Senin, 18 April 2011

AMUBA HOCKEY CLUB: klub hoki wong ndeso.

Olahraga dapat mencegah kenakalan remaja”. Itulah alasan klise yang paling sering digunakan pengurus olahraga ketika mengajukan proposal pengajuan dana. Maka kemudian APBD pun digelontorkan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan olahraga tersebut, meskipun masih terbatas pada olahraga2 populer seperti sepakbola atau voli. Namun apakah realitas dilapangan memang menunjukkan bahwa olahraga benar2 mampu mencegah kenakalan remaja? Saya rasa belum! Mengapa saya menyimpulkan demikian? Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan.

ALASAN PERTAMA, dana yang bermilyar2 itu rata2 digunakan untuk membayar pemain yang ternyata tak mampu menjadi role model yang baik bagi remaja. Lihatlah betapa pemain bola bergaji mahal itu malah sering kali melakukan provokasi pada suporter sehinggga terjadi kerusuhan. Banyak pula pemain yang malah terseret kasus narkoba atau doping.

Dalam hal ini kita harus membedakan makna antara istilah “dadi pemain” dan “pemain dadi”. Mana yang lebih baik?

Sungguh pemain2 bergaji mahal itu memang telah “dadi pemain”, dalam artian sudah mampu mencari nafkah melalui keahliannya berolahraga. Namun apakah pemain2 itu sudah jadi “pemain dadi”? “Pemain dadi” disini selain memiliki kemampuan teknik yang baik, tetapi juga harus dilengkapi dengan kecerdasan emosional (afektif, kognitif) diatas rata2 sehingga mampu jadi panutan anak muda.

Saya rasa, “dadi pemain” itu mudah, tapi menemukan “pemain dadi” inilah yang sulit. Sangat sedikit “pemain dadi” di negeri ini yang mampu jadi uswatun khasanah bagi para remaja.

ALASAN KEDUA, dana untuk olahraga, mayoritas tak mampu menyentuh akar permasalahan, yakni para remaja itu sendiri. Membayar pemain2 bergaji mahal untuk bermain ( terutama pemain asing) sama saja meminggirkan potensi lokal untuk berprestasi.

Maka tak heran kalau Indonesia saat ini berkembang menjadi “Negara penonton” dan “Negara Komentator”. Semua orang hanya kebagian jatah jadi penonton dan komentator, bahkan dikompetisi lokal negara sendiri. Lihatlah betapa ditelevisi, sangat banyak kita temui para komentator berkualitas. Tapi menemukan pemain berkualitas, kita kesulitan. Inilah yang harus dirubah, Indonesia harus berubah menjadi “Negara Pemain”.

Lalu, apa solusi untuk permasalahan ini?

Sejatinya, yang pertama harus dilakukan menyentuh potensi lokal itu sendiri. Perlu upaya yang extraordinary. Kalau perlu olahraga yang dilakukan pun harus extraordinary. Karena ini adalah situasi yang extraordinary pula (hahahaha niru kata2 para politikus iki).

Melihat latar belakang masalah diatas, betullah jika kita harus menerapkan prinsip: “THINK GLOBALLY, ACT LOCALLY”. Jika kita lihat, banyak sekali potensi sekitar kita, tak terkecuali di desa kami (Beluran, Sidomoyo. Godean, Sleman). Namun sayang potensi itu belum tergarap dengan baik. Banyak anak muda yang kegiatannya tidak bermanfaat. Anak2 berlatar belakang ekonomi menengah kebawah ini rata2 cuma nongkrong2 dipinggir jalan bahkan menjurus ke kriminalitas. Sejati anak2 seperti inilah yang memiliki energi berlebih, sehingga perlu diberdayakan. Perlu diberdayakan bukan berarti mereka tak berdaya loh, hehehe

Maka tercetuslah pemikiran untuk membentuk sebuah klub olahraga di desa kami. Olahraga yang kami pilih adalah HOKI (Spelling Inggrisnya: Hockey). Maka pada tanggal 17 Desember 2007 lahirlah klub hoki didesa kami yang dinamakan “AMUBA HOCKEY CLUB”. Amuba adalah akronim dari “ANAK MUDA BELURAN”

Mengapa harus hoki?

Karena hoki masih dianggap olahraga yang elit. Tentu saja, anak muda selalu tertarik pada hal2 yang elit. Dus, anak muda juga selalu tertarik pada hal2 yang baru. Hoki kan termasuk olahraga baru dan belum populer. Sebelumnya olahraga hoki selalu terbatas ditingkat kampus2. Amuba adalah klub hoki non kampus pertama di Sleman.

Tujuan kami jelas: Mengembang Potensi lokal untuk membentuk menjadi “pemain dadi”, pemain yang punya kemampuan lengkap, baik kognitif, afektif maupun pikomotoriknya. Pemain lokal yang punya prestasi nasional. Dengan kata lain: cah ndeso ning ngluwihi kutho.

Dengan peralatan bantuan dari PHSI Sleman, mulailah kami berlatih. Kami mulai melakukan rekrutmen pada anak di desa kami yang kerjaanya cuma nongkrong-nogkrong itu. Sebenarnya saya tak terlibat langsung pada rekrutmen awal ini, karena saya terlibat aktiv ketika latihan sudah berjalan beberapa minggu, dan sudah sekitar belasan anak yang ikut berlatih. Jadi disini saya tidak bisa menceritakan betapa susahnya mengajak mereka untuk pertama kali latihan. Bisa dibilang saya ikut rekrutmen tahap kedua lah,hehehe. Setelah latihan mulai berjalan, yang paling saya ingat adalah, “sulit sekali menyuruh anak2 amuba itu latihan pakai sepatu!” Berbulan2 kami berlatih tanpa sepatu. “Tak apalah, asal anak2 disini mau latihan” pikir kami saat itu.

Pertandingan resmi pertama saya bersama klub ini adalah melawan tim UNY, yang kabarnya baru saja juara liga hoki mahasiswa nasional. Nyali kami tak ciut, bahkan menggebu!. Semangat kami adalah memperlihatkan kemampuan terbaik kami. Walaupun sebagian dari kami adalah anak putus sekolah, walaupun seragam kami kedodoran, walaupun stik kami ketinggalan jaman, walaupun kami adalah cah ndeso, tapi kami punya potensi. Saya masih ingat dengan jelas raut wajah mereka yang sungguh bersemangat, melebihi semangat para pemain tim nasional yang kadang acuh ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Semangat kami layaknya pasukan elit yang siap tempur.

Hasilnya tak mengecewakan, sempat unggul 1-0, kami harus puas berbagi angka 1-1. Sebuah awal yang kami anggap sangat luar biasa, membelalakkan mata banyak orang bahwa anak2 desa ini ternyata mampu maen hoki.

Dua tahun setelah pertandingan bersejarah itu, kami telah berkembang jauh lebih baik. Prestasi terbaik kami adalah peringkat 2 se-Sleman pada kejurkab 2009 dan peringkat 3 propinsi pada Jogja hoki festival, yang juga diikuti ISCI Jakarta. Yang paling membanggakan, kami berhasil mengirimkan 11 pemain kami (4 putra dan 7 putri) ke tim Porprov Sleman 2009 yang akhirnya meraih prestasi juara umum cabang hoki.

Sungguh jika kami memiliki peralatan yang lebih lengkap, kedepan kami yakin kami bisa berprestasi lebih dari ini. Bayangkan jika dana pembinaan olahraga itu disalurkan ke klub-klub lokal seperti kami, bukan ke olahraga-olahraga yang menggaji pemain asing itu. Niscaya permasalahan maraknya peredaran narkoba di masyarakat, masalah angka pengangguran yang masih cukup tinggi, masalah kenakalan remaja, atau masalah kekurangan bibit pemain, bisa terpecahkan dengan lebih cepat. Tujuan tulisan ini bukanlah mencari simpati apalagi mencari dana, yang ingin kami tekankan disini, klub lokal seperti kami adalah solusi. Karena klub lokal seperti kami punya potensi.


Francis Bacon mengatakan bahwa “harapan adalah sarapan yang baik, tapi makan malam yang buruk”. Kami tak mau terpaku pada harapan kami tanpa melakukan apapun. Alhamdulilah, pasca gegap gempita Porprov 2009 kemarin, akhirnya kami mampu membeli stik sendiri. Berkat batuan dana dari LMPD Beluran, dan donatur dari berbagai pihak yang budiman, kami mampu membeli 13 buah stik, dan 10 buah bola. Namun tentu harus disadari bahwa alat ini masih jauh dari cukup, karena lebih dari 40 anak yang berangkat latihan tiap sorenya. Dan lagi, ada semacam cita-cita kolektif kami, bahwa kami berharap suatu saat kami memiliki leggard (Baju kiper) sendiri. Tak perlu yang merek Grays, merek cakarvarti yang harganya 5 jutaan saja kami sudah senang sekali, hehehe

Dua tahun awal ini adalah pondasi. Dua tahun awal ini adalah dasar bagi kami untuk berprestasi lebih baik kedepan. Maka harapan terbesar kami adalah klub-klub lokal seperti kami diberi dukungan yang sebesar-besarnya. Kami yakin dengan dukungan dari semua pihak, potensi-potensi lokal ini akan semakin berkembang Kami bangga menjadi jadi wong ndeso, tapi kami lebih bangga lagi jadi wong ndeso yang berprestasi.

Amubahockey.blogspot.com
Contac person: Wilian Dalton 081806403261

Tidak ada komentar:

Posting Komentar