Senin, 18 April 2011

mbok minah lagi......

 10 Januari 2010

Akhir-akhir ini Indonesia dihebohkan dg kasus mbok minah yang mencuri 3 biji kakao lalu di jebloskan ke penjara. Maaf jika tulisan ini saya memiliki pendapat yang berbeda dg kebanyakan orang. Namun sungguh, mau dibela kayak apapun yang namanya mbok minah itu ya tetep seorang pencuri. Mungkin pendapat saya terlalu ekstrem bagi sebagian orang, namun coba pelajari dulu konteksnya. Kejadian itu terjadi di pedesaan, lebih spesifik lagi desa di jawa.

Sungguh konsep keadilan di desa dan kota itu berbeda. Dikota, 3 biji kakao mungkin dianggap tak berarti. Namun, hal itu beda dg situasi di desa.

Jangankan 3 biji kakao, di desa, berebut rumput untuk makan ternak saja bisa sampai saling bunuh.
Contoh lain, tentang pembagian irigasi. Orang desa itu bisa bacok-bacokan hanya gara-gara rebutan air irigasi. Mungkin bagi orang kota rumput dan air itu sesuatu yang gak ada artinya, tapi hal tersebut sungguh sangat berharga di desa.

Saya tak ingin berdebat dari konteks hukum karena saya bukan ahli hukum. Saya juga tak ingin membandingkan kasus mbok minah dg para koruptor itu, karena bagi saya dua-duanya ya pencuri, cuma derajatnya berbeda. Derajat kesalahan mbok minah mungkin sangat kecil (kecil bukan berarti tidak ada loh). Dan koruptor itu besar banget.

Sejatinya, persoalan hukum tidak bisa hanya dilihat dari hukum semata. Begitulah teori socio-legal alias hukum sosial. Namun rupanya masih sulit untuk melek terhadap jenis hukum yang satu ini. Dalam ilmu socio-legal, hukum juga dilihat dari sudut antropologi, sosiologi, dan hukum adat. Nah ini hal yang sulit diaplikasikan di situasi riil.

Contoh yang agak lain adalah kasus aborsi. Tentang hal ini, Steven Levitt, dalam freakonomic (2005), pada bagian awal bukunya itu menceritakan sebuah peristiwa tentang aborsi ini di Amerika Serikat. Latar argumentasi Levitt sebenarnya ingin memperlihatkan bagaimana kejahatan di kota-kota di Amerika pada periode 1990-an justru turun. Turunnya kejahatan tidak disebabkan oleh semakin canggihnya mekanisme dan perangkat polisi dalam penegakan hukum atau tingginya pertumbuhan ekonomi pada saat itu. Menurutnya, ini terkait dengan keinginan perempuan miskin untuk aborsi pada tahun 1970-an dengan alasan tidak memiliki kemampuan untuk membesarkan anak akibat kemiskinan. Singkat cerita, permintaan ini disetujui oleh otoritas setempat. Inilah mengapa kejahatan turun, yaitu ketika potential criminal yang seharusnya dilahirkan pada periode 1970-an tidak jadi lahir sehingga mereka tidak menjadi kriminal sesungguhnya pada 1990-an saat usia mereka sekitar 20-an tahun.

Nah, kalau seperti ini, lalu aborsi bisa dibenarkan tidak? Jangan-jangan nanti aborsi bisa jadi legal (kerana ternyata aborsi memberi banyak pengaruh positif). So kalo kasus mbok minah ini dibenarkan, jangan-jangan pencurian juga bisa dilegalkan. Kalau mencuri pada situasi terdesak, jika tidak mencuri, bisa-bisa keluarganya mati kelaparan misalnya? Hayo tambah ru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar