan antar kelompok yang terjadi dapat menyebabkan anggota
kelompok lebih erat dan bersatu dalam melakukan aktivitasnya.
8.
Pengakuan
dan penghargaan.
Jika suatu kelompok berprestasi dengan baik kemudian mendapat pengakuan
dan penghargaan dari pimpinan, maka dapat meningkatkan kebanggaan dan kesetian
dari anggota kelompok.
9. Pengalaman yang tidak menyenangkan dengan kelompok.
Ketika anggota kelompok tidak menarik antara satu sama lainnya atau
kurang kepercayaan di antara mereka atau adanya pengalaman yang tidak
menyenangkan dapat menurunkan adanya tingkat kepaduan.
10. Persaingan intern antar anggota kelompok.
Persaingan
intern anggota kelompok menyebabkan adanya konflik, permusuhan dan mendorong
adanya perpecahan di antara anggota kelompok.
11. Dominasi.
Jika satu atau lebih anggota kelompok mendominasi kelompok atau karena
sifat kepribadian tertentu yang cenderung tidak senang berinteraksi dengan
anggota kelompok maka kepaduan atau kohesivitas tidak akan berkembang. Prilaku
seperti itu akan menimbulkan terjadinya klik-klikdalam kelompok yang dapat
menurunkan tingkat kepaduan.
E.
Siklus Perkembangan
Kelompok
Teori
Bruce W. Tuckman mengidentifikasikan lima tahapan untuk melihat perkembangan
suatu kelompok, yaitu forming, storming,
norming, performing, dan adjourning
(Ernawati,dkk 2007).
1.
Tahapan forming
Merupakan suatu tahapan di mana anggota kurang yakin
untuk menentukan tempatnya dalam kelompok serta prosedur dan aturan-aturan
dalam kelompok.
2.
Tahapan storming
Mulai timbul berbagai macam konflik karena anggota menentang pengaruh kelompok dan kurang sesuai
dalam menyelesaikan berbagai macam tugas.
3.
Tahapan norming
Kelompok membuat beberapa konsensus mengenai peran,
struktur, dan norma yang digunakan sebagai acuan dalam berperilaku yang tepat.
Dalam periode ini, komitmen dan kohesi meningkat.
4.
Tahapan performing
Anggota kelompok menjadi cakap dalam kerja sama
untuk pola kerja samanya.
5.
Tahapan adjourning
Kelompok menjadi bubar, berpencar.
F.
Konsekuensi Kohesivitas
Kelompok
Kohesivitas
kelompok merupakan kekuatan kelompok dan intensitasnya mempengaruhi anggota,
dinamika kelompok dan performa kelompok baik dalam hal positif dan negatif. Kohesivitas
kelompok menciptakan suasana kerja yang lebih sehat. Karena orang-orang yang
ada didalamnya lebih menaruh perhatian pada orang lain dengan berbagai cara
yang lebih positif serta seseorang akan lebih berpengalaman dalam mengurangi
kegelisahan dan ketegangan. Seseorang dalam kohesivitas kelompok akan lebih
siap dalam menerima tujuan, keputusan dan norma kelompok. Selanjutnya,
penyesuaian terhadap tekanan akan lebih banyak pada kohesivitas kelompok,
sehingga penolakan individu pada tekanan tersebut akan melemah. Namun ternyata
kohesivitas kelompok tidak hanya membawa hal yang positif, tetapi kohesivitas
kelompok juga dapat meningkatkan proses yang negatif seperti permusuhan dan
penyebab kesalahan. Contohnya: Kelompok kohesif dan nonkohesif dihadapkan pada
masalah yang tidak ada solusinya. Disaat seluruh kelompok menunjukkan frustasinya,
koalisi justru ditunjukkan oleh kelompok nonkohesif. Sementara kelompok kohesif
menunjukkan frustasinya sebagai agresi pribadi seperti: bermusuhan, joking hostility dan dominansi pribadi.
G.
Pengukuran Kohesivitas
Kelompok
1.
Mengobservasi kohesi.
Strategi
observasi digunakan untuk mengukur kohesivitas kelompok. Menurut Novira Eka
(2010) pada tahun 1950, George Caspar Homans menggunakan metode observasi untuk
meneliti sebuah tim dengan mencermati hubungan interpersonal antar anggota,
mencatat tekanan dan konflik yang terjadi dan seberapa lancar kelompok dapat
bekerjasama sebagai satu kesatuan.
2.
Pendekatan self report
Metode
self report merupakan cara lain untuk mengukur kohesivitas. Leon Festinger
menggunakan sociometry dalam studinya
mengenai kelompok orang-orang yang tinggal di lingkungan rumah yang sama
(Novira Eka, 2010). Pendekatan kedua dari self
report mengasumsikan bahwa anggota kelompok dapat menggambarkan kesatuan
dari kelompoknya secara tepat.
3.
Menyelekasi alat ukur
Definisi
operasional memberikan tantangan bagi para peneliti. Ketika mereka mengukur
kohesivitas dalam cara yang berbeda, mereka memberikan kesimpulan yang berbeda
pula. Alat ukur yang hanya fokus pada fungsi anggota kelompok terhadap
kohesivitas kelompok mereka, akan berbeda jika mengukur seberapa kuat hubungan
antara individu dalam kelompok.
BAB III
KESIMPULAN
Terbentuknya
kelompok berawal dari interaksi di antara para anggota dalam kelompok dan
terjadilah proses kelompok. Proses kelompok merupakan interaksi antara anggota
kelompok dan bagaimana pengaruh anggota kelompok satu terhadap yang lain.
Kohesi kelompok sangat berpengaruh didalam proses kelompok, hal ini dikarenakan
kohesi kelompok merupakan bentuk perhatian anggota kelompok, daya tarik antar
kelompok. Dalam kelompok yang berlangsung lama, anggotanya lebih tertarik pada
kelompok tersebut daripada kelompok lain. Kesamaan sikap, nilai-nilai,
sifat-sifat pribadi, dan lingkungan merupakan pendukung tingginya tingkat kohesi kelompok. Kelompok dengan
tingkat kohesi tinggi, anggotanya lebih banyak saling berinteraksi satu dengan
yang lain, lebih kooperatif, masing-masing mengevaluasi lebih positif, dan
lebih menyenangkan dibandingkan dengan kelompok yang tingkat kohesinya rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar