Senin, 16 Juni 2014

KOHESIVITAS KELOMPOK DALAM OLAHRAGA

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kehidupan di masyarakat terdapat adanya kelompok-kelompok tertentu yang cukup banyak jumlahnya, kelompok yang satu berbeda dengan kelompok yang lain. Sekumpulan individu-individu yang saling mengadakan interaksi dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya akan membentuk sebuah kelompok. Interaksi dapat berlangsung dengan secara fisik, non-verbal, emosional dan sebagainya, yang merupakan salah satu sifat dari kehidupan kelompok. Menurut Suryanto (2009) kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang berinteraksi dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, dan dibentuk bersama berdasarkan pada ketertarikan atau tujuan yang sama.
Orang yang tergabung dalam kelompok mempunyai beberapa tujuan ataupu alasan yang mendasarinya. Tujuannya dapat bersifat dari dalam diri, misalnya tergabung dalam kelompok karena mempunyai rasa senang. Namun juga dapat bersifat dari luar seperti untuk mencapai suatu tujuan tidak dapat dicapai secara sendiri, tetapi dapat dicapai dengan secara bersama-sama. Hal ini merupakan tujuan bersama dari satu kelompok tersebut yang sering dinamakan dengan common goals atau faktor pemersatu dalam kelompok. Tujuan suatu kelompok akan berbeda-beda dengan kelompok yang lain. Maka hal tersebut akan mempengaruhi struktur yang ada di dalam kelompok tersebut dan juga akan mempengaruhi pola interaksi dalam suatu kelopok. Karena itu suatu pola yang dapat diterapkan pada suatu kelompok belum tentu dapat diterapkan pada kelompok lainnya.
Menurut Bimo (2003) kelompok mempunyai sebuah struktur yang berarti adanya peran, norma, dan hubungan antar anggota. Peran dari masing-masing anggota kelompok akan tergantung pada posisi ataupun kemampuan individu masing-masing. Individu dalam suatu kelompok belum tentu mempunyai peran yang sama pada kelompok yang lain. Hal tersebut terjadi karena dalam kenyataan seseorang dapat menjadi anggota dari berbagai macam kelompok. Misalnya, seseorang menjadi pemimpin pada suatu kelompok, tetapi menjadi anggota kelompok pada kelompok yang lain. Dengan demikian seseorang mempunyai peran dan status yang berbeda-beda dalam kelompok yang berbeda. Norma merupakan aturan yang mengatur keberlangsungan hubungan perilaku anggota kelompok. Norma kelompok akan memberikan arah ataupun batasan dari perilaku anggota kelompok. Apabila norma kelompok telah menjadi normanya sendiri, maka yang terjadi adalah hubungan internalisasi norma kelompok berjalan dengan baik.
Setiap individu menemukan suatu kenyamanan dengan bergabung dan berinteraksi dalam suatu kelompok, karena di dalam kelompok seseorang akan merasa bahwa dirinya disukai dan diterima. Perasaan disukai dan diterima semacam ini sangat penting bagi semua usia dalam rentang kehidupan manusia. Kohesi kelompok merupakan salah satu faktor yang penting dalam menjaga keutuhan kelompok. Kelompok dengan kohesi yang lemah akan memiliki kemungkinan perpecahan yang tinggi, dibandingkan dengan kelompok dengan kohesi yang tinggi.
Di dalam olahraga sebuah tim merupakan sekelompok individu yang memiliki tujuan bersama untuk memenangkan kejuaraan, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan yang didasari oleh interaksi dari para pemain dan dan pelatih. Kohesivitas tim atau kelompok mencerminkan sejauh mana anggota tim saling menyukai dan menikmati keberadaan tim tersebut. Dalam sebuah kelas olahraga, misalnya tujuan bersama kelas tersebut adalah peningkatan kebugaran dengan mematuhi program latihan yang diberikan oleh pelatih, maka dengan mematuhi program latihan akan menghasilkan kebugaran dan performa yang lebih baik, hal ini akan menimbulkan kohesivitas kelas olahraga tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Sejarah Kohesivitas Kelompok
Konsep kohesivitas kelompok pertama kali diungkapkan pada penelitian psikologi pada tahun 1940. Lewin pada tahun 1943, menggunakan istilah cohesive untuk menggambarkan sebuah kekuatan yang menjaga kelompok agar tetap utuh dengan cara menjaga kesatuan anggota-anggotanya. Pada tahun 1950 terdapat kritik terhadap definisi kohesivitas sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan cara pengukuran kohesivitas. Pada tahun 1965 Lott and B. E. Lott mengkonsepkan kohesivitas sebagai daya tarik interpersonal  karena penelitiannya di fokuskan pada totalitas kekuatan. Konsep kohesivitas berkembang menjadi sebuah konsep yang multidimensional pada tahun 1980 dan 1990.  Seiring berkembangnya dinamika kelompok pada tahun 2006 seorang peneliti yang bernama Forsyth mengungkapkan bahwa kohesivitas terdiri dari cohesion is attraction, cohesion is unity, cohesion as teamwork. Kemudian konsep kohesivitas ini dikembangkan lagi pada tahun 2010 oleh Forsyth menjadi empat komponen diantaranya social cohesion, task cohesion, perceive cohesion dan emotional cohesion. Keempat komponen merupakan kata kunci untuk membentuk kelompok yang kohesif.
B.       Makna Kohesivitas Kelompok
Beberapa teori mempertimbangkan kohesivitas sebagai sebuah ketertarikan personal. Pada level individu, anggota dalam kelompok yang kohesif saling menyukai satu sama lain. Dalam level kelompok, anggota-anggota kelompok tertarik pada kelompok itu sendiri. Anggota kelompok mungkin bukan merupakan teman, tetapi mereka mempunyai pandangan positif terhadap kelompoknya. Menurut Michael Hogg yang dikutip oleh Rianti Puspa (2010) membedakan antara ketertarikan personal dan ketertarikan sosial. Jika antar anggota menyukai satu sama lain, maka disebut sebagai ketertarikan personal, bukan kohesivitas kelompok. Sedangkan, kohesivitas kelompok mengarah pada ketertarikan sosial, yaitu saling menyukai antar anggota dalam satu kelompok berdasar pada status sebagai anggota kelompok tersebut
Menurut Eka Septiani (2011) kohesivitas merupakan kekuatan interaksi dari anggota suatu kelompok. Kohesivitas ditunjukkan dalam bentuk keramahtamahan antar anggota kelompok, terdapat rasa senang untuk bersama-sama. Masing-masing anggota merasa bebas untuk mengemukakan pendapat dan sarannya. Anggota kelompok akan antusias terhadap apa yang dikerjakan dan akan mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompoknya. Merasa rela menerima tanggungjawab atas aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kewajiban. Hal tersebut menunjukan adanya kesatuan, kereratan, dan saling menarik dari anggota kelompok.
Carron mendefinisikan kohesi sebagai suatu proses dinamis yang tercermin dalam kecenderungan kelompok untuk tetap bersatu dan tetap bersatu dalam mengejar tujuan instrumentalnya atau untuk pemenuhan kebutuhan afektif anggota (Weinberg and Gould, 2007). Ini menggarisbawahi gagasan bahwa kohesi adalah (a) multidimensi (banyak faktor yang terkait dengan mengapa suatu kelompok menempel bersama-sama), (b) dinamis (kohesi dalam kelompok dapat berubah seiring waktu), (c) instrumental (kelompok diciptakan untuk suatu tujuan ), dan (d) afektif (interaksi sosial anggota menghasilkan perasaan di antara anggota kelompok). Mengenai aspek multidimensi kohesi, definisi menyinggung kohesi sebagai kombinasi dari tugas dan dimensi sosial. Kohesi tugas mencerminkan sejauh mana anggota kelompok bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
C.       Komponen Kohesivitas Kelompok
1.      Social cohesion
Kekuatan sosial yang mendorong individu untuk membentuk suatu kelompok.
2.       Task cohesion
Merupakan kapasitas kinerja kelompok yang sukses sebagai unit koordinat dan sebagai bagian dari kelompok. Kekuatan kelompok yang berfokus pada tugas akan bergantung pada kerjasama yang diperlihatkan oleh setiap anggota kelompok.
3.      Perceive cohesion
Merupakan penguraian hubungan dalam sebuah kelompok, perasaan kebersamaan dan kesatuan kelompok. Setiap anggota kelompok  memandang sebuah angggota kelompok sebagai suatu keseluruhan.
4.      Emotional cohesion.
Merupakan intensitas afektif dalam sebuah kelompok, dan sering dideskripsikan sebagai perasaan kebersamaan, semangat kebersamaan dan perasaan afektif yang positif.
D.      Faktor yang Mempengaruhi Kohesivitas Kelompok
1.    Kesamaan nilai dan tujuan.
Kohesivitas akan terjadi bila anggota kelompok memiliki sikap, nilai dan tujuan yang sama.
2.    Keberhasilan dalam mencapai tujuan.
Keberhasilan dalam mencapai tujuan, dapat meningkatkan kesatuan kelompok, kepuasan antar anggota kelompok dan membuat kelompok menjadi lebih menarik bagi anggotanya.
3.    Status kelompok.
Kelompok yang memiliki status atau kedudukan yang lebih tinggi lebih menarik bagi para anggotanya.
4.    Penyelesaian perbedaan.
Jika terjadi perbedaan tentang suatu masalah penting yang terjadi dalam kelompok, maka diperlukan penyelesaian yang dapat memuaskan semua anggota.
5.    Kecocokan terhadap norma-norma.
Norma membantu dan mempermudah dalam meramalkan dan mengendalikan perilaku yang terjadi dalam kelompok.

6.    Daya tarik pribadi.
Kohesivitas atau kepaduan akan meningkat jika terdapat adanya daya tarik dari para anggota yaitu adanya kepercayaan timbal balik dan saling memberikan dukungan. Daya tarik ini berfungsi untuk mengatasi hambatan dalam mencapai tujuan.
7.    Persaingan antar kelompok.
Persaingan antar kelompok yang terjadi dapat menyebabkan anggota kelompok lebih erat dan bersatu dalam melakukan aktivitasnya.
8.    Pengakuan dan penghargaan.
Jika suatu kelompok berprestasi dengan baik kemudian mendapat pengakuan dan penghargaan dari pimpinan, maka dapat meningkatkan kebanggaan dan kesetian dari anggota kelompok.
9.    Pengalaman yang tidak menyenangkan dengan kelompok.
Ketika anggota kelompok tidak menarik antara satu sama lainnya atau kurang kepercayaan di antara mereka atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan dapat menurunkan adanya tingkat kepaduan.
10.  Persaingan intern antar anggota kelompok.
Persaingan intern anggota kelompok menyebabkan adanya konflik, permusuhan dan mendorong adanya perpecahan di antara anggota kelompok.
11.  Dominasi.
Jika satu atau lebih anggota kelompok mendominasi kelompok atau karena sifat kepribadian tertentu yang cenderung tidak senang berinteraksi dengan anggota kelompok maka kepaduan atau kohesivitas tidak akan berkembang. Prilaku seperti itu akan menimbulkan terjadinya klik-klikdalam kelompok yang dapat menurunkan tingkat kepaduan.
E.       Siklus Perkembangan Kelompok
Teori Bruce W. Tuckman mengidentifikasikan lima tahapan untuk melihat perkembangan suatu kelompok, yaitu forming, storming, norming, performing, dan adjourning (Ernawati,dkk 2007).
1.    Tahapan forming
Merupakan suatu tahapan di mana anggota kurang yakin untuk menentukan tempatnya dalam kelompok serta prosedur dan aturan-aturan dalam kelompok.
2.    Tahapan storming
Mulai timbul berbagai macam konflik karena anggota   menentang pengaruh kelompok dan kurang sesuai dalam menyelesaikan berbagai macam tugas.
3.    Tahapan norming
Kelompok membuat beberapa konsensus mengenai peran, struktur, dan norma yang digunakan sebagai acuan dalam berperilaku yang tepat. Dalam periode ini, komitmen dan kohesi meningkat.
4.    Tahapan performing
Anggota kelompok menjadi cakap dalam kerja sama untuk pola kerja samanya.
5.    Tahapan adjourning
Kelompok menjadi bubar, berpencar.

F.        Konsekuensi Kohesivitas Kelompok
Kohesivitas kelompok merupakan kekuatan kelompok dan intensitasnya mempengaruhi anggota, dinamika kelompok dan performa kelompok baik dalam hal positif dan negatif. Kohesivitas kelompok menciptakan suasana kerja yang lebih sehat. Karena orang-orang yang ada didalamnya lebih menaruh perhatian pada orang lain dengan berbagai cara yang lebih positif serta seseorang akan lebih berpengalaman dalam mengurangi kegelisahan dan ketegangan. Seseorang dalam kohesivitas kelompok akan lebih siap dalam menerima tujuan, keputusan dan norma kelompok. Selanjutnya, penyesuaian terhadap tekanan akan lebih banyak pada kohesivitas kelompok, sehingga penolakan individu pada tekanan tersebut akan melemah. Namun ternyata kohesivitas kelompok tidak hanya membawa hal yang positif, tetapi kohesivitas kelompok juga dapat meningkatkan proses yang negatif seperti permusuhan dan penyebab kesalahan. Contohnya: Kelompok kohesif dan nonkohesif dihadapkan pada masalah yang tidak ada solusinya. Disaat seluruh kelompok menunjukkan frustasinya, koalisi justru ditunjukkan oleh kelompok nonkohesif. Sementara kelompok kohesif menunjukkan frustasinya sebagai agresi pribadi seperti: bermusuhan, joking hostility dan dominansi pribadi.
G.      Pengukuran Kohesivitas Kelompok
1.    Mengobservasi kohesi.
Strategi observasi digunakan untuk mengukur kohesivitas kelompok. Menurut Novira Eka (2010) pada tahun 1950, George Caspar Homans menggunakan metode observasi untuk meneliti sebuah tim dengan mencermati hubungan interpersonal antar anggota, mencatat tekanan dan konflik yang terjadi dan seberapa lancar kelompok dapat bekerjasama sebagai satu kesatuan.
2.    Pendekatan self report
Metode self report merupakan cara lain untuk mengukur kohesivitas. Leon Festinger menggunakan sociometry dalam studinya mengenai kelompok orang-orang yang tinggal di lingkungan rumah yang sama (Novira Eka, 2010). Pendekatan kedua dari self report mengasumsikan bahwa anggota kelompok dapat menggambarkan kesatuan dari kelompoknya secara tepat.
3.      Menyelekasi alat ukur
Definisi operasional memberikan tantangan bagi para peneliti. Ketika mereka mengukur kohesivitas dalam cara yang berbeda, mereka memberikan kesimpulan yang berbeda pula. Alat ukur yang hanya fokus pada fungsi anggota kelompok terhadap kohesivitas kelompok mereka, akan berbeda jika mengukur seberapa kuat hubungan antara individu dalam kelompok.


BAB III
KESIMPULAN
Terbentuknya kelompok berawal dari interaksi di antara para anggota dalam kelompok dan terjadilah proses kelompok. Proses kelompok merupakan interaksi antara anggota kelompok dan bagaimana pengaruh anggota kelompok satu terhadap yang lain. Kohesi kelompok sangat berpengaruh didalam proses kelompok, hal ini dikarenakan kohesi kelompok merupakan bentuk perhatian anggota kelompok, daya tarik antar kelompok. Dalam kelompok yang berlangsung lama, anggotanya lebih tertarik pada kelompok tersebut daripada kelompok lain. Kesamaan sikap, nilai-nilai, sifat-sifat pribadi, dan lingkungan merupakan pendukung tingginya  tingkat kohesi kelompok. Kelompok dengan tingkat kohesi tinggi, anggotanya lebih banyak saling berinteraksi satu dengan yang lain, lebih kooperatif, masing-masing mengevaluasi lebih positif, dan lebih menyenangkan dibandingkan dengan kelompok yang tingkat kohesinya rendah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar